[Part 14]

168K 4K 69
                                    

Michelle dengan asik tengah menjilati es krim keenam yang dibelikan oleh Lisa ketika mereka sudah sampai di rumah. Lisa memandangi anak kecil itu dengan gemas, Michelle memintanya untuk tidak bertanya selagi ia makan, karena itu dengan sabar Lisa menunggu sembari ia menyiapkan pertanyaan.

"Enak!" seru Michelle ketika semua es krim itu sudah raib, hanya tersisa kemasan plastik yang tadi membungkus makanan dingin tersebut.

"Sudah selesai?" Lisa mengamati Michelle dan tersenyum. Dengan mata yang berniar, dia siap bertanya. "Sekarang, sudah bisa jawab pertanyaan?"

Michelle mengambil tisu yang terletak di meja dan mengelap mulutnya. Saat ini kedua perempuan itu tengah terduduk di sofa ruang tamu dengan televisi yang menyala—meski tidak ada yang menonton. Michelle tadi sibuk dengan es krim, sedangkan Lisa memiliki dunia sendiri di pikirannya.

"Aku punya sedikit revisi atas tawaran tadi." Michelle berkata yang membuat Lisa mengernyit. "Karena tadi kita membeli enam eskrim, maka seharusnya kakak bisa mengajukan 30 pertanyaan, kan?"

Lisa mengangguk. "Iya. Memang begitu, kan?"

"Tapi aku mau mengubahnya." Michelle mengubah posisi duduknya jadi bersila. Dengan wajah tanpa dosa, bocah itu berkata, "Pertanyaan dengan tingkat kesulitan tinggi untuk dijawab akan dihitung seharga lima pertanyaan. Pertanyaan sedang akan dihitung sebanyak tiga pertanyaan. Dan pertanyaan mudah baru kita hitung dengan satu pertanyaan sebagai kesepakatan. Bagaimana? Fair, kan?"

"Hah? Adil darimananya?" Lisa mengerutkan dahi, tak percaya kalau bocah di depannya ternyata cukup pandai untuk mengelabuinya. "Tidak, tidak bisa begitu. Kau kan sudah janji untuk menjawab senilai dengan es krim yang dibeli," protes Lisa.

"Terserah. Kalau mau melanjutkan perjanjian ini dengan kesepakatan awal, maka aku hanya akan menjawab pertanyaan yang mudah saja. Yang susah tak akan kujawab," kata Michelle enteng, tanpa rasa dosa sambil menyenderkan kepala. "Thanks es krimnya, Kak. Aku sangat suka."

Lisa berdecak. Gemas, kesal, sekaligus gereget bergabung menjadi satu. Jika dia tidak bisa mendapat jawaban atas apa yang membuatnya penasaran, lantas untuk apa Lisa bertanya?

"Baiklah, aku akan mengajukan pertanyaan yang susah. Jadi aku bisa mendapat enam jawaban, kan, kalo aku mengajukan semua pertanyaan yang sulit?" Lisa menghela napas, menyerah.

Michelle mengangguk. "Oke, enam pertanyaan sulit. Jadi, apa yang ingin kakak tanyakan?"

Lisa mengigit bibir bawahnya, memilah semua hal yang membuatnya penasaran dan memutuskan untuk bertanya hal-hal yang penting saja. "Selama tiga tahun ini, kau dan keluargamu ada di mana?"

"Setelah Kak Migu tamat SMA, kami tinggal di pinggiran kota Jakarta, membuka toko roti yang lumayan sukses sebenarnya. Mama dan Kak Migu bekerja keras, aku bersekolah dan ketika pulang baru membantu. Kami mendapat cukup banyak keuntungan, karena itu Kak Migu tak bekerja dan hanya fokus membantu Mama."

Lisa mengangguk-angguk. Dia memang tak pernah ke pinggiran kota Jakarta, jadi wajar saja kalau dia tidak pernah bertemu dengan Migu. Terlebih, lelaki itu punya fokus pada kegiatannya sendiri.

"Oke, yang kedua?"

Lisa mengaitkan jari-jarinya yang terasa kaku. Ia memberanikan diri menatap Michelle dan bertanya, "Apakah ... Migu ... memiliki pacar tiga tahun ini? Kalau ada, siapa? Dan apa mereka benar-benar saling menyayangi?"

"Woah itu terlalu banyak untuk dihitung sebagai satu pertanyaan." Michelle menggelengkan kepalanya. "Kuhitung dua, atau tidak kujawab?"

Lisa merengut. Michelle agak menyebalkan, tetapi berhubung gadis itu imut dan sekarang mereka bersaudara, Lisa yakin dia pasti akan melupakan rasa kesal yang saat ini ia rasakan.

"Baiklah, aku sudah menanyakan tiga pertanyaan. Sekarang giliranmu untuk menjawab," kata Lisa pasrah. Jawaban Michelle dia butuhkan, ada rasa curiga di benak Lisa karena Migu yang terus menghilang.

"Ada. Kak Migu punya pacar."

Perkataan Michelle itu seakan menghujam jantung Lisa, membuatnya merasa kehilangan pasokan udara secara drastis tiba-tiba. Ada rasa sesak yang tak dapat ia deskripsikan. Matanya tiba-tiba memanas, tapi dia tahu ia tak bisa menangis di depan Michelle. Bocah kecil yang licik sekaligus cerdas itu mungkin saja curiga.

"Eh, aku tidak yakin Kak Migu dan Kak Serena berpacaran atau tidak, tapi mereka sangat dekat. Kak Serena pindah ke sebelah rumah kami, dia sendirian. Karena orang tuanya bercerai, dia ikut Mamanya waktu kecil, tapi tak lama setelah itu Mamanya meninggal dalam kecelakaan, jadilah dia tinggal seorang diri. Dari yang kudengar, Papanya tak mau menampungnya lagi dan hanya mengirim uang bulanan rutin dalam jumlah besar. Karena itulah, Kak Migu merawatnya. Bahkan terkadang, Kak Migu bermalam di rumah Serena. Mama mengerti dan juga menyayangi Serena, jadi dia tak pernah melarang Kak Migu untuk ke sana." Michelle menjelaskan panjang lebar. "Kurasa ini cukup worth it untuk dua pertanyaan, kan?"

Lisa terdiam kaku. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Hatinya remuk, ternyata Migu punya kekasih waktu berpisah dengannya. Akan tetapi, kalau memang demikian, lantas kenapa dia ... mencium Lisa?

Kenapa dia bilang dia mencintai Lisa?

Kenapa dia tidur dengan Lisa?

Kenapa dia memperlakukan Lisa layaknya orang yang ia cintai?

Apakah dia sudah putus dengan Serena itu?

"Apakah sekarang mereka sudah putus?" Lisa berkata lagi, ini pertanyaan keempat dan suaranya bergetar. Ia berdeham pelan, berharap Michelle tak menangkap gerak-gerik mencurigakannya.

"Aku tidak tahu. Akan tetapi, bisa kubilang, Kak Serena tak akan bisa hidup tanpa Kak Migu. Dia membutuhkan kakakku lebih dari apa pun, dan aku tahu, Kak Migu juga menyayanginya dan tak akan meninggalkannya sendiri."

Lisa berdiri tiba-tiba setelah mendengar jawaban Michelle, rasanya perempuan itu tak sanggup lagi untuk mengetahui lebih jauh. Ia memalingkan wajah ke arah televisi yang masih menyala dan berkata, "Hanya itu yang ingin kutanyakan. Terima kasih karena telah menjawab semuanya. Sisa dua pertanyaan lagi kuharap bisa diganti dengan satu permintaan. Tolong jangan katakan pada siapa pun kalau aku bertanya soal ini. Oke?"

Michelle mengernyitkan dahi, mengamati tingkah aneh Lisa, tapi karena perempuan di depannya ini sudah baik, Michelle jadi menurut saja. "Baiklah, aku mengerti."

"Terima kasih." Lisa tak menatap Michelle dan langsung berbalik, menaikki tangga cepat, masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu. Berusaha menetralisir rasa sakitnya yang menjadi-jadi ketika membayangkan Migu mencintai wanita lain.

Sedangkan Michelle terus mengamati Lisa dengan tatapan aneh, bahkan ketika perempuan itu sudah tak lagi berada di depannya. Dalam keheningan yang membalut, Michelle bergumam, "Apa mungkin ... Kak Lisa menyukai ... Kak Migu?"

***

Jangan lupa meninggalkan jejak!

Lisa's Stepbrother [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang