"Kemarin sore kamu ke mana?"
Aku yang mau masuk kelas, terpaksa berhenti. Aku kira Rama memang sedang iseng berdiri di pinggir pintu, bukannya menghalangiku masuk dan membiarkan yang lain lewat begitu saja.
Memangnya aku punya masalah apa sama dia? Perasaan sudah lama kami tidak berdebat, lebih tepatnya aku menjauhi bibit permasalahan dengan Rama.
"Emang kenapa? Urusannya sama kamu apa?" kataku sambil mengangkat dagu. Kalau bicara dengan Rama harus berani, nanti dia malah makin nggak tahu diri.
Rama berdecak. Rautnya yang judes, sekarang malah makin menyeramkan. Anak ini ... waktu ibunya ngidam makan apa sih?
"Emang nggak ada urusannya sama aku. Tapi kalau ada masalah sama temenku, berarti masalah aku juga." Rama sedikit meninggikan nada bicaranya. Beberapa orang sontak saja menoleh lalu beralih ke kesibukan mereka masing-masing.
Rama marah itu sudah menjadi hal biasa. Kalau giliranku yang teriak, satu kelas pasti heboh. Bukan aku yang jarang marah. Tapi mereka seperti menyukai kalau aku kelihatan kesusahan.
"Aku nggak bikin masalah sama temen kamu kok! Jangan nggak jelas deh! Cepet tua tau marah-marah terus," ujarku berusaha mencairkan suasana, sekaligus menenangkan diri karena lama-lama dengan Rama bikin aku takut juga.
"Iwan nunggu kamu kemarin sampe malem," sahut Rama. Suaranya memelan. Aku saja hampir tidak kedengaran.
Dahiku mengerut. Iwan memang meneleponku saat aku di rumah Regal, hanya beberapa kali saja. Tidak ada pesan. Lagi pula, sebelum aku ke rumah Regal, aku mengirim pesan singkat padanya. Aku pikir Iwan mengerti dan membatalkan pertemuan kemarin hingga aku pun tidak terlalu memikirkan itu. Tapi sekarang Rama malah ikut campur, berarti ada sesuatu yang tidak beres.
"Aku udah bilang nggak jadi. Aku ada urusan kemarin."
"Emang urusan kamu apa sampai ninggalin perayaan kalian yang keempat tahun?"
Seketika tubuhku kaku. Perayaan apa?
"H-hah?"
Rama lagi-lagi berdecak. Matanya mendelik. Tampaknya tidak suka sekali padaku. "Aku sebenernya males ya ngurus hubungan kalian berdua, apalagi ceweknya kamu, nggak tau diri. Tapi ini demi sahabatku."
"Aku nggak tau diri apa?" timpalku sedikit kesal.
"Kamu lupa kemarin kalian itu hari jadi keempat tahun? Aku sama Dimas ikut bantuin hiasin tempat kalian makan malam. Tapi tiba-tiba kamu batalin janji kalian, bilangnya ada urusan."
Aku diam, aku baru ingat kemarin hari apa. Aku benar-benar lupa tanggal itu. Kalau sedang banyak masalah, kadang aku lupa hal-hal seperti itu. Sudah menjadi kebiasaan. Tapi kalau diingatkan aku pasti ingat. Hanya saja kemarin, tidak ada alarm apapun. Aku pun tidak pernah sengaja mengatur tanggal se-spesial pun hari itu.
"Kita bilang sama Iwan, kalau kejutannya diundur aja sampe kamu bisa. Cuma Iwan bilang, kalau diundur harinya malah kurang spesial. Dia terus teleponin kamu, tapi kamu nggak angkat. Terus kamu tau dia ngapain?"
Aku tetap bergeming. Takut untuk menebak, tapi aku tahu pasti jawaban Rama selanjutnya.
"Iwan nunggu kamu sampe jam sepuluh. Dia masih berharap kamu datang, seenggaknya inget. Tapi kamu tetep nggak ada. Kalau aku jadi Iwan, aku bakalan benci sama kamu, Ca."
Benar. Iwan sebaik itu. Cowok itu selalu berpikiran positif walau aku selalu memberikan hal sebaliknya. Iwan tidak pernah berprasangka buruk atau menuduhku, kecuali apa yang kulakukan sudah dilewat batas toleransinya.
Semua yang dijelaskan Rama barusan, berhasil menimbulkan rasa bersalah yang amat besar. Aku bahkan bingung untuk memberikan pembelaan karena aku sendiri yang salah di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply Me! [Completed]
Teen FictionSealim-alimnya cowok di kelasku, pasti ujung-ujungnya bakal bobrok juga. Sejaim-jaimnya cowok di sekolahku, pasti pernah melakukan hal gila yang bikin aku geleng kepala. Memang, tidak ada yang sempurna. Ada yang pintar, tapi aneh. Ada yang normal, t...