[Part 13]

172K 3.8K 101
                                    

Paginya, Lisa mengantar Papa dan Mamanya ke bandara, membolos kuliah agar ia bisa berada di sini. Ada begitu banyak barang yang harus mereka bawa, karena itu Papanya menyewa banyak jasa angkutan. Lisa melirik Michelle yang sedaritadi berjalan di sebelahnya tanpa kata, seperti biasa, bocah itu tampak manis dengan rambutnya yang dikucir kuda serta dress pink selutut yang membungkus badan kecilnya tersebut.

Lisa dan gadis kecil itu hari ini sama-sama membolos demi bisa mengantar kedua orang tua mereka. Iya, cuma berdua karena Migu bilang dia punya urusan mendesak yang tak bisa ia tunda, jadinya dia meminta maaf karena ia tak bisa ikut ke sini. Mengingat hal itu, Lisa jadi menghela napas. Dari kemarin, Migu terus menghilang seolah ia sibuk melakukan sesuatu, tapi Lisa tak tahu apa yang ia lakukan.

Lelaki itu tidak kuliah. Dia juga tidak bekerja, tapi dia terus keluar. Kemarin Lisa merasa hal ini tidak perlu dibesar-besarkkan karena ia dan Migu memang tak harus terus bersama, tapi kenapa pagi ini dia jadi agak gelisah?

"Sini, peluk." Bernard dan Nia menghentikan langkah kakinya dan berbalik. Menatap dua perempuan cantik yang berjalan beriringan di belakang mereka.

Lisa menarik senyumnya, berusaha menutupi kegelisahan yang sedaritadi menyelimuti karena Migu. Ia melangkah dan merengkuh Bernard, hangat, Papanya ini agak buncit, jadi Lisa selalu menganggapnya mirip dengan beruang.

Sedangkan Michelle melangkah ke arah Nia, bocah itu tak terlihat sedih padahal Mamanya akan pergi untuk jangka waktu yang lumayan lama.

"Jangan nakal, oke? Jangan menyusahkan kakakmu." Nia menepuk-nepuk pundak Michelle pelan. "Jangan keluyuran juga."

"Iya, iya. Ngerti." Michelle membalas dengan nada yang terkesan agak jutek. "Aku udah besar tahu."

Nia terkekeh dan melepaskan Michelle dari rengkuhannya. Setelah itu, ia menatap ke arah Lisa, seolah meminta untuk dipeluk. Menyadari hal itu, Lisa melangkah mendekat ke Nia, sedangkan Bernard menghampiri Michelle.

"Mama titip Michelle, ya? Dia memang gak banyak omong, tapi dia baik kok. Dia memang suka sok dewasa, padahal aslinya kekanakan dan mudah ngambek. Kalo dia marah, kasih aja es krim, dia pasti bakal luluh."

Lisa mengangguk dan tersenyum simpul mendengarnya. Dia menyukai Michelle dan berniat untuk dekat dengan gadis itu, jadi dia berjanji akan membelikan Michelle es krim sehabis ini, hitung-hitung sebagai sogokkan.

"Nah, sekarang kami harus pergi. Tolong perhatikan Migu juga, dia kadang keras kepala dan tidak bisa diajak bicara, jadi kau harus banyak bersabar, oke, Lis?" Nia tersenyum lagi, menampilkan deretan giginya yang rapi.

Lisa kembali mengangguk untuk kesekian kalinya hari ini. "Oke, Ma."

Kemudian, Mama dan Papanya berbalik setelah perpisahan singkat tanpa air mata itu. Lisa dan Michelle terus menatapi punggung mereka yang semakin menjauh dan menjauh karena ditutupi oleh banyaknya orang yang berlalu-lalang.

Lisa menarik napas, pikirannya kembali tertuju pada Migu. Semalam, setelah makan, Migu langsung keluar lagi dan tak kembali sampai pagi ini—dengan alasan mendesak yang tadi ia bilang. Lelaki itu juga tak membalas pesan Lisa.

Sebenarnya apa yang ia lakukan?

"Kak, mau pulang gak?" Perkataan Michelle itu membuyarkan lamunan Lisa akan kekhawatirannya yang terkesan tak berdasar.

Pertama kalinya dipanggil dengan sebutan "kakak" setelah 20 tahun menjadi anak tunggal membuat hati Lisa tiba-tiba menghangat. Apalagi yang menyebut namanya adalah seorang bocah cantik dengan wajah yang luar biasa imut seperti Michelle.

"Yuk." Lisa mengulurkan tangannya, mengajak Michelle bergandengan. Ia kira, Michelle akan meraih jari-jari lentik yang terulur itu tanpa pikir panjang, tapi ternyata Lisa salah.

"Ngapain gandengan? Aku bisa jalan sendiri, aku dah besar tau." Michelle berbalik, wajahnya cemberut, bibirnya mengerucut. Ia membuat Lisa terkekeh pelan, lucu sekali!! batin Lisa gemas.

Kaki Michelle yang pendek berjalan tidak terlalu cepat, membuat Lisa masih bisa menyusulnya hanya dengan beberapa langkah. Tangan Lisa menarik lengan kecil Michelle lembut dan menautkan jari-jari mereka.

"Jangan gitu, kalo kau ilang kan repot nyarinya," canda Lisa yang membuat wajah Michelle semakin tertekuk, tetapi dia tak berusaha melepaskan genggaman tangan mereka.

Ketika keduanya sudah sampai di depan dan melihat sopir mereka telah menunggu, Lisa memutuskan untuk menghentikan langkahnya dan berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan tinggi Michelle.

"Gimana kalo sebelum pulang kita beli eskrim di Indojuni? Mau?" tawar Lisa, dia teringat perkataan Nia tadi.

Wajah cemberut dan bibir kerucut Michelle seketika menghilang digantikan dengan binaran cerah ketika Lisa menyebut soal "es krim".

"Hm, dibayarin, nih?" Michelle berdehem, seolah ia tengah berusaha menyembunyikan rasa senangnya dengan wajah pura-pura serius. Mendapati hal itu, Lisa nyaris terbahak. Ia ingin mencubit pipi gadis ini keras-keras saking lucunya ia, demi apa pun!

"Iya. Mau beli berapa, lima? Sepuluh? Kakak bayarin." Lisa tersenyum lembut, dan di mata Michelle, saat ini perempuan di depannya terasa sangat silau seperti malaikat. Dia cantik, baik, serta tidak pelit. Persis bidadari.

"Tapi ada syaratnya." Lisa menyambung perkataannya yang sempat tergantung. Menyadari kalau perempuan di depannya tak langsung memberikan apa yang ia mau malah mengajukan syarat, tiba-tiba saja semua sinar yang muncul dari tubuh Lisa tadi musnah. Bayangan Michelle akan bidadari sudah hancur lebur.

"Syarat apa?" Michelle membalas penasaran. Sejak kemarin, ia memperhatikan kakak tirinya ini. Lisa tak terlihat jahat, malah wajahnya itu selalu tampak ceria. Dia cantik, tinggi, putih, Michelle bisa tahu dalam sekali lihat kalau Lisa pasti populer.

Mirip dengan kak Serena ..., batin Michelle tiba-tiba.

"Uhm ...." Lisa berpura-pura berpikir dengan mengembungkan pipinya dan memutar bola mata. "Hm, gimana kalo misal kakak nanya, kamu harus jawab dengan jujur, lengkap, dan rinci. Satu es krim nilainya sama dengan sepuluh pertanyaan, gimana?"

"Satu es krim, tiga pertanyaan, baru deal," kata Michelle dengan yakin, membuat Lisa terpana karena ia sempat berpikir kalau Michelle akan langsung menerima tawarannya tanpa pikir panjang.

"Tujuh pertanyaan, deh." Lisa berusaha bernegosiasi, tak ia sangka Michelle ternyata anak yang cerdas. Rasanya, Migu tak terlalu pintar di bidang akademi semasa waktu sekolah dulu.

"Lima atau gajadi." Michelle melempar tawaran terakhir yang membuat Lisa menaikkan alis. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang dan berpikir panjang, Lisa menarik napas dan mengangguk.

"Oke-oke, iya! Sekarang kita ke Indojuni terus balik, jangan lupain janji, ya!" Lisa mengulurkan jari kelingkingnya, meminta Michelle untuk melakukan hal yang sama agar mereka bisa membuat perjanjian.

"Kekanakan, ih. Aku udah besar tahu." Michelle berdecak sebal. "Sudah, ah. Mending langsung aja ke Indojuni."

Michelle berbalik dan melangkah cepat, meninggalkan Lisa yang sempat terbengong sejenak, dan ketika ia sudah sadar sepenuhnya, Lisa berdecak pelan dan berteriak kecil. "Tunggu kakak, ish, anak ini!"

***

Jangan lupa meninggalkan jejak!

Lisa's Stepbrother [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang