BAGIAN - LIMA

1.9K 152 1
                                    

Danish

Aku kembali melirik jam tanganku. Sudah dua jam aku duduk di bangku pojokan sebuah restoran Jepang. Ocha yang ku pesan pun sudah diisi ulang hingga 5 kali. Restoran yang semula ramai saat jam makan siang kembali sepi. Hanya tinggal beberapa orang yang masih bercengkerama. Aku menoleh pada tas berbahan kertas warna coklat yang ku bawa tadi. Di dalam tas itu ada jas milik Keenan. Kemarin saat Keenan mengatakan akan menghubungiku, aku sudah menyiapkan jasnya dan memasukkannya ke dalam tas sehingga aku tidak akan melupakannya. Aku juga datang ke restoran ini bahkan sebelum Keenan menghubungiku. Hingga setelah dua jam menunggu, Keenan tidak juga datang. 

Ponselku berbunyi dan aku langsung mengangkatnya.

“Dimana, Dan?”

“Lagi di luar, Pak. Ada apa?”

“Kamu bisa ke Alun-alun sekarang? Ada acara di sana dan tidak ada yang bisa ke sana untuk meliput.”

Aku tidak langsung menjawabnya dan malah menoleh ke arah tas coklat di sampingku. Jika aku harus liputan sekarang, lalu bagaimana dengan jas ini? Aku tidak mungkin untuk mengembalikannya ke rumah dulu karena terlalu jauh dari sini ke rumah lalu ke Alun-alun. Tapi, jika aku membawanya untuk liputan, di mana aku akan menyembunyikannya nanti.

“Dan?” Atasanku menungguku untuk menjawab.

“Hmm, iya Pak. Saya ke sana sekarang.”

Telepon langsung ditutup. Dan memang selalu begitu. Atasanku bukan tipe orang yang senang mengucapkan terima kasih atau sejenisnya. Jika keinginannya sudah terpenuhi, maka itu sudah cukup baginya.

Aku memasukkan ponselku ke dalam tas dan langsung beranjak ke luar dengan membawa tas coklat tadi. Di luar, aku segera mencari taksi. Dan saat aku hendak naik ke taksi, mataku menemukan Keenan yang ke luar kantor dengan mobilnya. Aku bisa melihatnya dari balik jendela kaca mobilnya. Mungkin, dia benar-benar sibuk hari ini, pikirku. Aku langsung naik ke taksi dan minta diantarkan ke Alun-alun.

-00-

Keenan

Hari ini semuanya berjalan di luar ekspektasiku. Aku harus menemui rekan bisnis Papa di Magelang lalu harus meninjau hotel yang masih dalam proses pembangunan. Selain itu, masih ada tamu Papa yang datang ke kantor menawarkan kerjasama. Aku baru bisa duduk dengan tenang setelah jam menunjukkan pukul 8 malam. Ku sandarkan kepalaku di sandaran kursi dan mencoba memejamkan mata. Rasanya sangat lelah hari ini menjalani serangkaian jadwal.

Dulu pada saat menjadi Kepala Cabang, aku juga harus menjalani serangkaian jadwal seperti itu. Bertemu calon debitur, nasabah prioritas atau tiba-tiba dipanggil Direksi. Tetapi, entah kenapa, aku lebih merasa lelah sekarang. Aku mendengar suara pintu diketuk dan membuatku langsung membuka mata. Sesaat kemudian, aku melihat sekretarisku membuka pintu.

“Bapak pulang jam berapa? Nanti saya minta driver menyiapkan mobil.”

“Aku pulang sendiri saja. Driver-nya bisa pulang saja dan kamu juga boleh pulang,” jawabku masih dengan kepala yang bersandar.

“Baik, Pak. Oh iya, Pak. Ada seseorang mencari Bapak sejak tadi jam 6. Dia bilang akan mengantar sesuatu dan harus langsung bertemu Bapak. Tetapi karena Bapak tadi pesan tidak ingin menerima tamu lagi, saya tidak mengijinkannya masuk. Dia masih menunggu di lobby sampai sekarang,” ceritanya dan langsung membuatku menegakkan duduk. Otakku langsung menyebut nama Danish. 

“Aku akan menemuinya di lobby.” Aku langsung merapikan mejaku dan segera ke luar ruangan dengan setengah berlari. Tidak ku pedulikan tatapan sekretarisku. Sesampainya di lift, aku segera menekan tombol lobby.

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang