18

581 53 0
                                    

"Regal itu ternyata emang pendiem gitu lho, Wan. Aku kira dulu dia cuma pencitraan ala-ala kayak di kelas kita. Eh ternyata emang kayak gitu sifat dia." Aku kembali menyedot minumanku, rasa greentea, setelah merasa tenggorakanku kering karena terlalu banyak bicara.

Dari tadi, aku menceritakan semua kegiatanku dengan Regal pada Iwan. Semuanya, tidak ada yang kututupi. Termasuk, masa lalu cowok itu. Awalnya, aku pikir itu rahasia keluarga saja. Tapi dengan Iwan, tidak pernah ada kata rahasia bila kami sudah bersama.

"Kamu tau banget ya soal Regal?" tanya Iwan dan langsung diangguki antusias olehku.

"Nggak terlalu tau banget sih! Cuma beberapa. Kan beberapa hari ini aku sering ke rumah dia terus kalau libur juga aku ajak jalan-jalan. Kan kamu tahu sendiri, mamanya Regal nitipin cowok itu sama aku."

Aku pun mengernyit saat nasi goreng milik Iwan masih tersisa banyak.

"Kamu nggak laper? Tadi ngajakkin aku ke sini katanya laper."

Iwan menghela napas. Senyumnya sedikit pudar dan tergantikan oleh ulasan hambar.

"Aku ... mulai nggak nyaman sama hubungan kamu dan Regal."

Aku melepas sedotan dari mulutku, menurunkan kedua lengan ke bawah meja. Aku menatap Iwan tak enak, juga heran. "Kenapa? Aku sama Regal nggak ada apa-apa kok! Jangan dengerin gosip di kelas."

"Aku nggak percaya sama mereka." Senyum Iwan kini benar-benar hilang, tergantikan oleh raut tegas yang enggan dibantah. "Waktu kamu hampir kebanyakan sama dia. Aku telepon, aku chat, alesannya lagi sama Regal atau kamu baru pulang dari rumah dia."

Aku tertegun dan memutar kembali hari-hari kemarin yang aku lalui bersama Regal. Aku mulai menyadari bahwa selama itu, aku jarang mengacuhkan pesan-pesan Iwan. Janji bertemu pun lebih sering aku tolak. Kali ini bisa pun karena Regal memiliki jadwal janji dengan psikiaternya. Kalau saja Regal tidak pergi, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Iwan saat ini.

"Sebenernya, waktu kamu sama dia, mikirin perasaan aku nggak, Ra?"

Aku tersentak, kemudian mengerjap saat menyadari akan semua kelalaianku menjaga hubungan kami. Dulu, jika ada yang mulai memberi tanda mendekatiku, aku sontak menjauh perlahan. Alasannya karena ingin menjaga perasaan Iwan, walau cowok itu tidak membatasi semua kemauanku selama itu masih di bawah toleransinya.

Hanya saja, kali ini aku benar-benar lupa akan ikatanku dengan Iwan jika sudah bersama Regal. Rasanya hariku justru lebih kunikmati. Apa aku yang terlalu terbiasa tanpa ikatan yang terlalu kuat dengan Iwan? Atau situasiku dan Regal yang membuatku lupa diri?

"Ra?"

Aku mengerjap sembari menatap Iwan. Lidahku kelu kalau kujawab jujur, tapi rasanya berdosa sekali kalau aku berbohong.

"Bukan gitu," kataku pelan.

"Aku nggak butuh jawaban lain, Ra," sahut Iwan lugas. "Aku cuma butuh jawaban bener atau salah."

Aku terdiam, bingung untuk jawab apa. Aku sama sekali tidak menduga akan menjadi seperti ini kencan kami. Bahkan, berpikir kalau Iwan akan marah tidak pernah singgah di kepalaku. Iwan terlalu baik dan pengertian, bagaimana aku akan berpikiran kalau cowok ini akan mengerut tidak suka seperti sekarang?

Kudengar, Iwan menghela napas panjang. Aku yang tadinya menunduk bingung, otomatis duduk tegak perlahan.

"Itu yang aku pikirin selama ini soal kamu sama Regal, Ra. Aku berusaha berpikir positif soal posisi kamu, tapi lama-lama aku mulai nggak suka. Aku mulai mikir yang nggak-nggak soal kalian."

"Tapi--"

"Iya, aku percaya sama kamu," timpal Iwan memotong penjelasanku. "Tapi perasaan siapa yang tahu bakalan berubah. Aku cuma ...." Iwan lagi-lagi mengembuskan napas lelah, tampak sekali takut pada ucapannya sendiri.

"... aku takut kamu berubah, Ra."

Aku seketika tertegun. Wajah lesu Iwan merupakan kelemahanku. Rasa bersalah menerjang dadaku, menjadi sakit yang amat terasa hingga rasanya sesak. Mengingat hari-hariku kemarin, rasa bersalah itu semakin besar. Tapi aku tidak merasa kalau kebersamaanku dengan Regal adalah hal salah.

Hanya saja, itu menurut sudut pandangku. Harusnya aku juga melihat dari pendapat Iwan, harusnya aku memikirkan matang-matang soal penerimaanku ketika bersama Regal.

"Maaf," kataku mulai merespons lantas menarik napas dalam. "Aku nggak mikirin perasaan kamu. Aku egois."

Aku mengerjap lagi saat merasakaan Iwan mengusap puncak kepalaku sesaat. Senyumnya yang sempat pudar, kini muncul kembali seperti sedia kala. Sudah kubilang, Iwan itu terlalu baik. Cowok ini tidak pernah membesar-besarkan masalah. Iwan tidak menyudutkanku, dia juga menjelaskan perlahan letak kesalahanku sehingga aku yang malah bersalah padanya.

"Gapapa. Mungkin ini masalah biasa di hubungan kita, Ra. Aku ngerti kok!"

"Makasih," balasku menarik dua ujung bibirku.

**

"Ck! Pesen batagor aja lama."

Aku mendelik mendengar sindiran Indah. Kedua teman di depanku ini seolah tidak sabaran menungguku yang tadi pesan makanan dulu. Tadi pagi memang sial sekali. Mamaku kesiangan, yang berarti aku pun harus bangun terlambat. Terpaksa tadi pagi makan lauk dingin bekas semalam, jadinya aku tidak bekal nasi seperti biasa.

Lagian, beberapa hari belakangan ini aku tidak istirahat bersama Regal. Entah suatu kebetulan atau kesengajaan, aku yang tadinya ingin menjaga jarak dari cowok itu didukung oleh kehadiran Andri yang menarik Regal.

Dua orang itu sekarang seperti sedang membentuk aliansi yang entah apa tujuannya. Regal itu pendiam, tapi Andri pecicilan apalagi sama cewek. Dua sisi yang berbeda, tidak mungkin punya tujuan sama. Kecuali, Andri punya rencana di balik wajah buluknya itu.

"Ca, kamu nggak punya pacar, kan?"

Bila menepuk pundak Indah seolah memperingati kalau cewek itu sudah salah bicara. Aku saja hampir mengeluarkan kembali batagor yang sudah tertelan di tenggorokan.

"Apa sih maksud kalian? Kemarin gosipin aku sama Regal, sekarang nanya aku punya pacar apa belum."

Bila kini duduk menumpuk tangan di atas meja sembari menatapku. "Pacar idaman kamu gimana deh? Kayak Regal bukan orangnya? Soalnya kamu nolak terus tiap kali dijodoh-jodohin."

Dahiku tidak bisa untuk tidak mengernyit. Pertanyaan mereka selalu saja membuatku bingung.

"Jelasin dong yang bener! Aku nggak ngerti kalian ngomongin apa."

"Kita itu kasihan tau kamu jomlo terus," sahut Indah. "Jadi kita tadinya mau nyariin cowok yang pas gitu buat kamu."

Aku mendelik. "Ngaca dong! Emang kalian punya?"

"Seenggaknya kita pernah punya gebetan, normal," timpal Indah tidak terima. "Tapi kamu apaan? Puber aja belum kayaknya."

"Dih jangan sok tau!"

Bila sontak saja memelotot. "Jadi kamu udah punya pacar? Wah, nggak bisa dibiarin."

Aku sontak saja gelagapan. Gawat kalau sampai ketahuan. "Bu-bukan. Maksudku, aku juga pernah suka sama cowok kok! Kalian jangan sok tau!"

Indah terlihat sekali lega. "Bagus deh! Berarti kamu emang minat sama cowok."

Aku memelotot, tapi tidak ada kata yang kukeluarkan untuk menimpali ucapan Indah yang keterlaluan itu. Takutnya, malah kata kasar yang keluar.

"Emang kenapa sih?" tanyaku kemudian dan kembali melahap batagorku lagi. "Tumben kalian ngomongin ini."

Indah menyeringai lebar, sepertinya ada kabar buruk buatku.

"Mau kita jodohin nggak?"

**

Tbc tralala~

Reply Me! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang