BAGIAN SATU

6K 212 3
                                    

Keenan

Bandara ramai sore ini. Beberapa orang tampak hilir mudik di selasar. Sebagian dari mereka tampak sibuk dengan ponsel masing-masing, salah satunya adalah aku. Sudah hampir satu jam, aku menunggu pesawat. Secangkir kopi yang aku pesan pun sudah habis. Saat aku mendengar suara dari pengeras suara, aku menghela nafas kasar. “Finally.”

Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju garbarata seperti instruksi dari pengeras suara. Jas yang tadi aku pakai hanya aku bawa dengan satu tangan. Sementara, kemejaku sudah aku gulung lengannya hingga siku. Hari ini sangat melelahkan bagiku. 

Saat sudah di dalam pesawat, aku menuju ke kursi kelas bisnis. Aku duduk tepat di samping jendela karena aku sengaja memesannya. Jas yang tadi aku bawa, aku letakkan di pangkuanku. Beberapa orang tampak mencari kursi. Hingga akhirnya, seorang perempuan duduk di sampingku. Aku melirik sekilas perempuan yang memakai dress selutut bermotif bunga di sisi baju. Ia duduk dengan asal sembari mendesah. Selanjutnya, aku tidak terlalu memperhatikannya karena seperti itulah aku, berusaha untuk tidak mempedulikan orang lain.

Setelah pesawat take off, aku memasang earphone dan mulai menyalakan musik. Suara khas Michael Bolton yang menyanyikan lagu “How am I supposed to live without you” langsung menggema di telinga. Musik ini terasa pas sekali saat ini karena apa yang aku rasakan sekarang. Pikiranku mengajakku melayang pada peristiwa beberapa jam yang lalu, saat aku berdiri di depan sebuah kathedral. Rasanya, aku masih bisa menceritakan dengan detail apa yang terjadi tadi. Saat Irene menghampiriku sebelum ia masuk ke dalam gereja.

“Terima kasih kamu sudah mau datang, Keen,” ucap Irene dengan senyum tersungging di bibirnya. Ia tampak cantik dengan balutan baju pengantin yang mewah. Wajahnya dipoles make-up natural. Hanya dengan begini saja, Irene sudah sangat cantik. Dia bahkan membuat hatiku bergetar lagi dengan kurang ajarnya. Bagaimana bisa jantungku masih berdegup sebegini kencangnya padahal perempuan di depanku ini akan menikah beberapa menit lagi.

Aku hanya bisa mengulum senyum saat meresponnya. Aku datang hanya ingin menghormati Irene dan juga Ervin, tidak lebih. Aku bahkan tidak tidur semalaman hanya untuk menguatkan hatiku.

“Tetapi, aku tidak bisa lama, Ren. Kamu tahu kan aku harus ke Jogja?”

Irene mengangguk. Senyum di bibirnya hilang dan wajahnya berubah sedih. “Aku tidak menyangka pada akhirnya kamu memutuskan untuk melepaskan pekerjaanmu. Sebentar lagi, aku akan punya atasan baru. Mungkin, tidak akan secerewet kamu.”

Aku tersenyum lebar mendengarnya. “Dan kamu jangan kangen aku,” gurauku.

“Aku akan kangen kamu, Keen. Bagiku, kamu tetap sahabat terbaik yang pernah aku punya. Meski waktu mungkin telah merubah semuanya, tetapi buktinya hatiku masih mengenalimu. Itulah kenapa kita cepat akrab,” ucap Irene yang membuatku tertegun. Aku tidak menyangka Irene akan mengatakan hal semacam ini.

“Bolehkah aku memelukmu, Ren?” 

Permintaan bodoh, batinku. Tetapi, tidak aku sangka, Irene langsung memelukku. Dia memelukku dengan sangat erat dan membuatku gelagapan. Aku menggerakkan tanganku pelan dan menyentuh punggung Irene. Dengan posisi seperti ini, aku merasa sangat nyaman dan damai. Mungkin memang inilah yang terbaik. Irene bahagia dengan pilihannya dan aku akan bahagia dengan keadaan.

Irene melepaskan pelukan. Bibirnya tersenyum saat menatapku. “Aku masuk dulu. Ervin menungguku. Aku akan mendoakanmu agar selalu bahagia.” Irene menepuk pundakku lalu berjalan pergi meninggalkan. Jauh di sana, aku bisa melihat Ervin yang berdiri dan sedang menatapku. Bibirnya tersenyum padaku dan aku membalasnya. Tidak ada kecemburuan di matanya meski mungkin ia baru saja menyaksikan Irene memelukku. Mungkin karena ia sudah memenangkan kompetisi ini. Irene akan tetap memilihnya apapun yang terjadi.

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang