Dulu ketika istirahat, aku dan Regal sudah stay dengan bekal masing-masing. Aku yang kadang membuka bekal cowok itu atau sekadar membuka simpul kreseknya.
Dulu ketika jam olahraga, aku akan otomatis melihat tali sepatu Regal yang suka sekali terlepas dan bagaimana cowok itu kebingungan untuk mengembalikannya.
Dulu ketika aku kesulitan memahami isi penjelasan guru, Regal akan dengan senang hati mengajariku secara perlahan hingga aku bisa melihat pelajaran dari sudut pandang Regal alias menjadi lebih mudah.
Dulu ketika aku latihan menari, tatapan terpukau Regal menjadi pengiringku dan pendukungku setiap kali latihan hingga tak kenal lelah.
Dulu ketika bel pulang, kami akan otomatis berjalan bersisian. Aku yang mengeluhkan pelajaran hari itu dan Regal yang mendengarkannya tanpa mengeluh sama sekali.
Aku dan Regal memiliki masa lalu yang sama. Kami sama-sama pernah kehilangan. Regal kehilangan sang ayah, sementara aku kehilangan kakak kandungku satu-satunya.
Nama kakakku Riko. Kulihat, orang tuaku mengurus kami penuh kasih sayang dan cukup adil. Mereka tidak membeda-bedakan antara aku, Rena maupun kak Riko. Kami benar-benar dilimpahi banyak sekali cinta.
Tapi lingkungan keluarga belum sepenuhnya menjamin perilaku anak. Semua itu tetap tergantung pada keputusan anak itu sendiri memilih lingkungan seperti apa yang mau dijalani.
Kak Riko sekolah di SMA yang ada di pusat kota. Cukup jauh dari rumah kami. Dengan cuma-cuma, Bapakku langsung memberikan motor atas prestasi Kak Riko yang bisa diterima di SMA ternama di kota.
Tapi kehidupan di pusat kota dengan pinggiran kota seperti tempat tinggalku amat berbeda. Kak Riko mulai berubah di semester kedua. Kak Riko jadi jarang pulang. Dia selalu beralasan menginap di rumah teman.
Kebiasaan kami berkumpul bersama di malam hari menjadi hal yang jarang lagi dilakukan. Kak Riko yang dulu kerap menjahiliku, menjadi sosok yang dingin setiap kali bertatapan. Saat itu, Rena belum lahir. Sehingga, mau tidak mau kami sebagai saudara saling bergantung.
Kami pun mendapat kehadiran Rena yang saat itu baru mengisi perut Mama, sementara Kak Riko sudah lulus SMA. Aku pikir, Kak Riko akan lebih memilih bekerja dan bisa kembali berkumpul menjadi keluarga. Tapi kakakku itu memilih melanjutkan sekolahnya ke jenjang sarjana.
Entah tidak tahu diri atau memaksakan, Kak Riko malah memilih perguruan tinggi swasta yang saat itu biayanya terbilang mahal sekali bagi kami. Bapak bahkan rela menghutang pada majikannya demi membiayai Kak Riko.
Dan bukannya sadar akan kelakuannya itu, Kak Riko malah semakin parah. Ia sering meminta uang dalam jumlah banyak, dengan alasan uang ujian dan uang buku. Dia juga jadi sering membentakku, padahal aku hanya sakadar menyapa atau memintanya membantuku membuat PR.
Sejak perubahan drastis itulah, aku jadi tidak betah di rumah. Aku kerap bertandang bahkan menginap ke rumah Iwan guna menghindari Kak Riko yang selalu membuat rumah ramai karena teriakannya.
Mama hanya bisa sabar. Bapakku pun bukan tipikal orang yang mudah terpancing emosinya. Hal itulah yang kupikir membuat Kak Riko menjadi seenaknya dalam bertindak.
Puncak dari kekacauan keluargaku adalah datangnya surat dari kampus Kak Riko mengenai pengeluaran kakakku itu karena tidak membayar uang kuliah dan banyaknya jam bolos. Hal itu sontak mengundang amarah Bapakku yang tidak pernah aku lihat. Maka, malam dimana Bapak mengamuk, Kak Riko pergi dari rumah selama beberapa hari.
Keadaan keluargku menjadi lebih stabil. Rena lahir normal tanpa ada hambatan apapun. Saat itu, aku pikir dengan tidak adanya Kak Riko, keluargaku akan lebih tentram. Aku sempat berpikir agar Kak Riko tidak pernah kembali lagi dan membuat kacau.
Tapi aku tidak pernah sangka kalau ucapan yang tidak disengaja itu menjadi kenyataan. Polisi datang dengan surat perintah ke rumah kami. Orang tuaku tampak pucat saat mendengar laporan polisi yang saat itu sulit aku mengerti.
Overdosis obat.
Aku tidak mengerti maksudnya, tapi aku yakin kalau hal itu merupakan kabar buruk. Keesokannya, rumahku ramai oleh beberapa orang berdatangan seraya membawa sebuah peti mati. Dan malam itu aku menyesali doaku karena meminta Kak Riko agar tidak kembali. Nyatanya, jika benar-benar ditinggalkan sakitnya terlalu perih. Aku menangis histeris khas anak kecil yang hanya tahu bahwa saat itu aku benar-benar ditinggalkan oleh sosok kakak yang dulunya jadi pelindungku.
Karena sama-sama pernah kehilangan, aku pikir bersama Regal hanya mengingatkanku pada luka dulu. Tapi nyatanya, aku malah semakin kuat karena aku merasa tidak sendirian merasakan yang sama. Apalagi Regal melihatnya secara langsung, tidak seperti aku yang baru melihat ketika ia sudah tidak mengembuskan napas.
Lalu, sekarang seseorang yang kuanggap satu rasa denganku harus kujauhi. Tidak, bahkan cowok itu sudah tidak lagi menatapku apalagi bertegur sapa denganku. Regal menjadi banyak teman. Para cowok mulai mengajak Regal dalam lingkarannya, kecuali Iwan yang hanya sesekali bergaul dengan mereka.
Sosok Iwan yang dulu menjadi pion kekacauan di kelas menjadi sosok yang selalu duduk di sampingku. Sementara Regal, dia sudah mulai bisa tertawa dan mengeluarkan suara untuk menimpali. Aku sesekali melirik ke arahnya dan entah kenapa rasanya sesak sekali ketika senyum itu sudah tidak ada dalam jangkauan radiusku. Tampak begitu jauh.
"Jangan ngelamun." Aku tersentak saat Iwan menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Liatin apa sih?"
Iwan kemudian menoleh pada sekumpulan cowok yang saat ini asyik bercanda.
"Oh liatin Regal?"
Aku menggeleng. "Bukan kok!" kataku sedikit berbohong, berharap Iwan kali ini percaya. "Aneh aja kalo kamu nggak di sana, malah di sini."
"Oh jadi nggak boleh nih?"
Aku tersentak. "Bukan gitu ih!"
Iwan malah terkekeh dan mengacak rambutku. "Jangan panik gitu dong! Iya, bercanda kok!"
Aku mendengus kesal. Cowok ini semenjak mengumumkan hubungan tentang kami, malah jadi seenaknya.
"Iya, mungkin temen bisa dicari. Lagian mereka nggak akan ngilang kok! Tapi kalau kamu yang ngilang, susah dicari. Orang kamu cuma satu."
**
Tbc tralala~
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply Me! [Completed]
Novela JuvenilSealim-alimnya cowok di kelasku, pasti ujung-ujungnya bakal bobrok juga. Sejaim-jaimnya cowok di sekolahku, pasti pernah melakukan hal gila yang bikin aku geleng kepala. Memang, tidak ada yang sempurna. Ada yang pintar, tapi aneh. Ada yang normal, t...