ITB, Bandung, 1999
Panitia panggung musik jazz kampus sedang mempersiapkan acara setelah jeda istirahat. Penikmat musik jazz memang tidak sebanyak musik lain yang lebih digemari anak muda, tetapi untuk sebuah panggung kecil, jazz pula, tampaknya jumlah penonton yang setia lesehan di sekitar panggung telah memenuhi harapan panitia.
Di antara panitia yang hilir-mudik, hanya Dewi yang tidak terlalu melibatkan diri dalam kesibukan. Ia sesekali berdiri sambil memperhatikan orang-orang di sekitar panggung. Walau tahu kemungkinannya sangat kecil, Dewi tetap berharap Uge hadir, karena Uge belum juga menelponnya.
"Halo Geulis, nyari aku?" tanya Dipa.
"Eh, Dipa, kamu jadi manggung?" tanya Dewi.
"Enggak tau nih, enggak boleh sama panitia! Beneran enggak boleh, Ran?" tanya Dipa pada Rani, ketua panitia yang berada di dekat Dewi.
Dipa berambut lurus gondrong, tetapi saat manggung ia selalu pakai wig keriting, bahkan untuk tampil total ala rocker era 80-an, ia selalu meminjam daster heboh emaknya, menambahnya dengan jala yang dijadikan rompi jaring-jaring, rantai-rantai dari kaleng biskuit Regal yang dijadikan kalung dan gelang, karet kolor yang dijadikan ikat kepala hingga kaos kaki panjang punya adiknya yang dijadikan stocking.
"Ini kan event jazz Dip. Kamu mah gelo pisan, masa musik metal ikutan ngisi?" jawab Rani.
"Tapi lagu urang iyeu teh tentang musik jazz, aya unsur edukasi untuk mempromosikan musik jazz. Wi, kumaha atuh?" tanya Dipa minta dukungan Dewi.
"Kenapa enggak dibolehin aja sih, Ran?" bujuk Dewi.
"Ih, Dewi kamu mah jangan dengerin si Gelo! Nih, biar kamu tahu, gimana lagu kamu, Dip?" tanya Rani pada Dipa.
Dipa mengambil ancang-ancang. Ia pun mengeluarkan jeritan melengking. "Daripada musik metal lebih baik musik jazz!...."
Dewi pun tertawa.
"Tuh ... Bodor! Gelo Dipa mah," ujar Rani sebal.
"Keren kok! Enggak apa-apa dong Ran, ini kan acara kampus, masa anak kampus enggak boleh ngisi? Lagian biar acaranya enggak monoton," bela Dewi.
"Kamu mau tanggung jawab, kalo panitia lain pada komplen?" tanya Rani.
"Iya, aku yang minta, pasti seru lah," ujar Dewi bersemangat.
Dipa tampak senang. ia pun melakukan selebrasi dan kembali melengkingkan jeritan khas rocker.
"Hatur nuhun, Geulis! Ini mah kalo bukan karena cinta, enggak mungkin diperjuangkan sama kesayangan aku, hehehe. Aku panggil anak-anak ke sini ya, bye Rani, bye Cinta ... Mmmuaaahhh," canda Dipa sambil berjalan dengan gaya penari balet.
Dewi tertawa melihat ulah Dipa, begitu pula Rani walau masih cemberut. Setelah Dipa menjauh, Dewi kembali memperhatikan orang lalu-lalang.
"Cari siapa sih, Wi?" tanya Rani.
"Kamu kenal Angga? Anak arsitek," tanya Dewi.
"Angga temennya Andi?" tanya Rani.
"Iya, lihat enggak?" tanya Dewi.
"Manusia kuper gitu, mana doyan acara gini," jawab Rani sambil mencibir.
Rupanya Lisa yang sedang menghampiri, mendengar percakapan ini.
"Siapa bilang? Lihat tuh yang baru datang!" tunjuk Lisa yang telah melihat sosok Uge.
"Angga datang? Aku kesana dulu, ya!" Dewi senang sekali melihat Uge, ia segera pamit meninggalkan teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu
RomanceUge, mahasiswa I TB, mengenal Widi, arsitek di Al Kahfi Land, melalui Chatting Lintas Waktu. Awalnya mereka tidak percaya berada di waktu berbeda, karena penasaran Uge mendatangi kantor Widi. Ternyata di sana tidak ada satu pun bangunan, Uge hanya...