BAGIAN - SEPULUH

1.5K 122 1
                                    

Keenan


Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Beberapa lampu sudah dimatikan karena memang ini sudah malam. Seharian, banyak sekali yang harus aku lakukan termasuk tentang penyelesaian proyek di Magelang. Aku berjalan menuju tangga saat aku mendengar suara Papa memanggilku.

“Bisa kita bicara sebentar, Keen?”

Aku mengangguk lalu berjalan mengikuti Papa menuju ke teras belakang. Papa duduk di kursi dengan setelan piyama dan aku duduk di sampingnya, hanya berjeda satu meja kecil.

“Ada apa, Pa?”

Menurutku, kali ini Papa ingin bicara serius sehingga mengajakku ke teras belakang sehingga tidak akan mengganggu Nandhi yang tentu saja sudah tidur.

“Kamu sedang dekat dengan perempuan?” Papa tampaknya tidak ingin berbasa-basi.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Papa karena aku tidak tahu harus menjawab apa. Hubunganku dengan Danish memang dekat namun tidak ada hal yang bisa menjelaskan hubungan seperti apa yang terjadi di antara kami berdua. Dan jika aku memilih menjawab tidak dekat dengan perempuan manapun, pasti Papa akan mengenalkanku dengan anak perempuan teman bisnisnya. Aku seperti sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.

“Jika dibilang dekat, aku memang dekat dengan perempuan, Pa.” jawabanku terdengar mengambang.

“Apakah itu berarti tidak ada hubungan khusus? Kalau tidak, Papa ingin mengenalkanmu dengan anak teman Papa. Kamu mungkin sudah mengenalnya dulu.” Seperti yang sudah aku duga, Papa memang memiliki niatan untuk menjodohkanku dengan anak teman kerjanya.

“Bagaimana jika aku tidak ingin dikenalkan dengan siapapun, Pa? Karena aku berniat untuk serius dengan perempuan yang saat ini dekat denganku.” Aku mencoba menolak dengan halus.

“Kalau begitu, ajak perempuan itu ke rumah. Papa ingin berkenalan dengannya.” Papa terdengar sangat mendesakku.

“Aku akan mengajaknya jika waktunya sudah tepat.”

“Kalau begitu, kamu bisa menemui anak teman Papa dulu. Segala sesuatu masih mungkin terjadi, kan?” Papa mengatakannya dengan tersenyum. Namun, terasa sangat mengintimidasi. 

“Aku akan mengajaknya.” Aku tetap teguh pada pendirianku untuk tidak mau dikenalkan dengan perempuan yang Papa maksudkan. Siapapun itu, aku tidak ingin mengenalnya. Meski Papa bilang kalau aku mungkin saja mengenalnya dulu, aku tetap tidak berminat berdekatan dengan perempuan lain, selain Danish untuk saat ini.

“Papa tunggu dalam waktu dekat, Keen.” Papa lalu beranjak dari tempat duduk dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Sementara aku masih terpaku di teras belakang. Rasa lelah yang aku rasakan tadi langsung menghilang namun pikiranku justru lebih kacau lagi.

Bagaimana caranya aku mengajak Danish ke rumah sementara aku tidak punya alasan untuk itu? Hubunganku dan Danish belum pada tahap aku harus mengajaknya ke rumah dan mengenalkannya pada keluargaku. Aku dan Danish masih berjuang untuk menyembuhkan luka masing-masing.
Angin dingin yang menusuk kulit bahkan tidak bisa aku rasakan. Otakku terlalu berfokus pada pembicaraan dengan Papa tadi.


-00-

Danish


Kepalaku mendongak pada rumah mewah yang berada di depanku saat ini. Rumah ini berkali-kali lipat lebih besar dari rumahku. Tiga mobil mewah tampak terparkir di garasi dan aku mengenal salah satu mobil itu. Aku menunduk dan mengamati pakaian yang aku kenakan saat ini. Apakah pakaian yang aku pakai saat ini setara dengan kekayaan yang dimiliki pemilik rumah ini? 

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang