26

556 48 0
                                    

Aku tidak mengerti kenapa ada perasaan tidak suka melihat kedekatan Regal dan Kia. Aku tidak tahu kapan kedekatan itu bermulai. Mungkin karena seringnya Regal bersamaku dulu, semakin sering pula teman-temanku mengenalnya. Maka bisa saja, setidaknya, salah satu dari mereka akan berani memulai lebih jauh dari sekadar kenalan.

Apalagi Regal mempunyai aura sendiri yang berbe dari dari cowok lain di sekolah. Cowok ini pendiam, lagi-lagi aku menegaskan hal ini. Dia cowok tahu aturan, tidak juga tinggi hati. Benar-benar sulit melihat dimana minus cowok ini. Jadi, tidak aneh kalau banyak yang menatap kagum Regal.

Aku semestinya bersyukur pernah dekat dengan cowok ini, bahkan membuatnya mempunyai perasaan spesial padaku. Tapi kenapa sekarang aku seperti cewek yang nggak tahu diuntung?

Aku menghela napas, masih di depan koridor dan memerhatikan sejoli itu yang asyik mengobrol di depan pos satpam. Pasti sama-sama menunggu jemputan.

Mereka terlihat cocok juga, omong-omong. Apalagi Kia, anak dari guru sekolah elite di kotaku. Ayahnya juga bekerja di perusahaan swasta dengan jabatan yang bagus. Tidak perlu diragukan lagi jenjang ke depannya.

Kalau disandingkan denganku? Sepertinya aku seperti najis di antara mereka. Saking rendahnya aku. Minder memang salah, tapi namanya manusia, kadang susah melihat sisi positif dirinya.

Sekarang aku malah seperti berhalusinasi. Regal tengah berjalan ke arahku. Aku membuang pandangan sembari mendengus kesal. Kenapa jadi seperti ditarik ke masa lalu?

"Risya?"

Aku tidak menghiraukan suara berat itu. Aku malah melihat-lihat pot tanaman yang bergelantungan. Tapi kenapa aku diam di sini, ya? Bukannya Iwan juga tidak jadi menjemputku di sekolah?

Menyadari kebodohanku, aku hendak melangkah maju, menghalau bayangan Regal yang di dekatku. Namun sepertinya, bayangan tadi berubah jadi nyata. Atau aku saja yang langsung tak sadarkan diri dan sekarang sedang bermimpi, dimana Regal mencekal pergelanganku.

"Mau ke mana? Pulang?"

Aku berbalik, tidak mengempaskan pegangan itu.

"Kenapa kamu di sini?" tanyaku balik.

Regal maju selangkah. "Ke rumah yuk?" Ia menghela napas dan membuang pandangan saat aku hanya diam. Tangan yang menggenggamku ia lepaskan dan sontak ada rasa sakit yang terasa di dadaku.

"Mama minta kamu ke rumah. Mama mau ke luar kota sore ini."

Aku mengernyit, menatap heran cowok di depanku ini yang berdiri seolah tidak percaya diri.

"Tapi kalau kamu nggak mau, nggak apa-apa. Takutnya I--"

"Kalau kamu mau?" potongku cepat dan akhirnya Regal menatapku. Rasanya malah jadi aku yang gugup sekarang. Setelah berbagai situasi kami lewati, rasanya lucu sekali ketika kami merasakan kecanggungan seperti ini.

"Mau apa?"

"Kamu mau kalau aku ke rumah kamu?"

Regal bergeming. Ia tidak menjawab cepat, tapi dari wajahnya yang memerah, aku tahu ada perasaan lain di dalam hati Regal. Entah kenapa, memikirkan dugaan itu membuat perutku geli.

"Kalau kamu mau, ya aku nggak ngelarang."

Aku berdecak, bukan itu maksudku.

"Bukan gimana aku, kamu sendiri mau nggak kalau aku main ke rumah kamu?"

Regal mengulum bibirnya. Lagi-lagi reaksi yang kusukai.

Cowok itu pun mengangguk dan menjawab, "Aku mau liat kamu main lagi di rumah aku, Sya."

Reply Me! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang