24

529 50 3
                                    

"Ica! Ica! Tunggu dong!"

Aku otomatis berbalik dan melihat Kia dengan rambut digerainya itu berlari ke arahku.

"Kenapa, Ki?" tanyaku saat Kia sudah tiba di depanku. Napas cewek ini masih tersendat, kemudian ia mengambil napas dalam lalu mengembuskan napasnya.

"Titip Regal dong!"

Kia memberikan buku tulis bersampul cokelat itu padaku. Di sana ada nama Regal dan identitas lainnya.

"Bilangin makasih gitu, ya. Tulisannya rapi banget, aku jadi gampang ngerti. Nanti bilangin, aku minjem buku sejarahnya juga pulang nanti."

Aku mengernyit, kapan Kia bertemu Regal?

"Emang kamu minjem ini kapan, Ki? Perasaan aku nggak liat kamu."

"Aku ketemu di pos satpam, kita sama-sama nunggu jemputan terus aku liat dia baca buku catatan itu. Yaudah, aku penasaran terus pinjem deh!"

Aku mendelik, kok rasanya aku kesal membayangkan alur yang Kia paparkan, ya?

"Terus kenapa kamu nggak balikin sendiri aja? Kamu kan yang minjem," sahutku yang mendadak jadi sewot.

"Aku lupa minta nomernya kemarin, jadi belum janjian. Trus sekarang aku ada piket dulu, ntar nggak keburu lagi. Yaudah deh ya, aku ke kelas dulu. Makasih, Ca."

Kia melambaikan tangannya dan melewatiku sambil berlari lagi. Raut cewek itu terlihat cerah saat menceritakan soal Regal. Entah kenapa rasanya ingin sekali melempar buku ini ke wajah Kia. Tapi aku nggak punya alasan jelas kenapa rasa kesal ini muncul.

Aku pun melanjutkan langkahku menuju toilet. Rasanya aku ingin berlama-lama di dalam sana, itu pun kalau bau menyengat sudah tidak lagi tercium. Ya, meskipun itu mustahil.

**

"Nih buku kamu." Aku melempar agak kasar buku Regal di atas mejanya. Regal hanya mengambilnya tanpa mengatakan barang sekata pun, membuatku tanpa sadar mendengus.

"Wee biasa aja dong! Jangan ngegas, mentang-mentang pacaran ama Pak Bos jadi songong banget kamu."

Aku mendelik, dikira Rama akan sedikit berubah ketika tempat gaulnya berubah. Tapi mau atau tidak ada Iwan pun, Rama tetap galak. Aku jadi cemas sekarang. Kalau terlalu lama berteman dengan Rama, bisa saja Regal jadi satu pemikiran sama cowok itu.

Tidak! Aku nggak rela.

"Ram, kamu pindah deh duduknya. Jangan di sini."

Rama mengerut tak suka. "Emang kamu siapa? Jangan karna kamu pacarnya Iwan bisa ngatur-ngatur aku, ya."

"Siapa yang mau ngatur kamu?" sentakku sembari berkacak pinggang. "Aku cuma minta kamu pindah. Jangan di sini."

"Emang kenapa aku harus pindah? Dari dulu juga aku duduknya di sini, nggak pindah. Aku juga nggak minta kamu pindah. Kenapa sih? Ribet banget urusan kursi juga."

Aku meniup poniku. Berdebat dengan manusia seperti Rama harus punya tenaga banyak. Aku saja tidak pernah menang untuk melawan alasan cowok ini. Tapi aku akan menyesal kalau nanti Regal jadi ikutan nakal seperti Rama.

Mungkin, Iwan itu bandelnya adalah dari tingkah jahilnya. Tapi Rama, dia punya tempramen keras. Suaranya juga tinggi. Itu yang suka bikin takut.

"Emang semua hal itu harus ada alesannya apa?" timpalku tak mau kalah. "Udah kek pindah aja susah. Tukeran sama Nando tuh. Kamu sama El, Nando di sini. Ntar Regal keracunan lagi sama tingkah kamu."

Rama tiba-tiba saja tersenyum lebar menatapku. "Oh jadi ini karna Regal," katanya sembari melirik ke arah cowok yang sedari tadi hanya menonton perdebatan kami. Regal yang dulu suka sekali belajar, sekarang aku malah tidak melihat bukunya sama sekali. Nah, kan, belum apa-apa virus Rama sudah mengontaminasi.

"Kamu itu sukanya sama sih? Regal atau Iwan? Udah sama Iwan, Regal yang diperhatiin. Dasar cewek plin-plan!"

Aku sedikit lega karena Iwan sedang tidak ada di kelas. Cowok itu kena hukuman karena pakai celana pensil. Bukan salahku yang tidak mengingatkan, tapi memang Iwan yang keras kepala untuk dinasehati.

"Ya mikir dong! Aku pacarnya siapa, pasti sukanya sama siapa. Nggak ada otak kamu."

Rama mendelik mendengar sanggahanku barusan. "Zaman sekarang tuh susah bedain mana yang beneran suka mana yang nggak. Kadang yang disuka itu siapa, tapi pacaran sama siapa. Jangan munafik deh, Ca. Jangan sok polos juga jadi cewek. Mikir dong kamu harusnya."

Aku bergeming mendengar cerocosan Rama. Pernyataan demi pernyataan yang Rama katakan memang benar adanya. Aku tidak menapik selama aku kencan dengan Iwan, kadang aku memikirkan hubunganku dengan Regal yang malah makin merenggang. Aku tidak langsung membenarkan perkataan Rama. Tapi nyatanya, apa yang kujalani sekarang berbeda dengan apa yang hati aku inginkan.

**

Saat ini aku sedang berjalan bersisian dengan Regal. Dia membawa proyektor dan aku kertas ulangan teman-temanku. Hari ini aku dan Regal yang kebagian presentasi, lantas kami juga yang bertugas mengembalikan semuanya. Iwan tidak ada, lagi-lagi hukuman yang membuatnya harus mendekam di kamar mandi sesaat kelas selesai.

Perjalanan kami menuju ruang tata usaha hanya ditemani keramaian jam istirahat. Aku tidak ada ide sama sekali untuk membuka topik, Regal pun sepertinya enggan memulai. Jadi, akhirnya kami sama- sama diam.

"Tunggu, meja ibunya di mana? Aku lupa, anterin dong!" pintaku saat Regal tadinya hendak kembali ke kelas saat tugasnya selesai. Dan cowok itu berbalik ke arahku lalu melewatiku begitu saja tanpa mengatakan apapun. Rasanya kesal sekali tidak diacuhkan begini.

"Kamu lagi sariawan, ya? Kok kayaknya susah ngomong."

Regal hanya menatap lurus ke depan, aku mendengus melihat respons laki-laki ini.

"Gal! Ngomong dong!"

"Kamu suruh aku anter kan bukan ngobrol?"

Aku mendelik, sejak kapan Regal jehat ini? Pasti Rama sudah meracuni hal yang tidak-tidak pada Regal.

"Nggak sebangku, bukan berarti musuhan kayak gini, Gal. Kita masih temenan, kan?"

Kemarin-kemarin aku memang berusaha sejutek mungkin karena masalah surat itu. Tapi melihat usaha Regal yang redup untuk mengajakku bicara, sekarang malah aku yang merasa bersalah. Apalagi membayangkan kalau Regal benar-benar menjauhiku. Rasanya sangat tidak rela.

Regal berhenti dan berbalik ke arahku. Cowok itu menatapku datar dan menarik dua ujung bibirnya sedikit. "Aku cuma negasin ke diri aku sendiri kalo aku nggak ada harapan sama kamu. Kita emang temenan, Sya. Tapi untuk sekarang, kasih aku waktu buat ngelupain perasaan ini. Gapapa, kan?"

**

Tbc tralala~

Reply Me! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang