6

816 67 1
                                    

Aku masih berdiri di depan kelas. Rasanya ingin pulang saja dan izin hari ini. Perihal kemarin, aku kelamaan mengantar Nando. Apalagi banyak fans cowok itu yang menahan kami. Katanya, kami punya hubungan mengingat cowok itu suka sekali sendiri kemana-mana. Namun, akhirnya mereka percaya kalau kami hanya sekadar teman sekelas.

Karena gara-gara itu juga aku lama sekali kembali untuk menemui Regal. Alhasil Regal pulang duluan dan membuat Izza serta Kak Dahlan menunggu tasku.

Apa Regal marah, ya?

Menepis hal itu, aku mulai melangkah masuk ke kelas. Seperti pagi biasanya, kelompok Iwan mulai berteriak nggak jelas membawakan lagu-lagu aneh mereka. Di sana sudah ada Regal sedang membaca bukunya. Tapi belum ada Bila maupun Indah. Tumben.

Tiba di samping meja, Regal masih terdiam membaca bukunya dengan kepala menunduk. Rasanya gemetar sekali. Aku mengulum bibirku, rasanya takut kalau Regal marah. Bukan apa-apa. Aku bukan tipikal orang yang cuek soal pandangan orang padaku. Rasanya hidupku tidak tenang kalau ada pandangan tidak enak perihal tentangku.

"Regal," panggilku pelan dengan sedikit gugup. Tapi cowok ini malah tidak menghiraukanku.

"Regal ... kamu marah, ya?" tanyaku mencoba memberanikan diri. Dan lagi-lagi Regal malah menganggapku seperti angin.

Apa cowok ini beneran marah?

"Regal ih maaf kalau aku salah kemarin. Gara-gara Nando aku lama nyusulin kamu. Aku nggak niat buat kamu nunggu lama-lama kok, beneran. Regal ih!"

Aku makin gelisah. Regal masih dengan diamnya. Memang benar kata orang, lebih baik langsung mendapat amarah daripada tidak dipedulikan begini.

"Regal ih maafin!" Aku refleks menyentuh lengannya dan membuat cowok itu menoleh. Nanti ... Regal kan memang harus dikagetkan dulu baru mau melihat lawan bicara. Kenapa bisa lupa? Jadi, dari tadi aku bicara sama patung dong?

"Regal kamu marah?" tanyaku merasa tidak enak sesaat melihat wajah cueknya.

Cowok itu terlihat mengerjap heran. "Marah kenapa?"

Aku menggigit bibir dalamku sebelum menjawab, "Gara-gara kamu nunggu lama kemarin?"

Regal mengangguk paham. Kalau Nando yang kuajak bicara pasti nggak bakalan nyambung. "Gapapa, Risya. Pak Danang udah jemput kemarin."

"Oh gitu," responsku sambil mengusap tengkuk. "Jadi kamu nggak marah, kan?"

Regal menggeleng. "Nggak kok!"

Aku menghela napas lega dan meminta Regal keluar sebentar agar aku bisa duduk. Sesaat aku ingin menanyakan soal yang Regal kerjakan, suara Indah dan Bila langsung mengusik kami. Kedua cewek ini kelihatan panik saat menghampiriku, membuat beberapa orang jadi penasaran.

"Kalian kenapa sih?" tanyaku heran.

Indah dan Bila seperti baru lari jarak jauh. Mereka mencoba menenangkan deru napas yang cepat itu.

"Kamu kemarin pulang sama siapa?" Indah langsung menodongku saat selesai menelan salivanya yang kelihatan susah sekali.

"Jawab yang jujur, Ca!" Bila ikut memelotot.

Aku refleks mengernyit heran. "Emang kenapa? Kok penting banget sih?"

Indah langsung masuk ke kursinya dan naik dengan lutut sebagai tumpuan. Kedua tangan Indah ada di atas mejaku dan memandangku seolah aku ini ketahuan telah mengedarkan narkoba.

"Penting bangetlah! Ini tuh aneh banget coba, Ca. Ya nggak, Bil?"

Bila yang sudah duduk di kursinya mengangguk pasti. "Pokoknya jawab jujur!"

Reply Me! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang