BAGIAN - TUJUH

1.7K 137 0
                                    

Keenan

Pandanganku berputar di antara tembok bercat kombinasi hijau mint dan putih. Tampak sederhana namun nyaman. Beberapa bunga diletakkan di rak-rak kayu. Juga beberapa deretan buku yang sebagian besar tentang motivasi atau konseling. Selebihnya, tidak banyak perabot di rumah ini. Ini adalah pertama kalinya aku masuk ke rumah ini. Semua ini karena Ervin yang memintanya.

Beberapa jam yang lalu, Ervin tiba-tiba meneleponku yang sudah berada di kantor. Dia memintaku untuk kembali ke rumah, tempat aku mengantarnya tadi. Dia terdengar panik dan memintaku untuk segera datang. Aku yang berencana akan mengadakan rapat, akhirnya membatalkannya. Aku segera memacu mobilku kembali ke rumah tadi. Saat aku sudah sampai, Ervin sudah menungguku di depan rumah. Dia lalu mengajakku masuk untuk mengenalkanku dengan orang yang disebutnya klien. Ketika mataku beradu dengan mata perempuan yang berdiri tidak jauh dariku, aku tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin dari semua perempuan di seluruh Jogjakarta ini, perempuan yang menjadi klien Ervin adalah Danish. Perempuan yang sejak kemarin diceritakan Ervin adalah Danish, perempuan yang menolak untuk berteman denganku. 

“Kenalkan, ini Danish.” Ervin mengenalkanku pada kliennya.

Aku malah tersenyum. “Aku sudah mengenalnya. Dia orang di balik tas coklat itu.” Saat aku membisikkan bagian kalimat kedua pada Ervin, ekspresi terkejut tidak bisa ditutupinya. Dia menatapku dengan tatapan penuh tanya

“Dia teman yang kamu bicarakan, Vin?” Suara Danish menghentikan tatapan Ervin padaku. Dia langsung menoleh pada Danish dan tersenyum.

“Iya. Dia akan menjagamu untuk sementara waktu.”

Aku sekarang yang tidak bisa menutupi keterkejutanku dengan ucapan Ervin. Apa maksud ucapannya tadi? Dia bahkan tidak mendiskusikan apapun denganku sebelumnya.

“Bisa kita bicara sebentar, Vin?” bisikku pada Ervin. Aku melihat mata sendu Danish yang sedang menatapku. Dan itu membuatku bingung harus bersikap bagaimana padanya.

Ervin setuju. Lalu, kami berdua berjalan ke halaman depan rumah. “Bisa kamu jelaskan maksudmu tadi?”

Ervin berdeham sebelum mengatakan, “Aku minta tolong untuk menjaganya, Keen. Dia membutuhkan seseorang untuk menjaganya sementara waktu. Dan aku … aku harus segera kembali ke Jakarta sekarang. Irene sedang menuju rumah sakit karena perutnya mulai mulas. Aku tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi, kalau bukan kamu.”

“Ya, tapi kamu bisa menanyakan padaku dulu sebelumnya. Bagaimana bisa kamu memintaku untuk menjaganya? Aku juga punya pekerjaan yang harus dikerjakan.”

“Aku mohon, Keen. Aku akan segera kembali setelah kondisi Irene membaik dan menyelesaikan masalah ini. Tadi aku mengajaknya ke psikiater dan dia masih membutuhkan pendampingan. Apalagi, kemarin dia baru saja melihat mantan suaminya lagi saat sedang di Malioboro.”

Aku terkejut mendengarnya. Jadi, sikap Danish yang tampak ketakutan sepanjang jalan Malioboro karena dia melihat mantan suaminya. Cerita Ervin tentang Danish kemarin tiba-tiba berputar ulang di memoriku. Hatiku pun menjadi luluh karenanya. Aku akhirnya menyetujui permintaan Ervin. Dia tampak lega mengetahuinya dan langsung menemui Danish. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sesaat kemudian, Ervin sudah berpamitan padaku. Dia akan ke hotel untuk mengambil kopernya dan langsung pergi ke bandara.

“Ini teh untukmu.” Suara Danish menggugahku dari ingatan tentang peristiwa tadi sore. Dia meletakkan secangkir teh di meja lalu duduk di sofa seberangku. Wajahnya tampak lelah dan lingkaran hitam sangat kentara di matanya. Entah sudah berapa lama dia tidak tidur. Melihatnya seperti ini membuatku tidak tega. Perempuan ini sudah melewati banyak hal berat dalam hidupnya.

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang