Sing For You 14

236 43 8
                                    

°°°°

Happy Reading

°°°°

Siapa duga hal gila itu berhasil. Wendy berdiri di tengah jalan merentangkan tangannya memberi perintah agar Mark berhenti. Tentu Mark berhenti tapi, Mark juga membawa Wendy masuk ke dalam mobilnya.

"Hal konyol apa lagi?"

"Aku ingin bicara."

"Bicaralah."

"Apa aku seburuk itu?" pertanyaan itu memberi jeda Mark menjawab. Ia juga tidak tahu alasan kenapa dia mengatakan Wendy licik. Mobil Mark tetap melaju di atas rata-rata.

"Mungkin." Jawab Mark.

"Mark, ku mohon maafkan aku." Lirih Wendy. Mark cuek, tetap merhatikan jalan. Dan pada, akhirnya mereka berhenti disebuah tempat pemakaman. Wendy mengerutkan keningnya bingung. "Turun." Kalimat dingin itu membuat Wendy menurut. Mark membawa dua buket bunga putih.

Kali ini Wendy tidak banyak bertanya. Ia hanya membuntuti Mark dari belakang seperti orang bodoh. Dan mereka pun berhenti di sebuah nisan. Ada dua nisan. "Mark, mereka siapa?" tanya Wendy yang sudah tidak tahan menahan kepenasarannya sejak tadi.

Mark jongkok di antara kedua makan tersebut. "Orang tuaku." Wendy mengerjap, akhirnya dia tahu bahwa Mark memanglah seorang yatim piatu yang kaya raya. Sebab, selama ini yang Wendy ketahui hanyalah orang tua Mark kerja di luar Kota.

Selebihnya Wendy membiarkan Mark berdoa untuk orang taunya dan di ikuti dengan Wendy juga. Mark mendudukan tubuhnya di rerumputan hijau. Wendy pun juga.

"Mark, boleh aku bertanya sesuatu lagi?" tanya Wendy lembut. Mark hanya berdehem. "Hm, apa penyebab kematian orang tuamu?" Mark diam sebentar. "Aku."

"Kau? Ta–tapi kenapa kau?"

"Karena aku terlalu manja dan cengeng. Aku hanya ingin semuanya mendengarkan ucapanku. Dan, sampai pada akhirnya, saat sebuah nyanyian membuat mala petaka."

Penjelasan panjang itu membuat Wendy diam sejenak mencerna maksudnya. "Nyanyian? Jangan katakan kalau kau trauma karena sebuah nyanyian?" tanya Wendy tercengang. Mark melirik Wendy, "mungkin."

"Tapi Mark, itu bukan kesalahanmu. Itu sudah kuasa yang diAtas. Kau tidak bisa menyalahkan dirimu seperti itu."

"Aku tahu tapi, aku belum bisa mengikhlaskan kepergian orang tuaku."

"Kau harus bisa Mark. Apa kau tidak kasihan dengan orang tuamu? Mereka sedang menunggu ke ikhlasan mu agar bisa memilih jalan mereka di akhirat, Mark."

Mark tidak menyanggah perkataan Wendy. Diam dan mencerna kalimat itu lebih baik.

Wendy kembali mengingat perlakuan Mark saat ia bernyanyi dan saat ia meminta Mark untul bernyanyi. wendy jadi merasa dirinya benar-benar gadis yang licik dan bajingan. Memanfaatkan orang lain untuk kesenangannya sendiri.

Padahal, orang itu susah menaruh hati kepadanya. Dan, semua itu hanya di anggap permainan oleh Wendy. Kini, Wendy hanya berharap agar Mark bisa memaafkannya.

"Mark, maafkan aku. Ku mohon. Aku ..., aku tidak tahu tentang semua ini." Lirih Wendy. Mark hanya tersenyum tipis. "Sudahlah,"

Mark berdiri dari duduknya berjalan lebih dulu. Wendy mengejarnya dan menarik tangan Mark. "Mark, aku sadar, aku begitu licik dan bajingan. Aku ini seorang pengecut. Aku memang jahat." Tangisan ini sudah biaa ia tahan lagi. Menangis adalah suatu pelampiasan tersendiri.

Mark melepaskan genggaman Wendy pada tangannya. "Setidaknya kau sudah sadar. Dan itu cukup." Perlahan, Mark memajukan tubuhnya dan memeluk Wendy.

°°°

Mark mengantarkan Wendy pulang. Tapi sepanjang perjalanan Wendy masih berasa bersalah. Ia enggan untuk bersuara lagi.

Bahkan saat mobil itu sudah berhenti di depan pagar rumah Wendy pun, gadis itu tidak ingin keluar. Padahal hari sudah malam.

"Kau tidak akan turun?" tanya Mark menatap Wendy. Gadis itu membuang nafasnya perlahan. "Mark, sekali lagi, aku minta maaf."

"Bahkan aku bosan memaafkanmu."

Wendy berdecih tersenyum tipis. "Jadi, kita baikan?" Mark mengangguk dan berdehem. Senyum pun kembali terukir dari bibir ranum Wendy. "Hm ..., apa aku bisa menjadi kekasih mu lagi?" tanpa sadar Wendy menutup mulutnya sendiri karena keceplosan.

Mark tertawa singkat. "Tidak sebagai taruhan?" tanya Mark menaikan sebelah alisnya. Wendy mengangkat jari kelingkingnya. Mengangguk-angguk. Mark melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingking Wendy.

Perlakuan sederhana itu membuat jantung Wendy berdetak tak karuan. Ternyata, ia memang benar-benar menyukai Mark jauh sebelum pria itu menyukainya.

"Masuklah, kau kurang sehat."

"Ia, dan ini semua karenamu."

"Kenapa aku?"

"Semenjak kejadian itu kau tidak mau bicara denganku."

"Bukannya sebelum kita dekat aku juga jarang bicara denganmu?"

"Iya tapi ..., ah entahlah, kau menyebalkan."

Wendy keluar mobil karena malunya. Membuka pagar rumahnya dan masuk kedalam agar Mark tidak melihat betapa konyol dan senangnya dia saat tahu hubungannya dengan Mark sudah seperti dulu.

Mark manis, Mark lucu, dan Mark menyebalkan.

°°°

Hari terakhir. Ternyata masalah Wendy bukan hanya mendapatkan maaf dari Mark tapi juga misinya masih berlangsung. Wendy pasrah, ia mengaku kalah dan membawa gitar akustik nya kesekolah.

Ia sudah menduga, teman-teman nya pasti sudah menunggu nya di depan kelas. Yang Wendy lakukan kini hanyalah berfikir untuk alasanya. Ralat, untuk lombanya.

"Ah, gadis kebanggaan kita sudah datang. Kenapa lama sekali?" tanya Seulgi tampak meledek. Wendy hanya melempar senyum kepada temannya.

"Mana?  Ini sudah hari terakhirmu," kata Irene mengulurkan tangannya. Wendy kembali mendengus. Sebenarnya ia tidak rela mengembalikan gitar itu tapi, mau bagaimana lagi.

Saat Wendy ingin mengembalikan gitar tersebut, sebuah tangan menyambar gitar itu. Dan, tentu mereka terkejut.

TBC

katakan lanjut
Ahak :')

mwah kyososate

Sing For You || Markdy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang