[Part 6]

234K 5K 16
                                    

Waktu berjalan dengan begitu cepat, setidaknya itulah yang Lisa alami. Rasanya baru beberapa hari yang lalu sejak ia merayakan tahun baru dengan sang Papa, melakukan dansa di tengah malam, membakar banyak makanan sampai menembakkan kembang api ke langit malam yang tampak sepi.

Akan tetapi, sekarang keadaan sudah berubah, karena pada nyatanya hari ini ia akan menerima tiga anggota keluarga baru. Lisa menggepalkan tangannya sendiri, ia berkeringat. Ini bahkan bukan hari pernikahaannya, tapi dia gugup setengah mati.

"Ganti baju dulu, ya? Baru di-make up." Seorang perias cantik yang memang disewa khusus untuk Lisa memasukki kamar gadis itu. Membuat Lisa menoleh dan mengangguk. Sebenarnya, acara pernikahan ini sederhana. Tak banyak tamu yang datang—mungkin tidak sampai seratus orang—karena Papanya tak ingin pesta yang terlalu heboh.

Karena itu pula, persiapannya tak terlalu banyak. Lisa memilih gaun yang ia suka dan segalanya sudah disiapkan oleh wedding organizer. Perempuan berambut blonde itu berdiri dan mendekati gaun yang memang telah ia pilih jauh-jauh hari. Gaun simpel yang panjangnya sampai ke lutut, dengan tali tipis yang mengikat lehernya, agak terbuka di bagian dada, tapi tak keterlaluan. Sejujurnya, ini agak mirip dengan gaun pengantin karena warnanya yang putih. Ia berharap, ia tidak akan menyaingi kecantikan calon Mamanya hari ini.

Lisa masuk ke dalam kamar mandi dan mengganti pakaian, tak sampai lima menit, dia sudah selesai. Perempuan itu kembali duduk dan menatap wajahnya sendiri di kaca. Cantik, bahkan tanpa polesan apa pun, dia masih terlihat menawan.

"Sudah? Nah, kita mulai sekarang." Penata rias cantik yang Lisa baru ketahui namanya Renata itu membuka kotak make up-nya yang sangat banyak. Lisa hanya diam selagi tangan lentik milik perempuan itu bermain-main di wajahnya.

Pikiran wanita berambut blonde itu terbang jauh, membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Sejujurnya, meski dia sudah yakin kalau tante Nia adalah sosok yang baik—menilai dari bagaimana ia tersenyum, berbicara dan memperlakukan Lisa—tapi tetap saja ada keraguan dan rasa takut yang tak bisa ia hapus. Hanya saja, ia tak ingin membuat Papanya bersedih.

Sudah lama sekali sejak Lisa melihat bagaimana sosok itu tersenyum sebegitu bahagianya. Mengingat dia selalu sendirian tanpa pasangan dan kesepian selama ini membuat Lisa bersedih. Menolak ide pernikahan dan membiarkan sang Papa terus sendirian seumur hidup adalah sesuatu yang tak ingin Lisa lakukan.

Butuh kurang lebih satu jam untuk Lisa berias diri. Ia hampir saja ketiduran karena terus memejamkan mata. Saat kesadaran gadis itu perlahan mengawang, suara lembut milik seseorang menariknya kembali ke dunia nyata.

"Selesai."

Lisa terkesiap lalu membuka matanya perlahan, ia bersikap seolah tak ada yang terjadi dan membulatkan kedua obsidian itu kala ia mendapati sesosok wanita yang paling cantik yang pernah ia lihat, ada di pantulan kaca tersebut.

"Cantik sekali, bukan?" Renata tersenyum lembut dan menatap Lisa dari kaca. "Dari semua orang yang pernah kudandani, bahkan artis sekalipun, aku rasa hanya kau yang punya fitur wajah sempurna. Jadi, walaupun aku hanya mengerahkan sedikit kemampuanku, kau pasti tetap terlihat memukau."

Lisa mengerjapkan matanya dan mendekatkan diri dengan kaca, memastikan kalau itu benar-benar dia. Ia memang sering memoles make up ke wajah, tetapi tidak pernah setebal dan setelaten ini. Dia hanya menghias seadanya—asal tidak dekil saja sudah syukur.

"Nah, aku rasa keluargamu sudah menunggu." Suara Renata kembali menarik kesadaran Lisa yang masih terpana akan pantulan dirinya sendiri. "Kenapa kau tidak pakai sepatu dan keluar?" katanya sambil tersenyum.

Lisa lagi-lagi hanya mengangguk. Dia tidak banyak berbicara hari ini. Sebenarnya, dia sendiri tidak bisa mendekskripsikan perasaannya dengan baik. Senang? Iya, dia tentu saja bahagia, mengingat Papanya sekarang sudah tak kesepian lagi. Takut? Benar, dia masih ragu dan takut kalau ia tak bisa menyesuaikan diri dengan keluarga barunya.

Akan tetapi, lagi-lagi gadis itu menguatkan dirinya sendiri. Meyakinkan kalau ini adalah jalan terbaik untuk keluarga mereka ke depannya. Demi kebahagiaan Papanya, Lisa rela berpura-pura bahagia dan bersikap seolah dia sepenuhnya sudah menerima pernikahan ini.

Kaki Lisa melangkah keluar. Mereka memang merayakan pesta pernikahan sang Papa di halaman belakang rumah. Bukan di gedung. Ya, selain karena tamu undangan yang tak banyak, halaman mereka juga sangat luas. Jadi sangat memungkinkan untuk digunakan, apalagi dengan suasana yang sejuk seperti ini.

Matahari tak begitu terik, padahal biasanya kota Jakarta itu panas sekali. Suasana mendung membuat pesta jadi terasa nyaman. Alunan musik klasik yang lembut mulai diputar, dekorasi yang membuat halaman belakang mereka tampak cantik seperti taman sungguh menyejukkan mata. Lisa mendapati ada banyak sekali orang, tapi kebanyakan dia tidak kenal dekat. Rata-rata kolega bisnis Papanya.

Lisa memang diizinkan untuk mengundang Rose dan Allard, tapi ia lebih memilih untuk tidak mengajak mereka kemari. Entahlah, Lisa hanya merasa ... aneh untuk membawa teman di pesta pernikahan kedua Papanya. Itu canggung sekali.

Terlebih soal Allard, Lisa masih merasa setengah bimbang dengan keputusannya. Meski nasi sudah menjadi bubur dan Allard sekarang berstatus menjadi pacarnya, tapi Lisa masih terus bertanya-tanya, apakah langkah yang ia ambil ini salah?

Kaki perempuan itu berjalan mengelilingi halaman, ia merasa ada begitu banyak orang yang memperhatikannya. Bahkan, beberapa lelaki muda yang sepertinya anak kolega sang Papa atau pebisnis muda berusaha mengajaknya mengobrol, tapi Lisa menolak. Selagi belum ada Bernard dia masih bisa memasang ekspresi datar tanpa harus berpura-pura tersenyum seolah ia sangat bahagia.

Well, menurut Lisa, ekspresi biasa saja sebenarnya sudah cukup untuk ia pasang ketika bertemu orang asing. Asal tidak terlihat sedih, bukankah segalanya akan baik-baik saja?

Suara mikrofon yang diketuk beberapa kali membuat Lisa mengalihkan pandangannya. Pesta sebentar lagi dimulai dan Lisa tahu, dia harus segera ke depan.

Kaki gadis itu baru saja hendak melangkah dengan hati-hati, sampai ia menemukan sesosok lelaki berjas yang tampak familier dari belakang.

Lisa mengerjapkan mata. Ia berusaha menyadarkan dirinya yang mungkin berhalusinasi karena terus memikirkan lelaki itu. Namun, setelah beberapa cubitan dan tamparan yang ia lakukan pada dirinya sendiri, lelaki itu ... tidak menghilang.

Yang artinya ... dia nyata, dan Lisa tidak sedang berhalusinasi.

Perempuan itu mempercepat langkah kakinya, melewati tamu-tamu yang tampak sibuk sendiri, mengabaikan ajakkan ngobrol orang-orang yang bahkan tak ia kenal. Ia terus menatapi punggung sang lelaki yang jaraknya agak jauh dari tempat Lisa berdiri sekarang.

Kala ia hampir sampai, lelaki itu tiba-tiba bergerak dari posisi semula dan memasuki rumah, yang membuat Lisa mau tak mau harus mengikutinya dengan kaki yang mulai sakit karena dia berjalan terlalu cepat, padahal ia tak terbiasa memakai heels.

Ia memasuki rumah dan mendapati kondisi sepi, karena semua pelayan dan tamu ada di luar. Lelaki itu berjalan ke arah toilet di lantai satu dan hendak masuk ke sana, saat Lisa meraih tangannya. Membuat ia berhenti dan menoleh.

"L-lisa?"

Ketika netra mereka saling bertatapan, Lisa merasa kakinya lemas. Lelaki ini adalah orang yang selama ini ia cari. Kala Lisa sudah hampir menyerah dengan dirinya ... bagaimana bisa, dia kembali lagi?

***

Lisa's Stepbrother [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang