BAGIAN - DUA PULUH TIGA

4K 144 8
                                    

Keenan

Perayaan tahun baru di Jepang sangat meriah. Beberapa orang memenuhi jalan dan bersiap untuk merayakan pergantian tahun. Ini adalah tahun kelima aku merayakannya di sini. Sebenarnya, tidak ada yang aku rayakan di sini. Setiap tahunnya, aku hanya berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal hingga kakiku terasa lelah, menikmati sake dan melihat langit yang penuh warna dengan kembang api yang bertebaran.

Tahun ini, aku juga melakukan hal yang sama. Aku berjalan menyusuri trotoar yang hampir penuh dengan orang-orang yang sedang berjalan-jalan. Rata-rata mereka sedang bersama dengan pasangan masing-masing. Sementara aku, aku sudah terbiasa berjalan sendiri kemanapun aku pergi. Aku lebih menyukai kesendirian ini sehingga aku bisa merasakan kehadirannya di sampingku.

Aku berhenti di sebuah taman yang tidak terlalu ramai. Malam ini, aku sudah berjanji dengan seseorang untuk bertemu di sini. Taman ini cukup familiar sehingga akan lebih mudah untuk menemukannya. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam coat karena udara dingin mulai terasa saat aku diam seperti ini. Napas yang aku hembuskan pun terlihat seperti asap putih tipis. Aku beranjak dari tempat duduk dan mulai berjalan-jalan di sekitar bangku taman untuk menghilangkan dingin yang menyerangku.

"Keenan."

Aku menghentikan langkah saat mendengar suara yang sangat aku kenal. Meski suara itu bukanlah milik orang yang berjanji bertemu denganku di sini, tetapi suara itu cukup untuk membuatku menoleh dan menatapnya dengan tidak percaya.

Beberapa langkah dari tempatku berdiri, aku melihat seorang perempuan dengan balutan coat warna coklat. Sebagian wajahnya tertutup syal yang melingkari lehernya, namun aku cukup bisa mengenali perempuan itu. Dalam waktu beberapa detik, aku berusaha untuk meyakinkan diriku kalau semua ini bukanlah mimpi. Aku benar-benar melihatnya berdiri di depanku dan dia sedang tersenyum. Beberapa detik kemudian, aku sudah merengkuhnya ke dalam pelukanku. Entah kapan aku sudah berjalan ke arahnya, tetapi aku bisa merasakan tubuhnya di pelukanku sekarang. Tangannya bahkan menyentuh punggungku. Aku masih saja tidak percaya ini benar-benar terjadi.

"Aku kangen sama kamu. Kangen banget." Suaraku terbata saat mengatakannya. Emosiku seperti meluap dan bercampur dengan perasaan bahagia yang luar biasa.

"Aku juga kangen kamu, Keen." Dia bersuara di telingaku dan aku semakin yakin kalau ini adalah nyata. Perempuan yang sedang di dalam pelukan ini adalah Danish.

Aku melepaskan pelukan dan melihatnya dengan benar. Dia memang Danish. Senyumnya masih sama meski rambutnya sudah berubah. Dia bahkan masih secantik dulu.

"Kenapa kamu jadi nangis?" Danish mengusap airmata yang menetes di pipiku. Aku bahkan tidak menyadarinya. Aku mungkin terlalu bahagia atau karena semua perasaan rindu dan bersalah yang selama ini terpendam.

Aku menariknya lagi dalam pelukanku. Kali ini pelukanku sangat erat.

"Bagaimana kamu bisa berada di sini?"

"Aku akan menceritakannya kalau kamu sudah melepaskan pelukanmu. Aku hampir tidak bisa bernapas, Keen." Aku tertawa mendengar ucapan Danish.

-00-

Danish

Aku berdiri di depan sebuah rumah mewah dengan desain minimalis. Hanya selang beberapa detik setelah aku menekan bel, perempuan yang aku cari muncul dari balik pintu. Dia tersenyum saat melihatku.

"Masuklah, Dan." Aku menggeleng karena aku tidak punya banyak waktu. Taksi yang aku sewa masih menunggu di depan rumah.

"Aku tidak bisa lama. Taksi menungguku." Aku menunjuk pada mobil yang menunggu di depan rumahnya. Dia pun memahaminya.

"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu karena sudah memberikan ini." Aku menunjukkan tiket pesawat yang sedang aku genggam.

Dia tersenyum melihatnya. "Akhirnya, kamu sudah memutuskan?"

