BAGIAN - DELAPAN

1.7K 130 0
                                    

Keenan


Jalanan Jogjakarta malam ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena bukan sabtu malam dan bukan waktunya liburan. Aku mengemudikan mobilku dari kantor menuju ke rumah Danish. Sudah satu bulan ini, aku mendatangi rumah Danish setiap pulang kerja, hanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Orang yang diminta Ervin untuk menjaga Danish sebenarnya sudah datang, tetapi entah kenapa aku masih saja merasa khawatir. Mobil melaju melambat saat memasuki lingkungan perumahan, hingga akhirnya berhenti di depan rumah mungil bercat hijau mint.

Aku melangkah turun dari mobil dan berjalan masuk. Danish sudah langsung membuka pintu bahkan sebelum aku mengetuknya. Dia berdiri di daun pintu sembari tersenyum padaku. Kami berdua sudah cukup dekat untuk saling memberikan perhatian satu sama lain.

“Bagaimana hari ini?” tanyaku seraya berjalan masuk ke ruang tamu.

“Seperti biasa. Hari ini psikiater datang dan dia bilang keadaanku semakin membaik. Dan tadi malam, aku pun tidak lagi bermimpi buruk,” cerita Danish dengan senyum yang sumringah.

Danish memang terlihat lebih bahagia dibandingkan saat pertama kali aku melihatnya dulu. Matanya mulai berbinar. Dan senyumnya terlihat manis yang menunjukkan lesung pipit dan matanya yang sipit membentuk lengkungan saat tersenyum. Aku selalu menyukai saat dia tersenyum seperti ini.

“Kamu mau jalan-jalan, Dan?” ajakku. Danish tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir. Mungkin dia masih takut.

“Aku akan menjagamu. Kamu harus keluar agar tidak bosan di rumah terus.”

Danish akhirnya setuju. Dia lalu berjalan menuju kamarnya untuk mengganti baju.


-00-


Danish


Sesekali aku melirik ke arah Keenan yang tampak fokus menyetir. Dia tidak mengatakan apapun setelah keluar dari rumah. Dia hanya sempat berkata mengajakku jalan-jalan untuk menikmati malam. Mobil berbelok ke halaman restoran mewah. Ini adalah salah satu restoran mahal di Jogja dan biasanya memang harus reservasi dulu saat datang ke sini. Dulu, aku pernah datang ke restoran ini dengan Henry karena ada acara makan malam bersama keluarganya.

“Kenapa kita ke sini?” tanyaku.

“Aku ingin mengajakmu makan malam.”

“Tapi aku memakai baju seperti ini,” ucapku lirih. Aku menunduk dan melihat celana jeans juga sweater longgar warna maroon yang aku pakai. Rasanya tidak pantas masuk ke sini dengan kostum seperti ini.

Keenan tersenyum saat melihatku. Dia sudah memarkirkan mobilnya.

“Kamu tahu, Dan? Kamu tetap cantik memakai baju apapun.” Ucapan Keenan membuatku diam. Apalagi tatapan matanya yang terasa langsung menghunus dadaku. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba jantungku merespon dengan berdegup sangat cepat. Seketika aku merasa tanganku dingin. Aku merasa gugup dilihat seperti itu oleh Keenan.

“Ayo turun.” Keenan melepas seatbelt-nya. Dia melangkah turun dari dalam mobil dan aku mengikutinya. Kami berdua turun dan berjalan masuk ke dalam restoran. Keenan ternyata sudah memesan tempat terlebih dulu. Dia sudah merencanakan ini sejak kemarin.

“Aku dengar, besok kamu sudah masuk kerja?” tanya Keenan saat kami berdua sudah duduk di bangku yang berada di halaman luar sehingga langsung bisa menatap langit malam.

“Iya. Aku sudah merasa baik-baik saja. Dan aku harus mulai menjalani aktifitasku lagi,” jawabku. Aku pikir akan lebih baik kalau aku mulai menjalani aktifitasku lagi. Aku juga bosan terus-terusan berada di rumah.

“Kalau kamu mau aku bisa mengantarmu dan menjemputmu ke tempat kerjamu?”

Aku tersenyum mendengar tawaran Keenan.

“Jangan terlalu baik padaku, Keen. Nanti aku bisa jatuh cinta sama kamu,” gurauku. Keenan tertawa mendengarnya, namun entah kenapa matanya mengisyaratkan sesuatu yang berbeda.


Keenan


Aku tidak tahu apakah ini cinta, Dan. Tetapi aku senang saat berada di dekatmu. Bersama denganmu seperti ini apalagi melihatmu tersenyum bahkan tertawa, aku merasa bahagia. Mungkin terlalu cepat mengatakan ini cinta, tetapi aku pun tidak akan keberatan jika suatu saat nanti aku memang mencintaimu. Kamu adalah perempuan baik dan selalu berusaha menjadi kuat. Aku kagum padamu. Aku hanya membatin saja kata-kata itu saat menatapnya.

Pramusaji datang menyajikan makanan kami berdua. Aku mengajaknya untuk makan. Danish mengangguk lalu mulai makan. Dia makan dengan lahap hingga tiba-tiba dia menghentikan makannya. Raut wajahnya yang tadi ceria berubah menjadi takut. Garpu yang dipegangnya pun jatuh. Dia kemudian langsung menunduk. Bibirnya bergumam namun aku tidak tahu apa yang dikatakannya.

“Dan, kamu kenapa?” tanyaku.

“Dia…” Aku hanya bisa mendengar Danish menyebut  ‘dia’. Aku menoleh pada arah yang tadi dilihat Danish dan ada begitu banyak orang di sana. Aku tidak tahu orang yang mana yang disebut Danish, namun aku tahu ini pasti berhubungan dengan mantan suaminya. Hanya laki-laki itu yang ditakuti Danish. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan mendekati Danish. Aku berjongkok di depannya, lalu memakaikan topi di kepalanya. Topi itu sudah aku siapkan untuk berjaga-jaga. Danish tampak terkejut dan dia menatapku.

“Dan, kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini. Aku kan sudah bilang kalau aku akan menjagamu. Jadi, percayalah padaku.”

Danish masih tidak menyahut. Dia hanya menatapku. Matanya terlihat berkaca-kaca.

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang