Namanya Risya Ameera. Aku baru tahu namanya ketika dia memperkenalkan diri. Tujuanku sekolah formal bukan untuk mencari teman banyak, tapi aku ingin mulai belajar untuk menghadapi orang asing.
Setiap hari aku melihat Mama begitu kelelahan. Setiap malam aku melihat Mama saat tertidur. Tampak raut lelah yang begitu kentara.
Semenjak Ayah tiada, Mama menjadi orang tua tunggal sekaligus pemimpin perusahaan. Walau sudah punya sekretaris, Mama tidak bisa melepas pekerjaannya begitu saja. Mama kerap ke luar kota atau pulang larut malam. Saat libur pun, kadang Mama harus bekerja.
Guru privatku, Pak Rudi, mengerti apa yang kurasakan. Ia menanyakan mimpiku dan aku menjawab, "Aku mau bantu Mama kerja."
"Bapak punya saran buat kamu. Sebelumnya, Bapak bukannya udah nggak mau ngajarin kamu. Tapi kalau kamu belajar sendiri begini, kamu susah berkembang dan interaksi sama orang, Nak. Jadi Bapak sarankan, kamu belajar di sekolah formal. Bapak liat, kamu sudah tidak akan kesulitan."
Esoknya, aku meminta Mama untuk mendaftarkanku ke sekolah formal. Awalnya aku tidak mendapat izin, tapi aku mengatakan kalau aku ingin benar-benar sembuh. Mama mengerti dan akhirnya aku menjalani kehidupanku normal seperti remaja lainnya.
Suara itu yang pertama kali menggangguku. Cewek yang pernah kutabrak dan berakhir sebagai teman semejaku. Tadinya aku tidak menganggap keberadaan Risya. Tapi suara tingginya itu kerap mengganggu konsentrasiku.
Risya suka sekali dikerjai oleh beberapa cowok. Sekalinya bertindak aneh, satu kelas langsung riuh. Aku tidak tahu kenapa banyak yang suka mengganggu cewek itu.
Hingga akhirnya aku tahu penyebabnya.
Risya itu mungil, kecil, dan pendek. Wajahnya pun serba mini dengan pipi yang agak mengembung. Ketika dia marah, pipinya berwarna kemerahan dan pipinya yang sudah bulat makin mengembang.
Apalagi dengan tubuh kecil seperti itu, siapa yang nggak akan gemas? Kadang aku harus mengepalkan tangan untuk menahan diri agar tidak menarik dua pipi itu.
Keberadaan Risya semakin menarikku. Cewek itu begitu santainya dengan keanehanku. Dengan sabarnya, Risya kerap melindungiku dengan suara beroktaf tingginya dan nasihat yang panjang yang selalu betah aku dengarkan.
Kedekatan kami pun semakin kentara. Entah apa yang telah dibicarakan dengan Mama, Risya jadi makin sering memperhatikanku. Risya suka mengirim pesan dan menanyakan keadaanku. Saking seringnya, kadang kalau tidak ada dia, aku merasa kesepian.
Senyum Risya jadi tidak bermakna sama lagi. Sekarang kelihatan lebih manis sampai rasanya udaraku direnggut paksa dan degup jantungku kadang makin cepat merasakan kedekatan kami. Tapi ... semua reaksi itu justru membuatku nyaman dengannya. Ada perasaan membuncah saat ia tertawa dan merengut padaku.
Aku menceritakannya pada Mama. Rasanya sesak bila hanya dipendam lama. Mama hanya meresponsku dengan tersenyum dan menyarankanku untuk berlaku baik pada Risya.
Saat pelajaran olahraga, dengan kaos sesiku dan celana selutut, membuat cewek itu makin kelihatan mungil. Mataku kadang susah lepas dari eksistensinya. Duniaku seolah berputar hanya pada Risya.
Hingga saat itu, saat berganti pakaian, aku dan Andri bicara.
"Kamu suka ya sama Ica?"
Aku yang hendak mengenakan seragamku berhenti sebentar. Aku menoleh pada Andri dan melihat senyum mencibir itu.
"Suka?"
Andri mengangguk dan melepas kaos olahraganya lalu meraih seragam yang tergantung di tembok.
"Iya, dari olahraga tadi aku liat kamu liatin Ica terus. Untung aja matamu nggak perih karna nggak ngedip," kekehnya kemudian.
"Emang suka itu apa, Ndri?"
![](https://img.wattpad.com/cover/192167755-288-k22052.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply Me! [Completed]
Teen FictionSealim-alimnya cowok di kelasku, pasti ujung-ujungnya bakal bobrok juga. Sejaim-jaimnya cowok di sekolahku, pasti pernah melakukan hal gila yang bikin aku geleng kepala. Memang, tidak ada yang sempurna. Ada yang pintar, tapi aneh. Ada yang normal, t...