Aku mengangguk dengan mantap.

"Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berterima kasih padamu, Ren. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku dan Keenan."

Irene tidak mengatakan apapun dan malah memelukku. "Aku sudah sangat bahagia bisa melihatmu dan Keenan bahagia."

Aku tersenyum mendengarnya. "Aku dan dia pasti bahagia. Pasti."

Irene melepaskan pelukan dan aku langsung berpamitan. "Titip salam buat Ervin. Aku juga sangat berterimakasih padanya."

Irene mengangguk. Aku berjalan ke luar pagar dan masuk ke dalam mobil yang akan membawaku ke bandara.

-00-

Keenan

"Jadi Irene yang menemukanmu?"

Aku mengangguk. "Aku bahkan sudah berusaha bersembunyi dari mereka dengan membawa payung kuning kemanapun aku pergi." Aku tertawa sendiri saat mengingatnya.

Keenan juga ikut tertawa. "Mungkin kita tidak akan bersama seperti ini kalau Irene tidak menemukanmu dalam foto temannya."

Aku tersenyum. Sementara tanganku masih melingkar erat di lengan Keenan dan kepalaku bersandar pada pundaknya. Pandanganku tertuju pada langit yang mulai berwarna karena kembang api. Sebentar lagi, malam pergantian tahun akan dimulai.

"Aku senang bisa bersandar padamu seperti ini. Menikmati langit yang sangat indah di kota yang indah. Aku ingin bisa terus melingkarkan tanganku di lenganmu seperti ini karena aku merasa sangat nyaman melakukannya."

Aku mendengar ucapan Danish dengan perasaan bahagia. Aku bahagia karena akhirnya kami berdua bisa bersama. Berada sedekat ini.

"Aku pikir aku bisa hidup tanpamu. Terbiasa untuk tidak memikirkanmu. Namun, meski lima tahun berlalu, aku masih memeluk boneka pemberianmu setiap malam. Membayangkanmu sedang berada di sampingku. Merasakan lenganmu di pundakku. Ternyata, semua hal yang pernah kita lakukan terlalu melekat erat di pikiranku meski hanya sebentar."

Aku melepaskan lingkaran tangan Danish di lenganku. Lalu beranjak dari tempat duduk. Danish menatapku dengan bingung.

"Kamu mau enggak menikah denganku?" Aku mengulurkan tanganku padanya. Menunggunya menjawab.

Danish

Jantungku berdegup dengan cepat mendengarnya memintaku menikahinya. Aku masih mendongak dan menatapnya. Aku berusaha mencari tahu sesuatu di dalam matanya, namun yang aku temukan hanyalah ketulusan. Dia tulus mengucapkannya. Dia tampak benar-benar ingin menikahiku.

Tanganku menyentuh telapak tangannya. Lalu, aku berdiri dan masih tidak melepaskan tatapanku dari matanya. Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya. Mataku terpejam saat kami hanya berjarak satu inci. Lalu, aku bisa merasakan bibirku menyentuh bibirnya. Aku menciumnya dan aku pikir itu sudah menjadi jawaban untuk pertanyaannya.

Keenan membalas ciumanku. Dia bahkan melingkarkan tangannya pada punggungku. Kami berdua sedang sibuk berciuman meski suara dentuman kembang api semakin berisik dan langit sudah sangat berwarna dengan berbagai warna kembang api.

Biarkan saja mereka merayakan perayaan pergantian tahun. Aku juga ingin merayakan kebersamaanku dengan Keenan. Sebentar lagi, kami akan menikah. Bersama dan tidak pernah terpisah. Saling mencintai hingga tidak ada cinta yang tersisa. Memeluknya hingga aku tidak punya tenaga melakukannya.

Aku melingkarkan tanganku di leher Keenan. Ciuman kami berdua semakin intim. Aku tidak peduli pada orang yang lewat atau melihat kami karena aku tidak akan lagi mendengarkan orang lain. Satu suara yang akan aku dengar mulai sekarang adalah suara Keenan. Suaranya yang sedang berbisik di telingaku.

Aku senang berada sedekat ini dengannya. Aku bisa merasakan tubuhnya di tubuhku. Menghirup aroma parfum yang sangat aku suka sejak pertama kali bertemu dengannya. Sepertinya, tidak ada yang tidak aku suka darinya.

Aah, mungkin aku terlalu banyak berbicara di dalam pikiranku. Aku hanya ingin menikmati ciuman darinya.

-END-

Close To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang