23. Pacaran Sehat

395 102 7
                                    

Kampung Daun, Bandung, 1999

"Oh, kamu udah punya rumah sendiri. Walau kecil tapi arsitekturnya keren banget, halamannya luas, terutama di bagian belakang," komentar Dewi saat Uge membawanya berkeliling di rumah miliknya. Mang Asep mengikuti kedua anak muda itu.

"Sebenarnya rumah ini untuk dijual, tapi karena aku udah lulus kuliah, kayaknya bakal aku tempatin, kalo pas lagi di Bandung."

Dewi meneliti setiap sudut yang ia lihat menarik. "Ini yang memanjang sampai ke ujung di halaman belakang, tadinya aku kira kolam renang, ternyata kolam ikan. Penataan taman dan lampu-lampunya bagus banget."

"Di ujung kolam itu kita masih bisa turun ke bawah. Ada tempat yang nyaman buat menikmati pemandangan titik-titik lampu kota Bandung dari atas pegunungan. Kita duduk di sana ya," ajak Uge.

"Aduh, kalo boleh, Mang Asep mau nonton tipi aja di dalam rumah. Katanya Persib lagi tanding lawan Persija," dalih Mang Asep karena ingin memberi kesempatan pada Uge dan Dewi untuk ngobrol dengan bebas.

"Oh gitu, ya udah, saya nyalain dulu TVnya ya," ujar Uge.

"Enggak usah, tadi Mang Asep liat remotnya ada di meja. Sok atuh kalo mau ngobrol dulu di sana, sebelum Bapak nyuruh Neng Widi pulang."

"Widi? Oh, di rumah kamu dipanggil Widi?" tanya Uge.

"Iya."

*****

Dewi menghirup aroma dan meneguk minuman air jahe hangat dari cangkir di tangannya sambil menikmati pemandangan kota Bandung di malam hari.

"Nama lengkap kamu siapa sih?" tanya Uge.

"Dewidi.. Nata." Dewi memenggal namanya agar terdengar jelas.

"Oh? Bukan Dewi.. Dinata?"

"Memang banyak yang suka salah penggal. Namaku singkat, makanya di belakang ditempel nama bapakku. Kebanyakan orang memanggilku Dewi, bahkan termasuk Andi yang sering ke rumah dari kecil, padahal keluarga dekat memanggilku Widi."

"Pak Nata, jaksa yang tinggal di Cipaganti?"

"Iya. Kamu kenal sama Bapak?"

Uge mengangguk-anggukan kepala. "Ternyata, Dewi yang pernah diceritain Bapak, memang kamu. Bukan cuma kenal, aku malah udah deket banget sama bapak dan ibu kamu."

Dewi terkejut, lalu tertawa. "Oh, aku juga enggak nyangka. Ternyata Angga ITB yang sering ketemu Bapak itu kamu."

Keduanya pun tertawa bahagia.

Selain Widi adalah Dewi, ternyata dia juga anak Pak Nata. Sejauh ini semua urusan berjalan lancar, tapi kenapa bocoran beberapa peristiwa dari masa depan malah kelihatannya jadi kacau? Sudahlah, yang penting Widi ternyata adalah Dewi, soal lain enggak perlu dipikirkan sekarang, ada hal yang lebih penting untuk aku lakukan, ujar Uge di dalam hati.

"Widi," panggil Uge.

Dewi tertawa, "Kamu mendadak ikut manggil aku dengan nama itu. Rada aneh, enggak sih?"

"Biasa aja, itukan memang nama kamu. Lagi pula, aku memang mau menyampaikan sesuatu supaya bisa jadi bagian dari keluarga Pak Nata."

Dewi tahu, Uge akan menyatakan lamarannya. Walau senang, tetapi ia belum yakin dengan kesiapannya.

Uge menatap Dewi. "Widi, insya Allah aku siap jadi imam kamu. Walau tidak terlalu berlebih, tetapi aku sudah punya penghasilan yang cukup untuk menafkahi kamu. Walau tidak terlalu besar, tetapi aku sudah punya rumah untuk sekedar kamu bernaung. Walau masih harus banyak belajar, tetapi aku bisa berjalan di depan sambil menuntun kamu untuk sama-sama mencari ridho Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Kamu adalah perempuan yang aku yakini akan membuatku menjadi orang yang lebih baik dari sebelumya. Oleh karena itu aku mau melamar kamu untuk jadi istriku, apa kamu bersedia?"

Dewi terdiam sejenak. Kalimat Uge seketika telah meruntuhkan keraguannya. Tidak sedikit laki-laki mapan yang mendekatinya, tetapi hanya uge yang terlihat benar-benar siap secara mental. Hatinya sudah seolah menjerit berkata mau, tetapi ia sendiri juga punya mimpi untuk menjadi seorang arsitek, lagi pula sebagai perempuan, tentu ia tidak mau membuat hal ini terlalu mudah untuk Uge.

"Angga, aku memang ngerasa kamu adalah laki-laki yang tepat, tapi kita kan baru saling kenal kemarin. Selain itu, kuliahku juga baru tingkat 2."

Uge tersenyum. Kita malah udah deket dalam dua waktu. Sayangnya, aku udah janji enggak boleh cerita tentang ini.

"Widi. Setelah kita menikah, aku janji bersedia nungu kamu. Jangankan cuma urusan mau nyelesain kuliah dulu, bahkan aku rela menunda segala hal yang menjadi hak seorang suami, menunda resepsi acara pernikahan kita dan tetap tinggal di rumah masing-masing sampai waktu yang kita sepakati. Orang lain mungkin akan melihat kita seperti orang pacaran, padahal secara agama, kita udah sah jadi suami istri."

Dewi tersenyum sambil menatap Uge dengan kagum. "Aku enggak mau jawab sekarang. Kamu harus ngomong soal ini sama Ibu dan Bapak."

*****

Al Kahfi Land, Depok, 2004

Malam ini Widi masih berada di kantor karena masih menanti Uge di depan komputernya, padahal dia sadar, kemungkinan besar Uge tidak bisa chatting dengannya karena sedang berada di kampus untuk menemui Widi yang berada di tahun 1999.

Rencana Uge kemarin itulah yang membuat Widi melamun sepanjang malam dan lupa waktu. Ia jadi sedih mengingat kenangan indah di malam saat Angga melamarnya. Tentu Widi masih belum tahu bahwa Uge dan Angga adalah orang yang sama.

Angga, kemana aku harus mencari kamu?

Rupanya rasa cinta Widi pada Angga belum juga hilang setelah 5 tahun tidak berjumpa, ini pulalah yang membuatnya sulit menyambut cinta Uge.

Widi mengetik nama Angga pada mesin pencari, lalu menghapusnya lagi sambil tersenyum pahit.

Aku bahkan belum tahu nama lengkap kamu, siapa orang tua kamu, sejarah hidup kamu. Yang aku tahu hanya beberapa saat setelah berkenalan tiba-tiba kamu langsung bicara soal pasangan hidup dan besok malamnya langsung melamar. Maaf Angga, aku pikir kita masih punya banyak waktu untuk saling mengenal, ternyata tidak. Kamu juga pasti enggak tahu, kemana harus cari aku? Setelah pertemuan terakhir kita, akulah yang mendadak hilang tanpa ninggalin jejak. Lima tahun sudah berlalu, mungkin kamu sudah bahagia bersama orang lain. Rasanya aku sendiri juga sebaiknya mulai membuka diri.

Widi membuka situs web lintas waktu. Ia membaca tulisan chatting terakhirnya dengan Uge. Ia pun membayangkan suasana hati Uge saat melihat kebahagiaan dirinya bersama Angga di panggung. Menurut perkiraan Widi, malam ini Uge sedang pasti hati.

Setelah patah hati soal cinta, nantinya kamu akan kembali patah hati karena kehilangan Al Kahfi Land. Kamu sendiri yang bilang, tujuan kamu mewujudkan kantor ini untuk melamar aku. Kamu sih, suka banget dengan hal-hal yang ruwet!

Widi mengetik kalimat di kotak chatting untuk dibaca Uge nanti. "Maaf malam ini aku enggak bisa nunggu kamu chatting, aku harus pulang untuk istirahat. Insya Allah, besok pagi aku mau datang ke kosan kamu di Bandung. Mudah-mudahan aku dapat sesuatu di sana. Oh iya, jangan sedih ya, hehe. Maaf kalo date kita semalam enggak seperti yang kamu harapkan, tapi aku kagum sama usaha kamu."

Aku juga pernah mengalami kehilangan segalanya dan berjalan terseok-seok sendirian sehingga tidak punya mimpi lagi selain hanya ingin bertahan hidup. Mudah-mudahan aku bisa membantu kamu untuk bangkit lagi.

Widi tersenyum sambil mematikan komputernya, setelah itu ia segera menelpon ke kosan Bodas.

****

Bersambung

Vote dan comment anda sangat berarti bagi penulis, terimakasih telah membaca tulisan ini.

Penulis, Indra W

Al Kahfi  Land 1 - Menyusuri WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang