30

1.7K 75 4
                                    

Entah sejak kapan, melihat Risya belajar menjadi salah satu kegiatan favoritku. Dahinya selalu mengerut dengan tatapan memincing seolah soal-soal di depannya itu pelaku kejahatan yang harus dihakimi. Bibirnya juga ia kerucutkan hingga menimbulkan kesan yang amat lucu bagiku.

Mungkin beberapa orang tahu soal salah satu ekspresi Risya ini, tapi tidak ada yang berani menatapnya lama seperti yang aku lakukan sekarang. Walau kecil, Risya itu galak, katanya. Aku percaya itu. Tapi justru, Risya marah kadang karena ada orang yang menggangguku.

Aku memang tidak pernah membela diri. Toh, mereka tidak sampai menghina atau merendahkanku. Mereka itu hanya sekadar memberi lawakan dan kebetulan aku sebagai topik utamanya. Tapi Risya kadang suka melebih-lebihkan. Dan hal itu yang aku biarkan karena melihat Risya marah memang benar-benar bikin gemas.

Teman-teman sekelasku tidak terlalu merubah sikapnya semenjak tahu status Mama. Mereka cenderung biasa saja. Entah kalau di belakangku. Namun, setidaknya itu tidak sampai mengganggu belajarku. Mama memang terbaik memilih sekolah untukku.

Bukan hanya teman-temannya saja, tapi karena Mama, aku bisa bersama Risya.

"Kok ngelamun? Ini gimana Regal? Aku nggak ngerti sama sekali."

"Masih tentang akuntansi?" Aku menarik buku tulis Risya dan melihat banyak coretan abstrak melingkari beberapa angka. "Belum ngerti juga?"

Risya hanya menggumam kesal. Kulihat, cewek ini sudah menyenderkan kepalanya ke sofa. Kami memang sedang belajar di rumahku dengan duduk selonjoran di depan kaki sofa.

Risya kelihatan lelah. Ulangan kenaikan kelas ke tingkat akhir memang agak menguras tenaga. Apalagi pelajaran kelas 11 memang cenderung banyak agar di kelas 12 nanti tinggal sibuk mempelajari soal ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.

"Mau istirahat dulu?" tanyaku dan menggeser kembali buku Risya. Ia masih memejamkan matanya. "Kamu mau tiduran? Ke kamar tamu aja, jangan di sini."

Sedetik kemudian, Risya menegakkan kembali kepalanya dan mengembuskan napas kesal. "Ihh pelajarannya banyak banget, Gal! Aku kayak yang nggak dapet apa-apa setahun ini. Herman aku!"

Risya bicara panjang lebar dengan tatapan menghunus pada buku yang berserakan di atas meja bundar setinggi dadaku. Cewek itu kelihatan sekali sedang kesal.

"Berarti kamu cuma hafal aja pelajarannya, nggak bener-bener ngerti."

Risya mendelik. "Kamu juga curang, belajar duluan sebelumnya. Jadi pinternya juga duluan," balasnya beralibi. "Kalau aku sekolah dulu di rumah kayak kamu, aku juga bisa pinter."

Ia memeletkan lidah sesaat, meledekku. Aku hanya menarik ke atas bibirku sedikit. Entah sejak kapan, Risya jadi sering kekanakkan seperti ini padaku. Salah satu sisi yang jarang sekali ia munculkan.

"Iya, iya," kataku mengalah. "Sekarang kamu mau apa?"

Aku pun ... entah kapan jadi sering banyak bicara. Khususnya pada Risya. Dulu, aku hanya mengeluarkan kata bila ditanya atau ada sesuatu yang menggangguku. Tapi sekarang, seolah apa yang dipikirkan dan kemauan Risya menjadi hal yang penting kutahu.

Risya kemudian menoleh padaku. "Tukeran otak yuk!"

Aku terkekeh geli. Ia mengatakan hal itu dengan raut polosnya. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku sama seriusnya.

"Istirahat dulu, Sya," kataku. "Kamu mau nonton? Aku nyalain TV-nya."

"Keliling komplek aja," ajaknya penuh semangat. "Kepala aku rasanya mau meledak kalau diem di sini terus," lanjutnya sembari menekan dua sisi kepala dengan tangannya.

Reply Me! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang