41. Hotel

470 29 0
                                    

Vallery memegang buku coklat itu dengan sangat erat, seolah tidak membiarkan siapa pun untuk mencurinya. Kini ia ada di taman di belakang rumah sakit. Pagi buta ia datang ke rumah sakit, meski dirinya baru tidur dua jam, namun ia sangat bersikeras untuk datang sangat pagi. Ada penjelasan yang Vallery tunggu dari Sam, penjelasan atas semua ini.

Sam menceritakan semuanya, mulai dari masa lalunya, hingga pada akhirnya bertemu dengan Nina dan Tom, orangtuanya. Tidak tertinggal cerita tentang Ken, yang diadopsi oleh kedua orangtuanya, juga tentang penyakit hemofilia yang di derita Ken sejak kecil.

Vallery tidak habis pikir, bagaimana mungkin Ken dapat menahan semua ini. Melewati semuanya hingga terlihat baik-baik saja. Vallery merasa amat bersalah. Mengingat ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Nih makan dulu. Lo belum sempet makan kan?" Tiba-tiba saja Syila memberikan satu porsi bubur ayam pada Vallery, lalu duduk di tengah-tengah. Antara Vallery dan Sam.

"Gadir banget lo, badan segede babon tapi nyempil udah kayak upil." Sam kesal karna terhimpit, lalu memutuskan untuk berdiri.

Vallery masih tidak bersuara sambil memegang sekotak bubur ayam yang Syila berikan. "Kenapa gak dimakan? Tenang gak bakal gue kasih racun kok." Ucapnya sambil tersenyum lebar.

"Thanks, Syil." Ucap Vallery kaku. Entahlah, Vallery bingung. Sebenarnya Syila memang baik, tidak ada niat jahat apapun selama ini. Hanya saja sikap dan perilakunya yang membuat Syila seolah antagonis.

"Oprasi Ken kapan?" Vallery bertanya setelah menelan bubur suapan terakhirnya.

"Siang ini, sehabis sholat jum'at." Jawab Sam.

"Gue yakin, Ken pasti kuat." Ucap Syila percayadiri.

"Aminn." Ucap Sam dan Vallery berbarengan.

"Cieeeeeee." Syila menggoda keduanya hingga membuat pipi Vallery merah bagai tomat. Tomat busuk. Wkwk.

¤¤¤ A.M.O.R ¤¤¤


Suasana berubah mencekam saat Ken dilarikan ke dalam ruang oprasi. Semua telah berkumpul di depan ruang oprasi, menunggu sambil berharap harap cemas. Vallery memutuskan untuk pergi ke mushola rumah sakit. Berdiam sambil melihat lampu oprasi yang terus menyala membuatnya semakin takut. Hatinya tidak dapat tenang dengan apa yang sedang terjadi.

Vallery terus memanjatkan doa, diatas sajadah biru ia terus memohon supaya Ken dapat melewati semuanya dengan baik. Bunda pernah berkata, kekuatan yang dimiliki umat muslim adalah doa. Vallery memang belum menutup aurat sepenuhnya, kepalanya masih belum terbungkus hijab. Tapi, ibadah adalah kewajiban yang harus dia jalankan dan memang telah menjadi keharusan, Vallery paham akan hal itu.

Vallery menangis dalam doanya, membayangkan bagaimana Ken yang sedang berjuang melawan sakit yang di deritanya membuat air mata Vallery tumpah. Vallery terus terisak hingga dadanya bergetar. Usapan lembut terasa di pundaknya, mencoba menenangkan lewat sentuhan telapak tangan. Vallery berbalik dan melihat siapa yang berada di belakangnya. Syila, dia tersenyum sambil terus mengusap bahu Vallery. Syila memeluk Vallery yang semakin terisak hingga tangisnya pun pecah.

"Tumpahin aja Ley, jangan di tahan. Biar lo lega." Ucap Syila masih terus memeluk Vallery.

"Ken pasti kuat kan Syil? Dia gak bakal pergi?" Suara Vallery bergetar akibat isakan.

"Saudara gue yang satu itu kuat kok, lo tenang aja. Percaya sama tuhan." Ucapnya menenangkan.

"Lo gak sholat?" Tanya Vallery. Kini tangisnya sudah mulai mereda.

"Gue katolik." Ucap Syilla sambil nyengir.

"Ohh sorry."

"Iya gakpapa ko. Btw, lo tau gak Ley?" Tanya Syila.

"Ya gak lah, kan lo belom ngomong." Balas Vallery sambil terkekeh.

"Lo beruntung dicintai sama seorang Kenard Alvaro, dia itu sepupu gue paling songong. Nyaris gak pernah cocok kalo gue kenalin sama temen gue, sampe yang paling cantik sekalipun. Motto hidupnya dia tuh sekali seumur hidup. Udah kayak nikah kan ya?" Syila tertawa setelahnya.

"Tapi gue akui, dia itu emang beneran setia. Tau gak waktu lo mergokin dia sama gue di bioskop terus lo mutusin dia? Dia langsung batalin nonton dan besoknya langsung cabut pindah ke Bandung. Gue sendiri sampe heran. Sebegitu sakitnya kah sampe pindah segala."

Vallery masih terus memperhatikan Syila yang bercerita dengan nada bicaranya yang dibilang songong. Emang mirip si kayak Ken. Duo songong.

"Padahal asal lo tau, dia gue ajak nonton hari itu karna abis nginep di hotel pribadi. Daripada sumpek, jadi begitu keluar hotel ya gue ajak jalan."

"Hotel?" Vallery bingung dengan maksud pembicaraan yang Syila ucapkan.

"Itutu sebutan rumah sakit. Ken itu paling ogah kalo nyebut rumah sakit, katanya biar kerenan dikit jadi sebutnya hotel. Dia emang selalu nyembunyiin penyakitnya, cuma keluarga aja yang tau. Alesannya kalo di tanya kemana aja karna ngilang, dia pasti jawab abis keliling dunia sama bokapnya ikut bisnis. Ken paling gak mau keliatan lemah terus dikasihani sama orang, jadi ya gitu."

Entahlah, Vallery harus merespon apa. Pasalnya ia baru tau alasan dibalik sifat Ken yang sering menghilang. Alasan mengapa Ken tidak mengabarinya setiap waktu. Alasan mengapa Ken selalu terlihat baik-baik saja.

"Dosa gue banyak banget sama Ken." Vallery menundukan kepalanya. Mengingat seberapa tega dirinya yang menampar kedua pipi Ken di tempat umum. Menampar seseorang yang sedang di gerogoti penyakit. Menampar seseorang yang sedang berjuang untuk hidup. Menampar seseorang yang sedang menahan sakit di tubuhnya. Dan Vallery malah menambah sakit yang Ken miliki.

"Udah, jangan di inget lagi. Gue gak bisa nyalahin lo, karna posisi lo saat itu gak tau apa-apa. Dan gue juga gak bisa nyalahin Ken karna dia gak cerita sama lo. Yang udah biarlah berlalu."

"Bila mematahkan perasaan seseorang adalah tindak kriminal, mungkin aku sudah di penjara sejak lama."



Mau ngucapin apa ke Vallery?

Mau ngucapin apa ke Ken?

Ada yang mau di sampein ke Syila?

Gimana perasaan kalian setelah baca part ini?

Vote dulu yuk

A.M.O.R ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang