BAGIAN - DUA BELAS

1.3K 106 1
                                    

Keenan

Secangkir kopi terhidang di meja sejak beberapa saat yang lalu. Asap putih tidak lagi muncul dari permukaan kopi karena mungkin kopi ini sudah terlanjur dingin dan aku belum meminumnya sedikitpun. Aku memilih untuk duduk di kafe ini karena aku ingin sendiri saat ini. Kafe yang tidak terlalu ramai membuatku merasa nyaman. Mataku tertuju pada jalan raya yang ramai dengan lalu lalang mobil. Mataku merekam cahaya lampu mobil seperti sebuah light trails. Namun, pikiranku sudah berlalu pergi sejak tadi. 

Ingatan tentang peristiwa beberapa malam yang lalu di rumah Danish masih terekam jelas di pikiranku. Aku yang pada malam itu memilih untuk pergi begitu saja, membuatku menyesal sekarang. Danish tidak menghubungiku lagi sejak malam itu. Sementara aku masih terus bergelut dengan egoku. Malam yang semula terasa indah berbalik dengan cepat menjadi malam yang menyedihkan. Aku mengusap wajahku dengan kasar. Ternyata berada sendirian di sini terasa lebih menyakitkan. Akhirnya, aku memilih beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke luar kafe hingga aku mendengar seseorang memanggilku.

Aku menoleh dan melihat seseorang yang berdiri di dekat pintu kaca. Dia tersenyum padaku namun aku tidak merasa pernah mengenalnya. Perempuan itu lalu berjalan menghampiriku.

“Beneran Keenan, kan?”

Aku hanya mengangguk saja. Keningku mengerut saat menatapnya, mencoba mengingat-ingat perempuan di depanku ini. Apakah aku pernah mengenalnya sebelumnya?

“Rania. Masih ingat, kan?” lanjut perempuan itu. Senyum masih tersungging di bibirnya.

Aku terus mencoba mengingat nama Rania dalam memoriku, hingga akhirnya ingatanku menemukan sosok Rania kecil yang suka mengikutiku ke rumah setelah pulang sekolah.

“Ah, Rania Pengekor!” Dulu aku menjulukinya begitu karena dia selalu mengekor di belakangku kemanapun aku pergi, bahkan setiap kali aku bermain bersama teman-teman sekolahku.

Senyum perempuan itu semakin lebar saat aku akhirnya mengingatnya. Aku lalu mengulurkan tangan yang dibalas olehnya. “Gimana kabarmu?” tanyaku.

“As you see,” jawab Rania. 

“Mau minum kopi di dalam?” ajak Rania kemudian.

“Aku baru saja menyelesaikannya dan akan pulang. Bagaimana kalau besok makan siang saja?”

“Oke.”

“Kamu bisa menghubungiku di sini.” Aku mengulurkan kartunamaku pada Rania yang langsung menerimanya.

“Aku akan menghubungimu,” ucapnya saat menerimanya.

Aku mengangguk saja lalu berpamitan. Aku berjalan menuju ke tempat mobilku diparkirkan. Malam ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi dengan orang lain sehingga aku menolak ajakannya tadi.

-00-

Danish

Langit malam ini indah, menurutku. Bintang-bintang menghiasi langit dengan semaraknya. Sangat berkebalikan dengan hatiku yang sedang gelap. Sejak Keenan pergi dari rumahku malam itu, dia tidak lagi menghubungiku. Sementara aku berusaha menguatkan hatiku dengan pilihanku. Aku meletakkan tasku di meja kerjaku lalu berjalan ke tempat tidur. Ku rebahkan tubuhku di tempat tidur. Sembari menatap langit-langit kamar, aku memikirkan Keenan. Ingatanku mengajakku untuk mengingat setiap momen bersamanya. Cara dia menatapku atau tersenyum padaku selalu saja bisa membuatku luluh padanya. Lalu, setiap lelucon yang dia lontarkan selalu berhasil membuatku tertawa lepas. Dari semua itu, yang selalu membuat hatiku bergetar adalah caranya melindungiku.

Aku tentu saja masih ingat peristiwa di restoran malam itu. Saat dia mengajakku masuk ke dalam restoran, aku sempat bertanya kenapa dia membawa tas coklat di tangan kirinya. Dia hanya menjawab untuk berjaga-jaga saja. Aku tidak tahu apa yang di dalam tas itu, namun memilih mengabaikannya. Lalu, saat Henry tiba-tiba muncul di situ, Keenan langsung memakaikanku topi yang disimpannya di dalam tas coklat itu. Ia bahkan juga membawa scarf untuk menutupi sebagian wajahku. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa niatnya berjaga-jaga adalah untuk melindungiku seperti ini. Lalu, saat dia mengajakku untuk ke luar restoran, dia juga menggenggam tanganku dengan erat. Dia benar-benar ingin melindungiku. Bahkan, saat dia menemaniku semalaman hanya karena aku memintanya tinggal, membuat perasaanku padanya semakin kuat.

Keenan telah berhasil mengalihkan duniaku yang semula gelap karena bayang-bayang masa lalu yang mengerikan menjadi kebahagiaan tak terhingga dengan kehadirannya. Hari-hariku sekarang juga habis hanya untuk memikirkannya saja. Aku bahkan sampai tidak menyangka bisa menyisihkan traumaku dengan terus memikirkannya.

-00-

Keenan

Aku duduk lagi di restoran Jepang siang ini, juga tempat duduk yang sama seperti saat aku pertama kali bertemu Danish. Beberapa orang tampak memenuhi meja dan mereka tampak asyik bersenda gurau dengan rekan-rekannya satu meja. Sementara aku hanya duduk di sudut ruangan sembari mengamati semua itu. Hingga mataku menemukan seorang perempuan tengah berjalan ke arahku. Dia mengenakan dress selutut warna navy. Bibirnya dipoles lipstik warna pink gelap dan tersenyum padaku. Aku membalasnya dan memintanya duduk di depanku.

“Kamu mau pesan apa, Ran?” Aku menyodorkan buku menu padanya. 

Setelah melihatnya sekilas, dia memilih ramen. Lalu, aku memanggil waitress untuk menyiapkan menu pilihan Rania. Sementara aku, sudah lebih dulu memesannya.

“Maafkan aku yang harus mengajakmu ke tempat seperti ini. Aku sedang tidak bisa jauh-jauh dari kantor.”

Rania tersenyum lebar mendengarnya. “Enggak apa-apa, Keen. Aku sudah senang bisa bertemu denganmu.”

“Berapa lama kita tidak bertemu?”

“Mm, kira-kira setelah kamu lulus SMA dan memilih tinggal di Jakarta. Kamu sudah tidak pernah menghubungiku sejak saat itu,” cerita Rania.

Aku mencoba mengingat-ingat saat-saat itu. Aku memang memutuskan untuk kuliah di Jakarta karena aku ingin menemui Irene. Aku sudah menunggu momen itu dalam waktu yang lama. Setiap hari aku selalu bertekad agar aku bisa kuliah di Jakarta lalu mendatangi panti asuhan itu lagi. Namun, saat aku datang, Irene sudah tidak berada di sana. Dan aku tidak tahu kemana dia pergi. Aku terus berusaha mencari informasi tentang keberadaannya hingga aku merasa putus asa sendiri dan aku memutuskan untuk mengambil beasiswa ke USA setelah aku diterima bekerja di Bank. Kehidupan di luar negeri dan juga pekerjaan yang tidak pernah memberiku waktu luang, pada akhirnya, berhasil menyisihkan ingatan tentang Irene, hingga saat aku bertemu lagi dengannya.

“Keen…” suara Rania membangunkanku dari lamunan. Aku tersenyum. Sebenarnya sedang menertawakan diriku yang masih saja tidak bisa lepas dari bayang-bayang Irene.

“Aku dengar dari Papamu kalau kamu sekarang mulai sibuk meneruskan bisnis keluarga.”

Aku mengangguk. “Sejak Mama meninggal, aku ingin mengurus Nandhi. Makanya, aku pulang ke Jogjakarta.”

“Nandhi?”

“Aah, kamu belum kenal adikku, ya? Memang baru lahir saat aku sudah kuliah,” jawabku. Rania tersenyum. Senyum yang sama seperti dulu, setiap kali aku memberinya permen karamel. Dulu, aku selalu membeli permen karamel dengan uang jajanku karena permen itu adalah kesukaan Irene. Meski aku tidak bisa memberikan padanya, namun dengan mencecapnya setiap waktu akan membuatku mengingat Irene. Rania selalu membuntutiku dan meminta permen karamelku. Dia akan menangis histeris jika aku tidak memberikannya dan dia akan selalu tersenyum saat aku mengalah dan memberikan satu permen karamel untuknya.

Pertemuan dengan Rania membawaku pada ingatan masa lalu saat aku berjuang setiap harinya untuk menahan rinduku pada Irene.

“Kapan-kapan aku akan ke rumahmu untuk bertemu dengan adikmu. Papamu juga mengundangku ke rumah beberapa waktu lalu saat Papamu ke kantor Papaku.” Ucapan Rania semakin lama membuatku semakin mengerti bahwa perempuan yang akan dijodohkan Papa denganku adalah dia.

Dua mangkuk ramen terhidang di meja. Aku mengajak Rania untuk menyantapnya sebelum dingin. Sesekali kami bercerita tentang waktu-waktu yang sudah berlalu dan juga tertawa pada kelucuan-kelucuan di masa lalu.

-00-

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang