Apa yang selalu aku harapkan, seringnya terjadi sebaliknya. Seperti aku mengharapkan masuk 10 besar, malah sampai di perbatasan. Seperti aku yang mengharapkan kado indah dari ibuku, malah dikasih hadiah pekerjaan rumah tangga. Seperti aku ingin punya adik yang patuh, malah punya Rena yang melawan.
Seperti sekarang juga ... maunya menjaga jarak dari Regal, malah disatukan dalam kelompok sejarah. Kami disuruh mencari salah satu tokoh sejarah dan harus dikumpulkan malam ini juga. Sejarah itu adanya besok, tapi gurunya malah kasih tugas hari ini. Katanya, biar otak kami tidak kosong ketika menerima pelajaran.
Memang, tujuannya bagus. Tapi nggak baik untuk jantungku saat ini dimana aku sedang di depan rumah Regal yang besarnya melebihi rumahku. Mungkin sebagai perbandingan, rumahku sudah seperti kandang ayam kalau sengaja diletakkan di halaman rumah Regal.
Tadinya aku mengajak Regal mengerjakan tugas di perpustakaan saja. Tapi tiba-tiba saja Mama Regal menelepon dan menanyakan keberadaannya. Seusai menyebut kegiatannya, entah kenapa Mama Regal meminta anaknya untuk pulang bersamaku. Katanya, ada hal yang ingin dibicarakan sekalian.
Aku ingin sekali menolak, beneran. Aku coba cari alasan agar aku tidak bisa ikut Regal untuk pulang. Tapi kalau ada kondisi yang mendadak seperti itu, otakku mendadak kosong. Ide menghilang. Lagian aku merasa tidak pantas menolak ajakan Mama Regal. Beliau orang kaya, sementara aku tidak ada apa-apanya.
"Mama kamu di dalem?" Aku menarik lengan Regal yang baru saja ingin ke luar mobil. Pak Danang masih menunggu kami dengan mesin mobil yang menyala. Aku melihat rumah dua lantai itu cemas sembari meremas jemari Regal takut.
"Iya, Mama katanya udah nungguin, Sya."
Aku sontak saja menoleh cepat. Detakan jantungku makin keras saja, rasanya sebentar lagi mau jatuh. Napas juga kuusahakan tetap teratur, walau sedikit ada sesak.
"Mama kamu mau ngomong apa sih, Gal? Kenapa nggak lewat telepon aja?"
Tangan kiriku ikut bertumpu untuk menggenggam lengan Regal. Benar-benar panik.
Regal pun terasa membalas genggaman tanganku dengan raut bertanya. "Kamu kenapa, Sya?"
Aku menelan salivaku yang mendadak susah sekali turun.
"Mama kamu nggak marah atau gimana gitu sama aku?"
Regal mengerjap, raut herannya masih melekat. "Mama suka nanya soal kamu, Sya. Mama bilang sedih karena belum bisa ketemu kamu."
Aku merapatkan bibir dan melepas genggamanku dari lengan Regal. Aku menunduk sebentar guna mengumpulkan semua keberanianku dan mengenyahkan segala prasangka buruk yang malah menyiksa pikiranku.
Sudah banyak orang yang bilang Mama Regal baik. Aku sudah coba tanamkan hal itu, tapi yang menjadi masalah adalah kerendah dirianku yang menghalangiku berpikir jernih.
"Aku ngerjain tugasnya di--"
Mata Regal yang tadinya kutatap, sekarang berpaling ke belakangku. Aku sontak saja menoleh dan melihat apa yang dilihat Regal melalui jendela mobil. Seketika, keringat dingin terasa menyiram seluruh tubuhnya. Rasanya mendadak lemas.
"Itu Mama aku," kata Regal mengundang atensiku kembali. "Yuk turun!"
Sebelum aku berhasil menjangkau tangan Regal, cowok itu sudah membuka pintu mobil segera. Aku hendak ingin meminta Pak Danang untuk mengantarku pulang saja. Tapi saat melihat Pak Danang menatapku heran lewat spion depan, sukses mengurungkan niatku itu. Memangnya aku siapa sehingga bisa bebas begitu menyuruh orang?
Dengan tarikan napas dalam, aku ke luar dari mobil. Kulihat, Regal mencium lengan ibunya. Wanita itu tampak sekali anggun dengan rambut yang disanggul, seperti baru saja pulang dari acara resmi. Tak lama, senyum hangat menyapaku. Aku berusaha menarik dua ujung bibirku ke atas, tapi rasanya susah sekali.
Aku mencoba melangkahkan kaki menghampiri ibu dan anak itu saat lambaian tangan itu mengarah padaku.
"Oh ini yang namanya Risya." Aku menegang saat Ibu Regal menarik dan mendekapku erat.
"Makasih ya, Sayang, udah mau jadi temennya Regal. Tante senang sekali," ucapnya di dekat telingaku sembari mengusap punggungku. Ada keharuan di dalam ucapannya, membuat keteganganku menurun beberapa persen.
"I-iya, Tante. Regal baik kok!"
Ibu Regal melepas pelukannya. Di sana, di mata tua itu, ada sebening cairan. Tapi ada lega luar biasa lewat senyum itu.
"Kenalin, nama Tante, Raya."
Aku mengangguk sekali. Tante Raya tampak sekali muda, tidak ada rambut putih seperti ibuku yang biasanya ngomel karena tidak ingin jadi tua. Hanya saja, tetap saja ada kerutan di bawah matanya pertanda banyak sekali waktu yang disia-siakan untuk tidak tidur. Suaranya lembut sekali, membuatku yang tadinya takut menjadi lebih tenang. Walau gugup tetap saja ada.
"Iya, Tan. Saya Risya."
Tante Raya terkekeh. Aku melirik pada Regal yang masih terdiam di samping Tante Raya.
"Jangan kaku-kaku, ah. Anggap aja Tante itu Tante kamu, Sya."
Tanteku? Bagaimana bisa aku menganggap orang yang sangat berpengaruh di Indonesia menjadi tanteku?
"E-eh, iya."
"Yaudah, ayo kita masuk. Tante udah masakin banyak makanan. Kalian ngerjain tugasnya udah makan aja, ya?"
Regal mengangguk, sementara aku makin gugup saja. Aku takut sekali kelihatan kampungan nanti.
**
Aku berjengit saat seseorang menepuk pundakku. Kulihat, Tante Raya tersenyum padaku dan memberi arahan agar aku mengikutinya. Regal tampak sekali pulas dengan kepala bertumpu pada meja selututku ini. Laptop yang berisi tugas kami masih menderang membuatku merasa bersalah padanya. Aku terlalu sibuk membaca bahan untuk tugas, sementara Regal sepertinya lelah untuk mengetik.
"Tapi Regal gimana, Tan? Tidurnya nggak nyaman gini," ujarku yang masih belum mau beranjak.
Tante Raya tersenyum. "Gapapa, udah biasa. Regal bakal bangun kok kalau dia emang nggak nyaman."
Aku pun mengangguk karena Tante Raya lebih tahu soal cowok itu daripada aku.
Tante Raya mengajakku ke lantai dua. Rumah ini memang tidak hanya mewah di dalam saja, tapi dalamnya pun selalu bisa membuatku kagum. Nuansa rumah ini putih bersih dengan perabotan mewah yang kutaksir harganya menginjak harga jutaan. Aku pun harus berhati-hati setiap kali melangkah. Tersenggol sedikit saja, pasti keluargaku akan tidur di jalanan.
Kami pun tiba di depan sebuah pintu. Di dalamnya, seperti sebuah ruang kerja biasa. Banyak buku-buku tebal yang sulit kupahami artinya berjajar di sepanjang rak yang memenuhi satu sisi dinding.
Ruang seperti ini kerap aku lihat di beberapa film atau sinetron. Rasanya masih seperti mimpi aku bisa mempunyai teman sekaya Regal dan memasuki rumah super mewah seperti ini.
"Kamu duduk dulu, Sya. Tante mau nunjukkin sesuatu sama kamu."
Aku pun duduk di sofa hitam yang tidak jauh dari meja kerja. Awalnya aku ragu untuk menyentuh salah satu barang mewah ini. Takutnya kotor. Tapi mau tidak mau, aku harus duduk walau sebenarnya aku nyaman juga merasakan keempukkan sofa ini, jauh sekali dari sofa di rumahku yang keras dan kulit sofanya sudah mulai mengelupas.
Dulu aku tidak memikirkan hal-hal kecil seperti itu. Mungkin aku terlalu mensyukuri apa yang kupunya dan aku alami.
"Jangan tegang, santai aja, Sya." Tante Raya terkikik, apalagi saat tadi aku sempat menegang kembali waktu melihat Tante Raya duduk di sampingku.
Sekarang aku lihat Tante Raya mambawa sebuah album foto yang cukup besar. Mungkin ia ingin menceritakan tentang keluarganya.
"Ini ... soal Regal, Sya."
**
Tbc tralala~
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply Me! [Completed]
Teen FictionSealim-alimnya cowok di kelasku, pasti ujung-ujungnya bakal bobrok juga. Sejaim-jaimnya cowok di sekolahku, pasti pernah melakukan hal gila yang bikin aku geleng kepala. Memang, tidak ada yang sempurna. Ada yang pintar, tapi aneh. Ada yang normal, t...