21

535 49 3
                                    

Iwan berubah, dia jadi sering mengajakku kencan. Cowokku itu selalu punya alasan untuk mengajakku keluar rumah untuk izin pada Mamaku. Padahal, aku belum mengatakan pada Mama kalau aku sudah enggan ke rumah Regal, sehingga Mamaku kadang ingin menolak izin dari Iwan itu.

Aku tidak heran kalau kekayaan Regal bisa membutakan Mamaku, yang notabene ibu rumah tangga yang membutuhkan tambahan masukkan. Apalagi, kalau aku pulang dari rumah Regal, Tante Raya selalu memberiku beberapa lembar uang merah. Yang pasti, Mamaku akan merampasnya dan bilang, "Biar Mama tabung, nanti kamu boros kalo pegang uang banyak."

Tapi setiap aku minta balik, Mamaku membalas, "Emang uang bekal kamu kemarin-kemarin pake daun apa? Itu kan uang dari Ibunya Regal."

Tahu begitu, aku tidak akan jujur kalau ada orang yang memberiku uang.

Kembali pada masa sekarang. Semenjak Bila mengatakan hal yang menurutku terlalu frontal untuk dikatakan, Iwan tidak menanyakan hal itu padaku pulangnya. Bahkan, keesokkan hari dan hari-hari selanjutnya. Seolah apa yang dikatakan Bila hanyalah angin lalu. Tapi justru diamnya Iwan itu malah membuatku sedikit resah.

Iwan itu pintar memendam, tidak tampak sekali kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan. Hanya saja, sekalinya meledak, terlalu dadakan, tanpa ada tanda-tanda. Seperti halnya akan ketidaknyamanan cowok itu soal kedekatanku dengan Regal. Iwan tidak pernah membahasnya jauh-jauh hari, makanya aku kaget ketika bagaimana Iwan berubah menjadi cowok yang begitu tegas.

Jujur saja, meski kami sudah menjalani hubungan ini bertahun-tahun, sisi Iwan itulah yang masih sulit aku tebak.

"Mau nambah?" tanya Iwan setelah mendapati mangkok buburku kosong.

Minggu pagi biasanya aku gunakan untuk rebahan, tapi cowok ini dengan sifat implusifnya malah mengajakku yang pemalas ini.

"Udah kenyang kok!" jawabku setelah minum teh manis hangat.

"Hari ini mau jalan ke mana? Kafe es krim itu mau? Ada rasa baru katanya. Mau coba?"

Deretan pertanyaan Iwan yang terkesan menggebu malah membuatku sedikit risih. Cowok ini mulai menunjukkan ada yang ia sembunyikan. Entah itu ada sangkut-pautnya dengan ucapan Bila atau ada hal yang lain mengganggu pikiran Iwan. Aku sama sekali tidak bisa menebak. Aku jadi merasa rendah diri karena sampai tidak tahu sifat pacar sendiri, padahal sudah lama kami bersama.

"Nggak usah deh, Wan. Ada ppt yang harus aku beresin."

Iwan menelan teh manis yang baru saja ia teguk. "Oh tugas sosiologi itu?"

Aku mengangguk.

"Kamu sekelompok sama Regal, kan?"

Meski berat, aku terpaksa mengangguk lagi.

"Jadi udah ini kamu ke rumah dia?"

Kali ini aku menggeleng. "Nggak kok! Kita kerjain sendiri-sendiri. Udah dibagi-bagi juga, ntar tinggal disatuin."

Iwan mengangguk paham. Semoga jawabanku tidak menimbulkan salah paham lain.

"Kenapa nggak kerjain bareng? Karna kamu udah telanjur diajak sama aku, ya?"

"Nggak kok, bukan karna kamu," timpalku cepat. "Ya selama tugasnya bisa ngerjain sendiri-sendiri, kenapa haru bareng-bareng, kan?"

Aku menghela napas kemudian setelah menyadari ada yang kurang dari jawabanku. "Lagian aku nggak mau hubungan kita makin runyam nantinya. Aku bakalan lebih milih-milih lagi kegiatan mana yang mesti aku bareng Regal atau aku lakuin sendiri. Kayak gitu, kan?"

Iwan menarik dua ujung bibirnya. Ada kesan keterpaksaan yang kutangkap. Cowok ini seperti ingin membicarakan sesuatu padaku.

"Regal ...." Iwan membuang pandangan sebelum kembali menatapku. "Udah nembak kamu, kan?"

Aku tersentak. Perasaan, Bila mengatakan kalau Regal tidak jadi menyatakan perasaannya. Tapi kenapa Iwan malah menangkap sebaliknya?

"Malam itu, aku nelepon kamu. Tapi suara kamu beda dari biasanya, kayak nggak mau diganggu. Kamu lebih banyak diem. Sebelumnya aku juga liat kamu dijemput Indah sama Bila. Terus kamu bilang cuma main biasa."

Aku terdiam, terlalu kaget pada penjelasan Iwan yang lagi-lagi mendadak.

"Aku coba percaya sama kamu. Mungkin kamu hadirin pesta ulang tahun sampe pake baju sebagus itu. Tapi besoknya, waktu Bila bilang itu, dugaan positifku hilang nggak ada bekasnya, Ra."

Iwan menunduk dan helaan napas panjang terdengar. Lidahku kelu untuk bicara. Rasanya takut salah kalau aku malah balas berargumen. Aku tidak pandai bohong jika bersama Iwan. Maka dari itu, mencari kalimat yang lebih baik untuk aku ucapkan terlalu sulit karena apa yang dikatakan Iwan memang benar adanya.

"Aku pulang dulu, ya?"

Aku seketika terperangah saat Iwan lekas berdiri dan membayar pesanan kami. Aku yang masih terlalu kaget atas kejadian tadi tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja, yang kutahu hubungan kami sedang tidak berjalan dengan baik.

**

Hingga esok harinya, Iwan tidak memberi pesan padaku. Aku chat dia pun, sama sekali tidak ada respons. Aku berusaha berpikiran positif, mungkin Iwan butuh waktu sendiri atas semua masalah yang sedikit melemahkan hubungan kami.

Tapi bukan hanya soal Iwan yang aku pikirkan. Soal pernyataan Regal dan bagaimana cowok itu memintaku melupakan kejadian itu, masih membekas di benakku.

Aku lebih sering mendiamkan Regal atau memberi respons hanya dengan gumaman. Bicara pun seadanya, seolah memberikan balasan atas surat yang diberikan Regal padaku tempo hari. Itu mungkin sudah berlalu lama, tapi rasanya masih terasa jelas. Aku ingin sekali Regal menarik ucapannya, tapi akalku bilang itu sama saja aku mengharapkan Regal.

Kenapa coba aku menginginkan hal itu? Bukannya aku yang menolak Regal?

"Ppt kamu kurang lengkap, Sya." Suara Regal membuyarkan lamunanku. Cowok itu datang malah sudah mengomentari pekerjaanku.

"Yaudah sih tinggal ditambah-tambahin aja, jangan dibawa repot," sahutku jutek.

"Tapi itu bukan bagian aku."

"Kita kan sekelompok, harusnya kamu benerin juga dong! Jangan maunya bener sendiri."

Suaraku sepertinya terlalu tinggi hingga beberapa memperingatiku, apalagi tugas power point itu dikumpul hari ini. Tapi aku tidak peduli. Aku malah bungkam, tidak lagi merespons. Regal pun sepertinya tidak punya argumen lain dan memilih membuka laptopnya daripada memperpanjang urusan.

Aku kembali memainkan ponsel dan bermain game daripada terus saja tersulut emosi oleh keluguan Regal yang sekarang malah bikin aku kesal. Urusan perasaan saja dibawa serius, tapi masalah pelajaran malah lugunya dibawa-bawa.

"Gal, aku boleh tuker tempat duduknya?"

Suara yang amat familiar begitu mudah masuk ke dalam telingaku. Aku cepat mendongak dan melihat Iwan dengan gaya urakannya, seragam keluar dan tas digendong di bahu kanan, berdiri di samping meja kami.

"Hari ini aku mau duduk sama pacarku."

**

Tbc tralala~

Reply Me! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang