BAGIAN - EMPAT

2K 148 2
                                    

Danish

Dengan setengah berlari, aku berlari ke luar rumah. Baru saja aku mendapatkan telepon dari atasanku kalau aku harus mewawancarai seorang pengusaha muda. Sebenarnya, aku masih libur dan ini juga bukan tugasku. Hanya saja, temanku yang mendapat tugas ini tidak masuk kerja karena diare. Akhirnya, aku yang harus mengorbankan liburku untuk bekerja. Taksi online yang sudah aku pesan beberapa waktu yang lalu, sudah menungguku di depan rumah dan aku langsung menaikinya. 

-00-

Keenan

Akhirnya selesai juga. Aku menutup dokumen terakhir yang harus aku periksa lalu melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 1 siang. Pantas saja aku merasa sangat lapar. Aku menekan tombol di telepon untuk menelepon sekretarisku.

“Adakah jadwal setelah ini?”

“Ada wawancara dengan majalah, Pak.”

“Aku mau makan siang. Wawancara bisa pindah ke restoran di depan kantor.”

“Baik, Pak.”

Aku menutup telepon lalu beranjak dari tempat duduk. Sembari berjalan, aku menggulung lengan kemejaku hingga siku. Aku melangkah menuju lift. Kepalaku mendongak dan melihat lift bergerak naik dari lantai bawah. Pintu terbuka dan setelah menunggu orang yang di dalam lift melangkah ke luar, aku melangkah masuk. Pintu lift tertutup dan aku menekan tombol Lobby. Pekerjaanku sekarang sering membuatku lupa makan karena sekretarisku tidak seperti Irene yang selalu mengingatkanku untuk makan siang. Aah, Irene lagi! Kenapa dia selalu muncul di setiap kesempatan? Aku menghapus pikiranku sendiri.

Pintu lift terbuka dan aku berjalan ke luar. Di seberang kantor, ada sebuah restoran Jepang. Lumayan untuk mengganjal perut yang lapar. Aku berjalan kaki menembus matahari yang bersinar terik dan menyeberang jalanan yang ramai. Tanganku membuka pintu kaca dan mengedarkan pandanganku pada seluruh ruangan yang tampak penuh. Ada sebuah meja kosong di sudut ruangan dan aku langsung menuju ke sana. Siang ini, aku ingin makan ramen.

-00-

Danish

Dengan tersengal-sengal, aku menuju ke meja sekretaris. Aku harus naik tangga karena lama sekali menunggu lift. Semua ini gara-gara taksi yang aku tumpangi mogok dan aku harus berganti taksi. Sekarang, aku sudah terlambat 30 menit dari janji yang seharusnya.

“Permisi, Mbak. Saya Danish dari Metro Magazine.” Aku memperkenalkan diri pada seorang perempuan yang sedang menatap layar komputer. Dia menoleh dan melihatku.

“Aah, iya. Bapak baru saja pergi makan siang.” Dia menunjuk pada pintu lift.

Pandanganku mengikuti arah yang ditunjuk sekretaris itu. Dan pintu lift memang baru saja tertutup. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk memanggilnya, tetapi aku sedang berada di kantor orang. Yang akhirnya aku lakukan hanya menarik nafas panjang.

“Berapa lama ya, Mbak?” tanyaku dengan lemas.

“Bapak tadi mintanya wawancara di restoran Jepang di depan.”

Aku melongo. Baru kali ini ada seorang pengusaha muda yang mengajak wawancara di restoran jepang kecil. Aku melihat restoran itu sebelum masuk ke kantor ini dan restoran itu benar-benar kecil.

“Baiklah. Terimakasih, Mbak,” ucapku lalu berjalan menuju lift. Aku mendongak untuk menatap lift yang bergerak naik ke lantai tiga.

Mungkin dia orang yang berbeda, batinku.

-00-

Keenan

Semangkuk ramen sudah terhidang di meja. Aku mengambil sumpit dan hendak memakannya saat seseorang menyapaku.

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang