BAGIAN - DELAPAN BELAS

1.2K 111 1
                                    

Keenan

Tanganku mencoba mengaitkan kancing lengan kemeja. Pandanganku masih tertuju pada kaca besar di kamarku. Tampak bekas hitam di kelopak mataku, bahkan mataku terlihat ada kantungnya. Mungkin, ini karena aku hanya tidur tiga jam sehari. Setelah memakai parfum, aku melangkah keluar dari kamar. Siapa yang akan peduli dengan kantung mata ini? Aku juga memilih untuk tidak mempedulikannya. 

Kakiku melangkah cepat menuruni tangga karena Nandhi sudah memanggil-manggilku sejak tadi. Dia melambai dari ruang tamu saat aku melihatnya. 

“Ayo cepat, Kak! Kak Rania sudah datang.” Nandhi menarik tanganku dan mengajakku keluar rumah. Dan memang benar! Rania sudah datang bersama keluarganya. Dia tampak menggandeng Mamanya. Dia tampak anggun dengan balutan dress selutut warna maroon, senada dengan baju yang aku pakai sekarang.

Nandhi mendorongku untuk menyambut orang tua Rania. Yang aku lakukan kemudian adalah mencium tangan kedua orang tua Rania dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Papa sudah menunggu di dalam.  Saat kedua orang tua kami bertemu, langsung terdengar tawa di dalam rumah. Bagiku, semua ini sama sekali tidak lucu. Aku hanya berjalan mengikuti mereka menuju meja makan yang sudah penuh dengan berbagai macam makanan.

Aku duduk berhadapan dengan orang tua Rania. Tidak ada satupun dari semua orang di sini yang tidak tersenyum, kecuali aku. Keberadaanku di sini hanyalah keterpaksaan.

Dua bulan setelah peristiwa malam itu di depan kantor Danish, hidupku seperti monokrom. Tidak ada warna ataupun tawa di dalamnya. Kegiatan yang terus berulang setiap harinya seperti rutinitas yang  membosankan tapi harus dijalani. Aku berangkat ke kantor di pagi hari, menyibukkan diri di kantor, lalu pulang saat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Setelah itu, aku masih terjaga hingga pukul 2 dini hari. Semua itu terus berulang hingga aku terbiasa melakukannya secara spontanitas. Aku tidak lagi memiliki keinginan untuk tertawa sejak saat itu. Bahkan sesuatu yang sangat lucu pun, tidak berhasil membuatku menggerakkan bibir untuk tersenyum. Hidupku hampa setelah ditinggalkan Danish.

Aku juga tidak berusaha untuk menemui Danish ataupun mengikutinya seperti yang dulu selalu aku lakukan saat bertengkar dengannya. Ucapannya malam itu sudah cukup melukai hatiku. Dia secara tidak langsung mengatakan kalau dia menyesal telah bertemu denganku. Perasaanku dan harga diriku terlukai malam itu. Dia tidak seharusnya mengatakannya jika dia ingin aku pergi dari hidupnya. Setidaknya, dia tidak perlu mengatakan kalau semua yang pernah terjadi di antara aku dan dia adalah sesuatu yang dia sesali. 

“Ini.”

Aku terkejut saat tiba-tiba sebuah cangkir terulur padaku. Aku menoleh dan menemukan Rania sudah berdiri di sampingku. Dia membawa dua cangkir teh di tangannya dan mengulurkan satu untukku.

Tanganku terulur untuk menerimanya namun tidak untuk meminumnya.

“Ada sesuatu yang kamu pikirkan?” tanyanya kemudian. Dia menyeruput sedikit teh chamomile yang dibawanya.

“Tidak ada.” Aku hanya menjawabnya singkat karena aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun termasuk dia.

“Matamu berkantung berarti kamu sudah beberapa hari kurang tidur. Dan biasanya, seseorang yang kurang tidur punya banyak pikiran,” lanjutnya lagi. 

Aku tersenyum sinis. “Sekarang kamu jadi peramal?”

Rania tidak menyahut. Dia lalu meletakkan cangkirnya di meja yang berseberangan denganku.

“Aku harap kamu tahu cara bersikap karena sebentar lagi pertunangan kita akan digelar.”

Sekarang, aku yang tidak ingin menyahut. Aku merasa diriku adalah orang yang sangat menyedihkan. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menolak keinginan Papa. Tanganku mengepal kuat menahan amarah di dalam diriku. Angin malam terasa sangat dingin malam ini, hingga terasa seperti menusuk-nusuk dadaku. Namun, aku memilih untuk membiarkannya. Toh, hatiku sudah terluka parah sekarang. Jadi, apa bedanya jika angin malam ini menambahinya?

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang