BAGIAN - TUJUH BELAS

1.3K 115 0
                                    

Danish

Langit sudah gelap, namun aku masih memilih untuk membiarkan ruangan kamarku gelap dan hanya sedikit sinar dari ruang tamu yang masuk melalui pintu. Aku duduk di lantai dengan merangkul kedua kakiku. Pikiranku terus berjalan jauh sejak aku sampai di rumah tadi. Bayangan tentang apa yang aku lihat di kantor Keenan masih terekam dengan jelas di dalam ingatanku. Bahkan, aku sudah langsung mencari sosok perempuan yang bersama Keenan sesampainya di rumah. Aku akhirnya ingat siapa perempuan itu dan dimana aku pernah menemuinya. Dia adalah perempuan pertama yang aku wawancarai dulu.

Namanya Rania, atau lengkapnya Rania Larasati Tunggadewi. Dia adalah anak tunggal dari pengusaha paling terkenal di Jogjakarta, mungkin juga sudah sampai skala nasional. Saat ini, Rania menjalankan bisnis brand kosmetik dan perhiasan yang sudah terkenal hingga ke luar negeri. Sesuatu yang mengusik ingatanku kemudian adalah saat aku menanyakan tentang pasangan Rania. Dia tersenyum lalu berkata, "Aku menjaga hatiku untuk seseorang dari masa laluku. Seseorang yang selalu memberiku permen karamel."

Aku menggigiti kuku-kuku jariku. Keenan dan Rania mungkin saja memiliki sejarah masa lalu yang tidak aku ketahui. Rania hanyalah bentuk lain dari masa lalu Keenan selain Irene. Sementara aku, aku adalah orang yang baru saja datang ke kehidupan Keenan dan tidak memiliki apapun untuk dikenang. Mataku melirik ke arah ponselku yang terus berdering sejak tadi. Nama Keenan tertera di layar dan itu membuatku semakin merasa sakit.

Seharusnya, dia tidak datang dalam kehidupanku. Seharusnya, dia tidak menghidupkan cinta yang sudah lama mati. Seharusnya, aku tidak mencintainya. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan menangis sejadinya.

-00-

Keenan

Aku meletakkan ponselku setelah puluhan kali mencoba menelepon Danish. Di mana dia sekarang? Dan kenapa dia tidak mengangkat teleponku. Perasaan gelisah mulai menggelayutiku. Mungkin lebih baik aku pergi ke rumahnya dan mencari tahu. Tanganku dengan cepat meraih ponsel dan hendak ke luar kamar saat aku melihat Papa sudah berdiri di depan pintu kamarku. Wajahnya tampak lelah namun ada senyum di bibirnya.

"Papa ingin bicara denganmu."

Aku ingin menolak, namun aku juga sedang tidak ingin bertengkar dengan Papa karena membantahnya. Kami berdua akhirnya duduk di teras belakang sembari menatap kolam renang yang bergerak-gerak pelan karena angin.

"Papa senang kamu mulai dekat dengan Rania." Suara Papa memecah keheningan.

"Aku dan Rania memang sudah dekat sejak dulu," sahutku. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau Papa akan membahas tentang Rania, perempuan yang dipilihnya untuk menjadi calon istriku. Semua ini mungkin tidak jauh dari urusan bisnis Papa dengan orang tua Rania. Pernikahanku dengan Rania adalah sebuah pernikahan transaksional dan harga diri.

"Itulah kenapa Papa ingin kamu menikahi Rania. Karena kalian sudah dekat dan cocok satu sama lain," tambah Papa.

"Kedekatanku dengan Rania hanya sebatas sahabat masa kecil. Belum tentu juga aku cocok dengannya."

Papa diam kemudian. Mungkin intonasiku yang mulai meninggi membuat Papa cukup tahu untuk menahan diri.

"Papa berniat mengundang keluarga Rania untuk makan malam." Papa menambahkan lagi dan membuatku semakin jengah.

"Terserah Papa. Aku harus pergi."

Aku sudah tidak ingin mendengar pembahasan tentang Rania. Juga, rasa khawatirku pada keadaan Danish membuatku ingin segera menemuinya. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan meninggalkan Papa di teras belakang. Langkah kakiku cepat menuju ke garasi.

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang