Hari Sabtu, harinya rebahan. Saat mama mengetuk pintu pun, aku sengaja menguncinya karena saat ini aku benar-benar malas melakukan apapun. Terlepas masih lusa untuk Senin tiba, saat mengingat percakapan kemarin dengan Iwan, aku jadi makin kepikiran.
Iwan tidak lagi memberi pesan, bahkan aku chat 'p' saja belum di-read. Semarah itukah pacarku itu? Apa aku harus membatalkan janjiku pada Fia? Tapi hadiahnya lumayan, apalagi mendekati tingkat nasional seperti ini. Belum lagi, harapan banyak orang tengah ditanggung olehku. Rasanya makin berat malah kalau aku membatalkan lomba.
Aku masih tengkurap dengan kaki ditekuk ke atas sembari menyiram kebunku di ponsel. Lalu, tidur melentang menatap langit seusai tidak ada keseruan saat main game. Beberapa kali aku menghela napas panjang. Apa aku harus datang ke rumah Iwan? Tapi kalau ke rumah cowok itu rasanya rendah diri sekali.
Ayah Iwan itu pekerja di sebuah perusahaan swasta. Jabatannya juga tinggi sebagai manager. Ibu Iwan itu pemilik minimarket di komplek ini. Walau mereka ramah padaku, tapi kadang suka nyindir tentang aku yang masih suka menari. Makanya, aku sesekali ke rumah Iwan, itu pun kalau darurat.
Baru ingin melelapkan diri, mataku harus melirik ke arah pintu kamar yang diketuk nyaring. Aku mendecak kesal, padahal masih jam setengah sembilan. Harusnya hari ini itu aku rebahan full!
"ICA! BANGUN! KAMU MASIH HIDUP, KAN? JANGAN MATI DULU! KAMU BELUM BISA BAWA DUIT SATU MILYAR SAMA MAMA!"
Aku mendengus dan terduduk di samping kasur. Kalau dibuka, aku malas. Kalau didiamkan, rasanya kayak anak durhaka. Jadi anak itu serba salah.
"ICA! IWAN DI BAWAH!"
Mataku lekas membelalak. Mendengar satu nama itu, kemageranku hilang cepat. Maklum, aku masih masa pubertas. Kata-kata bijak orang tua memang jarang didengar, tapi kalau mendengar nama orang yang disuka langsung tancap gas.
"Mama bohong, ya?" tanyaku saat tiba di pintu. Aku belum membuka kunci, takutnya mama lagi prank aku.
"Durhaka ya kamu nuduh orang tua," sahut mamaku di balik pintu.
Rasa bersalah seketika menelusup. Benar-benar durhaka kamu, Ca!
Aku memutar kunci dan membuka pintunya. Tampaklah mamaku yang mengikat asal rambut sambil dasteran.
"Pacar dateng aja langsung buka pintu. Tadi Mama gedor-gedor minta jemurin pakaian, kamu ke mana?" tanya mamaku sembari memelotot. Aku meringis dan mengulum bibirku.
"Awas ya, Mama nggak akan kasih bekal kecuali ongkos."
Aku cepat menahan lengan mamaku saat ia hendak pergi. "Ma, jangan dong! Tadi Ica masih tidur, kok!" Iya, tidur ayam, Ma.
Mama mendengus melihatku. "Udah cuci muka kamu. Tuh masih ada tai di mata kamu."
Mama pergi meninggalkanku yang refleks mengusap ujung mataku. Aku cepat mengambil sabun cuci muka dan lekas ke kamar mandi yang ada di samping kamar. Ketemu pacar harus segar dulu dong!
**
Dulu pacaran dengan Iwan seperti sebuah mimpi yang terlalu tinggi. Bak anak kecil yang mendambakan sosok pangeran dengan kuda putihnya. Di komplek kami, hanya aku dan Iwan yang seumuran. Kami terpatok lima bulan ketika lahir. Walau begitu, kami cepat dekat dan akrab.
Saat TK, SD, SMP, bahkan saat ini, kami satu sekolah. Iwan seorang pengayom bagiku. Aku yang saat SD diolok, Iwan jadi pelindung di depanku. Cowok itu kerap menggandeng tangan kecilku baik berangkat maupun pergi ke sekolah. Iwan bahkan tidak peduli bila dijauhi karena terlalu sering denganku. Intinya, cowok itu sangat berjasa di masa kecilku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reply Me! [Completed]
Teen FictionSealim-alimnya cowok di kelasku, pasti ujung-ujungnya bakal bobrok juga. Sejaim-jaimnya cowok di sekolahku, pasti pernah melakukan hal gila yang bikin aku geleng kepala. Memang, tidak ada yang sempurna. Ada yang pintar, tapi aneh. Ada yang normal, t...