"Lisa, kau tahu Papa sudah tua ...."
Suara itu menelisik indra pendengaran seorang gadis dengan rambut blonde yang saat ini tengah menekuk wajahnya, tak senang dengan keputusan sang Papa yang terlalu tiba-tiba.
Perempuan dengan mata cokelat terang itu menarik napas pelan, ia terus menggambar tanpa niat yang terselip, menatap kosong ke depan dan membiarkan sang Papa berceloteh.
"Kau pun begitu, sudah dewasa. Umurmu sudah 20 tahun, kau akan segera bekerja, menikah, lalu pergi meninggalkan Papa." Lelaki dengan perut buncit dan wajah yang mulai menua itu terus berbicara di depan anak perempuannya yang bahkan enggan beradu pandang dengannya. Ia tak menyerah, keputusan ini sudah ia pikirkan matang-matang sebelum ia memberitahu pada Lisa. "Papa tahu kau kecewa ... karena mungkin kau berpikir, Papa sudah berhenti mencintai Mama."
Lisa menghentikan gerakan gambarnya dan meletakkan pensil itu. Ia mendongak, menemukan mata hitam yang berbeda dengan miliknya saat ini sedang terlihat frustrasi, seolah ia kesulitan menjelaskan situasi yang sedang terjadi saat ini.
"Jadi, Papa benar-benar sudah berhenti mencintai Mama?" Lisa berkata dengan nada dingin, ia tak menyukai ide itu. Meski ia tak pernah bertemu dengan sesosok wanita yang melahirkannya—karena Mamanya itu harus merelakan nyawa demi mengantar Lisa ke dunia ini—tetapi hal tersebut sama sekali tidak menghalangi Lisa untuk mencintai sang Ibu.
Keputusan sang Papa ini membuat ia terpukul. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendapatkan sosok seorang Ibu, setelah 20 tahun ia hidup tanpa hal tersebut.
"Tidak." Jawaban Bernard—Papa Lisa—membuat gadis itu menghela napas lega tanpa ia sadari. "Sedetik pun, Papa tidak pernah berhenti mencintainya."
"Kalau Papa memang mencintainya, lantas, kenapa Papa berusaha menggantikan "dia" dengan orang lain?" Lisa membantah kembali, masih tak setuju dengan ide pernikahan di usia sang Papa yang sudah cukup tua. "Bagaimana kalau nanti aku disiksa seperti di cerita Cinderella? Apa Papa rela melihatku diperbudak oleh seseorang yang tak kukenal?"
Bernard frustrasi, tapi ia ingin tertawa juga karena penuturan Lisa yang terdengar polos. Lelaki paruh baya dengan perut yang agak buncit itu maju, mendekati sang anak yang tengah terduduk di bawah lantai sembari menggambar. Bernard memang memberitahu kabar ini tiba-tiba, ia sangat yakin kalau Lisa terkejut akan keputusan ini. Namun, ia juga percaya kalau Lisa akan mengizinkannya.
Anaknya itu adalah perempuan yang baik.
"Kenapa senyum-senyum?" Lisa menatap tajam ke arah Bernard. "Aku serius, Pa!"
"Iya, tahu." Bernard duduk di lantai pula, mensejajarkan tubuhnya dengan Lisa dan mengelus kepala perempuan itu pelan. Kondisi rumahnya yang besar memang selalu terasa sepi, terkadang ia merasa bersalah karena meninggalkan Lisa sendiri. Namun, dia bisa apa? Tuntutan pekerjaan tak bisa ia hindari, pun dengan rasa kesepian yang terus datang menghampiri.
Jatuh cinta lagi sama sekali tak pernah Bernard pikirkan, sampai kemudian dia bertemu dengan Nia. Perempuan yang membuat hatinya menghangat setelah sekian lama. Ia berpikir pernikahan adalah hal yang konyol pada awalnya, hingga perasaan ini terus tumbuh tanpa bisa ia cegah, dan pada akhirnya Bernard menjilat ludahnya sendiri.
Ia ingin menikahi Nia dan membuat keluarga baru, agar rasa kesepian ini pergi, agar Lisa tak lagi sendiri. Karena dari yang Bernard tahu, Nia ternyata sudah memiliki satu anak lelaki yang seumur dengan Lisa, dan satu anak perempuan yang masih sangat kecil.
"Papa rasa sudah saatnya Papa memiliki keluarga baru, supaya kau tidak kesepian kala Papa pergi bekerja. Calon Mamamu sudah punya anak, satu seumur denganmu, satu lagi masih kecil. Bukankah ... dengan kehadiran mereka, kau tidak akan kesepian lagi?"
Lisa membulatkan mata. Selama ini dia ingin punya saudara, tetapi ... kalau segalanya begitu tiba-tiba seperti ini, bagaimana ia bisa terima?
"Gak!" Lisa berseru, membanting pensilnya yang baru ia genggam lagi dan menatap Papanya marah. "Aku gak mau dan gak bakal mau!"
"Lisa ...." Bernard terkejut dengan respons Lisa yang jelas lebih agresif dari bayangannya. Lelaki paruh baya itu sudah menjelaskan segala yang ia bisa, tetapi sepertinya Lisa tak ingin mendengar apa pun.
"Aku gak mau, pokoknya gak!" seru Lisa yang kemudian langsung berlari, menaiki tangga dengan langkah yang cepat, lalu ia masuk kamar dan membanting pintu.
Perempuan itu melempar tubuhnya ke atas ranjang yang penuh dengan nuansa pink, lalu memeluk boneka Mario Bross yang diberi oleh seseorang yang ia sayang beberapa tahun yang lalu.
Mata Lisa berair, ia juga tidak mengerti kenapa ia serasa ingin menangis. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya yang terasa kacau hari ini.
"Kenapa ... semua begitu tega?" Lisa bergumam dengan suara seraknya, menatap mata biru milik boneka yang selalu ia peluk setiap malam, lalu merasa semakin kesal. "Aku tidak suka siapa pun ... aku ... aku ingin kau kembali, Migu. Bisakah?"
Lisa mengelap air matanya, lalu kembali bergumam, "Aku ... berharap kau ada di sini, memelukku, menenangkanku seperti masa SMA kita. Aku ingin mengulang kembali waktu sehingga aku bisa menerimamu waktu kau menyatakan perasaan. Akan tetapi, sekarang semuanya sudah terlambat bukan?"
"Semuanya sudah terlambat. Kau menghilang, aku bahkan sama sekali tak bisa mendapatkan kabar tentang bagaimana hidupmu saat ini. Apa yang kaulakukan? Sekarang kau di mana?" Lisa berbicara sendirian seperti yang sering ia lakukan. "Kenapa kau menghilang? Apa karena ... penolakkanku, jadi kau pergi?"
Lisa menarik ingusnya, lalu kembali berbaring dan memeluk bonekanya lebih erat. Menangis membuat gadis itu merasa lelah, karenanya ia sekarang berbaring dengan mata yang terpejam. Berharap semua yang ia alami sekarang hanya sekadar bunga tidur belaka.
"Aku merindukanmu ... Migu. Bisakah kau kembali? Kembalilah padaku ...."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lisa's Stepbrother [18+]
RomanceFollow penulis dulu demi kenyamanan bersama🙏🏻 Cerita ditarik sebagian untuk kepentingan penerbitan✨ Copyright 2019, by Velitjia. PLAGIAT JAUH2! Mulai : 28 Jul 2019