24. cannot be changed

2.2K 244 17
                                    

Bulan yang tertutupi mendung malam ini seakan menjadi saksi sekaligus sandaran tak kasat mata untuk Huang Renjun. Disinilah ia meratapi semua penyesalannya. Namsan tower menjadi tempatnya menyendiri, meskipun banyak kenangannya dengan Hanna disini, namun ia tetap tidak beranjak dari sana.

Di tangannya ada selembar foto ukuran kecil, fotonya dan Hanna sepuluh tahun yang lalu. Foto yang diambil ketika mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.

"Maaf, kayaknya gue kasar banget sama lo."

Renjun cepat-cepat menghapus air matanya, ia menoleh ke samping kanan, seorang gadis cantik yang baru saja berujar tanpa menatapnya.

"Gue ... cuma kalut." Lanjutnya, terdengar menyesal.

Lalu, wajah cantik bagai bunga edelweiss itu tersenyum ke arahnya, senyuman penuh keteguhan namun menyakitkan.

Hanna menaruh tatap pada netra Huang Renjun yang masih meninggalkan sisa air mata, "jangan nangis, nanti jelek."

Kalimat itu seolah-olah menarik semua sediaan air mata Renjun yang masih ada untuk keluar dari matanya yang indah. Turun deras membasahi pipinya yang semakin kurus.

Tangan si cantik menepuk bahu Renjun, menenangkannya.

"Udah, jelek ah."

"Kan lo sendiri yang bilang gue harus cari kebahagiaan gue sendiri. Ya gue cari, dan akhirnya dapat, harusnya lo juga nyari kebahagiaan lo,"

Renjun semakin menangis, tidak peduli semakin jelek atau apapun. Ia hanya ingin menangis, menumpahkan segala rasa sakitnya di depan Hanna. Walau gadis ini sempat sarkas kepadanya, Renjun tau ... Hanna-nya yang lembut tak akan pernah berubah.

"Maaf." Satu kata yang meluncur dari bibir tipis Renjun menusuk Hanna tepat di ulu hatinya. Apakah Renjun benar-benar menyesal? Apa penyesalannya memang sebesar itu?

Renjun sendiri tak tau bagaimana Hanna bisa sampai disini. Melupakan fakta bahwa gadis itu sedang sakit, Renjun tidak lagi melihat selang infus menancap di punggung tangannya.

"Lo pasti bingung ya, kok bisa gue nemuin lo disini?"

Hanna memutar tubuhnya, memusatkan atensi pada sang raja malam yang mulai berani menampakkan keindahannya.

"Bakal gue jawab kalo lo bingung," jari telunjuk itu naik, menunjuk bulan purnama, "tempat mana lagi yang akan jadi pelarian lo waktu sedih selain Namsan tower? Bulan dalam fase apa lagi yang bikin lo rela kesini? Nggak ada, nggak ada tempat lain. Berkali-kali gue kesini sebelum lo kembali, tapi sekalipun gue nggak pernah merekomendasikan tempat ini waktu pergi sama Jaemin. Karena kalian dua orang yang berbeda, Namsan tower itu luka buat gue, tempat ini seharusnya jadi tempat yang didatangi banyak pasangan untuk bahagia, namun apa yang terjadi sama gue justru sebaliknya. Tebakan gue soal lo yang selalu lari kesini nggak pernah meleset, gue dari rumah udah nebak kemana lo akan pergi, kalo emang gue nemuin lo disini, itu artinya kalimat-kalimat gue emang menyakiti lo."

Renjun masih diam, mendengarkan persepsi gadis di sampingnya dalam hening.

"Nggak ada yang hafal setiap detail dari diri lo selain gue dan diri lo sendiri. Kapan lo akan nangis, kapan lo akan kesini, gue hafal diluar kepala, Jun. Sampai akhirnya kita berakhir disini, berdua, dengan keadaan lo yang nangis, bukan gue."

"Tapi asal lo tau, gue nggak nangis bukan karena gue nggak sakit hati, mungkin ... gue lebih sakit hati dari lo, cuma gue nggak nangis aja."

"Kenapa ....?"

"Tadi di rumah gue bilang, gue pengen berhenti jadi orang gila yang nangisin lo, karena ya belum tentu lo juga nangisin gue. Eh ternyata sekarang lo nangisin gue."

Obliteration : For You, Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang