"Iwan! Siniin buku aku!" Suaraku melengking sampai-sampai tenggorokanku rasanya sedikit perih. Cowok yang agak jauh dariku itu melambai-lambaikan novel yang baru kupinjam dari Indah dengan seenaknya.
"Enak aja! Kejar aku dong, Ca!"
Aku mengepalkan kedua lenganku di samping tubuh. Saking kesalnya, aku ingin sekali memutilasi Iwan sampai beberapa bagian dan dagingnya kusumbangkan ke kebun binatang di kotaku yang rumornya sedang terbengkalai kurang asupan.
Dari tadi, aku mengejar cowok itu. Tapi seolah tidak peduli pada langkahku yang kecil karena berbanding lurus dengan tubuhku yang pendek, Iwan malah terus menghindar.
"Iwan ih! Itu bukunya Indah!" Aku mengentakkan kaki sambil mendekati Iwan lagi. Tidak menghindar, Iwan malah menyembunyikan bukunya ke belakang.
"Eh nggak segampang itu dong, Ca," Iwan menjauh saat aku hendak ke belakang tubuhnya.
"Mau apa lagi ih?" Aku memberengut, tapi cowok itu dengan seenaknya menyeringai. Firasatku benar-benar jadi tambah buruk sekarang.
"Sun dulu dong!" Iwan dengan santainya menunjuk pipi kanan. Tentu saja aku kaget. Enak saja mau menodai bibirku.
"Gila kamu ya!"
Iwan malah lari lagi dengan semringahnya. Aku memegang kepalaku yang mulai berdenyut karena kebanyakan teriak.
Dari awal keluar kelas, aku memang berlari sendiri untuk mengejar cowok nakal itu. Tidak ada yang berniat membantu. Bukan mereka tidak mau, tapi mereka tahu kalau mendebat cowok sejenis Iwan tidak akan pernah selesai. Justru kalau diladeni, mereka malah kesenangan.
Hanya saja, aku terpaksa mengejar biang masalah ini sebab cowok itu mengambil buku yang sengaja kupinjam dari Indah. Artinya, buku orang lain yang sedang dipermainkan. Dan aku tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab.
Kalau buatku nggak apa-apa. Lagian aku tidak suka novel. Aku lebih suka mendengar urutan ceritanya secara langsung dari seseorang, apalagi saat membicarakan orang. Itu punya kenikmatan sendiri buatku. Hei jangan hina aku sebagai tukang gosip! Kalian tidak akan hidup tanpa keburukan orang lain.
Kalau saja bukan Rena, adikku yang baru masuk SMP, aku tidak akan meminjam buku yang tebalnya bikin aku merinding itu. Apalagi harus kumasukkan ke dalam tas, yang pasti akan menambah berat beban hidupku.
Sebenarnya, bukan dengan Iwan saja aku sering merasa teraniaya. Hampir semua cowok di kelasku, tidak ada yang benar.
Sebenarnya ada. Namanya Bagas. Dia juara satu di kelas dan juara dua paralel. Tapi menurutku, jadi pintar ada efek sampingnya. Bagas adalah sosok aktor yang suka mendramatisir keadaan. Sepertinya, kebanyakan belajar bikin logika Bagas agak konslet.
"Awas."
Aku tersentak sesaat aku menstabilkan napasku kembali. Aku sontak menoleh ke belakang dan mendapati cowok asing yang baru kulihat. Mungkin dari kelas lain.
"Bukan awas, tapi permisi. Nggak tau sopan santun banget sih!" Aku mencibir, meski begitu aku tetap bergeser memberi jalan. Koridor yang ramai saat istirahat, memang jarang ada jalan yang luas. Aku tahu diri kalau aku yang salah di sini, tapi nggak harus dijuteki juga kayak cowok ini barusan.
"Terserah." Cowok itu melenggang pergi begitu saja membuat dahiku otomatis mengerut.
"Dih sok cool banget. Pasti lagi jengkel tuh karna kesiangan." Aku menjulit sendiri. Lihat saja tas yang masih digendongnya. Sudah pasti cowok itu baru datang. Terus karena saking kesalnya, ngomongnya kayak yang jutek begitu.
Iya, pasti seperti itu.
**
"Eh serius kamu?" Ekspresi muka Bila, teman semeja Indah sekaligus cewek yang duduk di depanku, membuatku penasaran. Aku yang baru selesai berurusan dengan Iwan langsung saja mendekati mereka yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu. Mudah-mudahan cowok itu akhirnya mengalah dan memberikan buku Indah sepulang nanti. Karena kutahu, pembuat masalah bakalan bosan kalau objeknya tidak melawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply Me! [Completed]
Teen FictionSealim-alimnya cowok di kelasku, pasti ujung-ujungnya bakal bobrok juga. Sejaim-jaimnya cowok di sekolahku, pasti pernah melakukan hal gila yang bikin aku geleng kepala. Memang, tidak ada yang sempurna. Ada yang pintar, tapi aneh. Ada yang normal, t...