[Part 3]

317K 5.5K 46
                                    

"Gak semua Ibu tiri jahat, loh, Lis!"

Seruan itu membuat Lisa terlonjak ketika ia mendapati Rose, teman satu kampusnya tiba-tiba datang dengan perkataan yang tak jelas.

Saat ini mereka tengah berada di kampus, sebenarnya Lisa sudah menyelesaikan semua kuliahnya untuk hari ini, tetapi ia ada sedikit urusan dengan kakak tingkat bernama Allard karena ia ingin bertanya soal tugas yang baru saja diberikan oleh dosen.

"Ck, ngagetin!" Lisa mendelik, ia menggeser posisi duduknya dan memberi ruang untuk Rose agar bisa mendaratkan pantat tepat di sebelah Lisa. Hubungan persahabatan di antara mereka sudah terjalin sejak SMA. Jadi wajar saja kalau Lisa menceritakan apa yang ia rasakan pada Rose, termasuk soal pernikahan Papanya.

"Ya abisnya, baca buku serius banget." Rose melirik ke buku yang Lisa pangku lalu mengernyit. Perempuan dengan baju kemeja hitam dan celana senada itu menatap Lisa bingung. "Baca apa, sih? Kok bahasanya ribet."

"Novel luar." Lisa membalas singkat, lalu menutup bukunya. Menatap mata Rose dalam. "By the way, kesimpulan soal 'tidak semua ibu tiri jahat' itu kau dapat dari mana?"

"Dari kenyataan." Rose mengendikkan bahu. "Maksudku, ini sudah 2019, helo. Berbicara kasar atau tak sengaja menghina pun bisa masuk ke penjara. Apalagi dengan menyiksa dan memperbudak, seperti Ibu tiri yang kau bayangkan di kartun Cinderella. Jelas dia, maksudku calon Mama tirimu, bisa dihukum berat bila melakukannya. Bukan begitu?"

"Masuk akal, sih." Lisa mendengkus pelan, mengangguk-angguk kala ia bisa menerima argumen Rose. "Tapi tetep aja, mana bisa aku langsung setuju tanpa ketemu, kan? Mana calonnya Papa punya anak, aku takut kami gak akur nanti."

"Anaknya cowok, ya?" sahut Rose.

Lisa mengangguk. "Satu cowok, seumuran kita. Satu cewek, masih kecil. Aku suka sih anak kecil, cewek lagi, bisa didandanin. Nah, yang cowok? Gimana kalau dia jahat dengan aku? Kalau dia kasar? Kalau dia—"

"Ck, kurangin baca novel sama nonton film. Kebanyakan ngayal, kan?" Rose membekap mulut Lisa yang membuat perempuan itu berhenti berbicara.

Lisa cemberut, ia menekuk wajahnya dan menatap Rose kesal. "Ini tuh serius tahu, siapa tahu kan anak cowoknya ternyata pecandu narkoba? Kan obat-obatan lagi marak-maraknya. Serem!"

"Ya ampun, Lalisaku sayang. Papamu tuh gak bodoh juga kali. Masa pengusaha yang bisa ngasilin duit ratusan milyar per tahunnya sama sekali gak selektif waktu milih pasangan? Gak logis, kan? Papamu pasti sudah cari tahulah seluk-beluk soal calonnya. Jangan terlalu khawatir gitu."

"Tapi—"

"Tuh, tuh! Ada Kak Allard! Eh, kok dia ke sini?" Rose mengalihkan topik bahasan lalu menatap perempuan dengan balutan kemeja pink dan celana putih di sebelahnya dengan pandangan aneh. "Jangan bilang, kau daritadi nungguin dia?"

"Iya, mau nanya tugas. Kenapa memang?" balas Lisa acuh tak acuh.

"Ck, kebiasaan. Giliran ngayal cepet, peka susah setengah mati. Kau sama sekali sadar kalo kak Allard itu nyimpen rasa?"

"Sama siapa? Sama aku?" Lisa mengerutkan dahi.

Rose mengangguk. "Iya!"

"Ngaco." Lisa bangkit berdiri dan merapikan bukunya. "Aku sama sekali gak nganggep gitu."

"Tapi dia nganggep gitu," balas Rose lagi, tak mau kalah.

"Aku cuma suka Migu." Lisa menatap Rose dengan wajah datarnya. "Kau tahu itu."

"Tapi dia kan sudah lama ngilan—eh, Lis, Lis! Ck sialan, ditinggal!" Rose berteriak kencang ketika Lisa sudah berbalik dan menghampiri Allard.

Meninggalkan Rose sendirian dengan tumpukan tugas dan buku yang harus ia selesaikan. "Gebetan datang, teman ditinggal. Good," umpat Rose sambil mengomel sendirian.

***

"Sudah makan, Lis?" Allard sudah selesai mengajari Lisa semua yang ia tahu tentang tugas yang harus Lisa selesaikan. Saat ini mereka tengah berada di perpustakaan kampus yang terasa dingin dan sepi karena jarang ada mahasiswa mau datang kemari—kecuali kalau ada tugas.

"Belum." Lisa masih menatapi buku yang akan ia gunakan untuk referensi tugas dengan mimik wajah serius.

"Mau makan?" tawar Allard dengan hati-hati, ia mengamati wajah Lisa dari samping. "Aku traktir, deh."

Lisa mengalihkan fokusnya dan menatap Allard. Cowok paling populer di kampus ini karena selain tampan, dia juga multitalenta. Dia baik, bisa basket, bisa futsal, bisa nyanyi, bisa main alat musik, friendly, bisa MC, pinter. Atau kalau sebutan orang-orang dia itu almost perfect.

Dia temen Lisa karena mereka sempat satu kelas di salah satu mata kuliah yang Lisa ambil di awal dan mereka waktu itu satu kelompok. Dari sana, keduanya akrab. Allard itu perhatian, hangat, cerdas. Berbicara dan bertanya dengan dia membuat Lisa senang. Namun, berpikir untuk berpacaran sama lelaki ini sama sekali tak terlintas di benak perempuan berambut blonde itu.

Tiga tahun yang lalu dia menyukai seseorang, tetapi ia meragukan rasa yang orang tersebut miliki. Ketika Miguel menyatakan perasaannya, Lisa berpikir dia hanya main-main.

Karena lelaki itu mengutarakan segalanya saat malam prom nite, di mana setelah itu mereka sudah selesai sekolah, Lisa jadi tidak pernah melihatnya lagi setelah kejadian itu.

Miguel hilang layaknya ditelan bumi dan hal tersebut membuat Lisa benar-benar terpukul. Ia menangis setiap malam, berharap ia bisa mengulang waktu dan mengembalikan keadaan seperti semula.

Tapi dia tahu, segalanya sudah terlambat.

"Lis?"

Lisa tersentak ketika panggilan itu menelisik ke indra pendengarannya. Ia mendapati kalau mata cokelat Allard tampak kebingungan menatapnya.

"Iya?" balas Lisa pelan.

"Kau sakit? Kenapa melamun gitu?" tanya Allard.

Lisa menggeleng. "Enggak, cuma lagi mikirin tugas," kilah perempuan itu. Ia melirik arloji pink yang melingkar di tangannya lalu membulatkan mata. "Sorry, Lard. Kayaknya aku harus pergi."

Allard lebih tua, tetapi itu terjadi karena dia pernah ikut kelas akselerasi waktu SMP, jadi dia menempuh jenjang pendidikan lebih cepat dari Lisa meski umur mereka sama.

Perbandingan usia yang tak jauh membuat mereka memutuskan memanggil nama satu sama lain agar tak terasa canggung dan terkesan lebih akrab.

"Eh? Tiba-tiba?" tanya Allard saat Lisa tengah memberesi barangnya dengan tergesa-gesa. "Mau kuantar?"

"Gak, gak, gak usah. Sopir aku daritadi udah nungguin di parkiran." Lisa berkata sambil memeluk bukunya. "Dah, Allard!"

Wanita itu berkata sambil berjalan menjauh bersama buku-buku yang masih ia peluk. Hari ini ia akan bertemu dengan calon Mama dan calon saudara-saudaranya.

Lisa takut, sangat. Akan tetapi, kali ini dia tak akan lari lagi.

***

Jangan lupa meninggalkan jejak!!

Lisa's Stepbrother [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang