Suasana sekolah seusai bel pulang, ramai luar biasa. Bisingnya kadang bikin aku mau teriak. Apalagi kalau sudah datang menstruasi. Sedikit disenggol saja, niatku membunuh orang seketika muncul. Tapi karena aku punya hati sesuci bidadari, aku tidak mungkin membuat khayalanku itu benar-benar terjadi.
Aku baru saja bicara dengan Fia mengenai lomba bulan depan di depan kelasnya. Tadinya aku berniat ingin membatalkan janji itu, tapi pelototan Fia buatku enggan berkutik. Jadi, mau tidak mau aku harus mengorbankan waktu luangku sebulan ke depan. Padahal, tadinya aku ingin belajar keras karena nilai semester satu milikku tidak terlalu bagus. Ya, mungkin niat itu jadi wacana tahun ini.
Sekarang, sekolah sudah tidak terlalu ramai. Regal berjalan di sampingku tanpa protes apapun. Cowok ini kayaknya tenang banget dan penyabar. Aku bicara dengan Fia selama sejam saja, tidak terlihat kesal sama sekali. Regal malah sibuk dengan ponselnya entah main apa. Yang kutahu, tadi dia menelepon seseorang yang sepertinya supir pribadi.
Kami hendak menuju ke daerah belakang gedung utana. Di sana, berderet ruangan kecil yang berisi beberapa ekskul di sekolahku. Ada dua lantai. Sekolahku memang mendukung kegiatan di luar akademik. Karena melalui hal itu, banyak siswa yang menuai prestasi. Kecuali, untuk ekskul Rohis. Organisasi keagamaan itu khusus menguasai mesjid di sekolahku.
"Kamu suka nolong orang nggak?" tanyaku pada Regal saat melihat logo palang merah di sebuah bendera yang melambai saat hendak memasuki lorong. Tapi Regal malah diam saja melihat jalan.
Aku berdecak. Cowok ini harus disentuh dulu baru sadar. "Gal?" panggilku sambil menyenggol siku tangan kirinya.
"Hm?" balasnya menoleh padaku.
"Kamu suka nolong orang? Liat darah gitu?"
Regal tidak cepat menjawab. Cowok itu mengulum bibir ke dalam lalu menggeleng.
"Kamu kayaknya nggak terlalu suka liat orang-orang, ya?" gumamku berspekulasi.
Regal tidak menyahut, kulihat cowok iu mulai melihat-lihat berbagai ornamen di setiap pintu masing-masing organisasi. Aku pun jadi memikirkan ekskul apa yang cocok untuk cowok ini.
Regal itu ... cowok ini jarang berinteraksi dengan banyak orang. Saat ulangan ekonomi, cowok ini menjadi orang yang paling cepat mengumpul dan mulai mendapat sanjungan. Tapi Regal tidak menyahut. Jadi, kusimpulkan, walau belum tentu benar, Regal tidak suka bicara.
Tapi memang ada ekskul orang-orang pendiam? Lagian kalau pendiam, apa yang dilakukan organisasi seperti itu? Melakukan kompetensi saling menatap? Atau lomba paling lama diam?
"Ekskul catur?" gumanku sendiri saat melihat logo berupa pion kuda pada pintunya. Ekskul ini memang sepi, jarang sekali aku mendengar suara setiap aku latihan nari. Mungkin mereka membutuhkan ketenangan untuk fokus bermain. Pantas saja ekskulku jauh lokasinya dari markas ini. Kalau sebelahan, bisa jadi kami mendapat banyak protes.
"Tunggu," kataku sambil menyentuh lengan Regal sesaat. "Ke sini dulu mau nggak?" Aku menunjuk pada pintu yang terbuka setengah tersebut. Regal hanya mengangguk dan aku berjalan lalu mengetuk pintu tersebut.
"Permisi."
Dua orang cowok yang sedang bermain ponsel sontak menoleh pada kami. Isi ruang ini hanya terdiri dari satu meja panjang dengan empat kursi kayu di empat sisinya. Lalu, ada sofa maroon melekat di tembok. Pun, ada beberapa piala yang diletakkan di atas meja samping sofa tersebut.
"Eh iya? Cari siapa?"
Cowok yang tadinya membelakangiku menoleh. Tampak ada lesung pipi kirinya.
"Ini, Kak. Temen saya lagi nyari ekskul, mau tanya-tanya di sini boleh?"
Cowok tadi pun berdiri dan menghampiri kami. "Kamu Risya, bukan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Reply Me! [Completed]
Fiksi RemajaSealim-alimnya cowok di kelasku, pasti ujung-ujungnya bakal bobrok juga. Sejaim-jaimnya cowok di sekolahku, pasti pernah melakukan hal gila yang bikin aku geleng kepala. Memang, tidak ada yang sempurna. Ada yang pintar, tapi aneh. Ada yang normal, t...