19

542 53 0
                                    

Aku tidak heran lagi kenapa bisa duduk di tempatku sekarang ini. Di dalam restoran dengan sosok yang tak asing di depan. Indah dan Bila itu tipikal orang yang susah ditolak kemauannya, kalau dilanggar mereka bisa ngamuk kayak macan. Dan daripada aku menjadi korban, lebih baik kau menurutinya.

Seperti sekarang.

"Kamu disuruh siapa ke sini?"

Regal tampak salah tingkah ketika aku menatapnya datar. Cowok itu enggan sekali menatapku. Padahal, dandanannya sukses bikin aku hampir jantungan. Regal yang biasanya pakai kemeja rapi saat makan di luar, kini menambahnya dengan sweater dan rambut yang diacak sedikit. Sangat jauh dari Regal yang dulu kelihatan culun.

Bila dan Indah pun tidak sampai hati membiarkanku hanya menggunakan kaos dan celana jeans. Mereka malah memberikanku gaun tanpa lengan yang panjangnya hampir menyentuh lutut. Bila yang kupikir hanya bersahabat dengan buku, ternyata pandai merias. Aku saja beberapa kali harus curi-curi pandang pada kaca di besar di sebelahku untuk melihat begitu berbedanya aku.

"Kamu mau makan apa?"

Regal memberikanku buku menu dan sontak saja berjengit ketika aku berdecak kesal.

"Belajar dari siapa ngalihin omongan orang?" Akhirnya keluar juga pertanyaanku itu.

Aku masih kebawa kesal atas semua rencana yang dibuat Indah dan Bila. Tiba-tiba tadi siang memberondongiku oleh banyak pertanyaan. Lalu, tiba-tiba datang ke rumah dengan membaea seperangkat alat rias juga gaun ini. Sorenya, mereka tancap gas ke tempat ini tanpa memberi tahuku siapa yang akan aku temui. Jawaban mereka hanya: kita ajak kamu kencan buta, siapa tahu jodoh.

"Kamu diajak Bila sama Indah ke sini, kan?"

Regal menggeleng, membuatku mengernyit heran.

"Sama Andri."

Jawaban Regal membuatku mengembuskan napas kasar. Dugaanku benar kalau cowok playboy itu yang mengajari Regal yang tidak-tidak.

"Aku kan udah pernah bilang, jangan percaya sama orang. Kalau kamu diajak ngomong, bilang ke aku. Bisa aja mereka bohongin kamu. Jangan gampang nurut!"

Regal terdiam, cowok itu menunduk. Tiba-tiba saja aku merasa kasihan. Padahal, Regal ini korban. Harusnya aku memarahi si kutu kupret Andri itu. Indah dan Bila juga pasti beraliansi dengan cowok itu.

"Iya, aku tau kamu--"

"Aku suka sama Risya." Regal tiba-tiba saja mendongak dan memotong perkataanku. Mulutku terbuka saking kagetnya.

"Andri bantuin aku buat bisa ngomong ini sama kamu."

Aku mengerjap dan menelan saliva. Rasanya tubuhku mati rasa.

"K-kamu jangan percaya Andri. Dia kan--"

"Jangan anggap aku lagi nggak ngerti apa-apa, Sya. Lama sama kamu, lama temenan di kelas, aku mulai ngerti perasaan sedih, suka, terus ketawa sama kalian."

Aku terdiam, baru kali ini aku melihat raut serius yang Regal pancarkan. Rasanya nyaliku ciut. Aura yang cowok ini pancarakan amat berbeda.

"Awalnya aneh buatku. Perasaan-perasaan itu muncul gitu aja. Dulu, aku pikirin gimana caranya bahagiain Mama. Tapi sekarang aku sadar, hidupku bukan cuma soal Mama. Ada kamu, ada teman-teman kita."

Regal terdiam sebentar. Tapi matanya sama sekali tidak berpaling dariku.

"Apalagi setiap kali aku sama kamu." Regal menepuk dadanya pelan seraya berkata, "Dadaku sakit waktu liat kamu ketawa, senyum, bahagia sama aku. Tapi aku nggak mau kehilangan sakit itu. Aku kira aku beneran sakit, tapi Mama bilang itu normal."

Regal tampak menerawang, mengingat sesuatu. "Mama suruh minta aku tanya sama temen. Aku tanya Andri, dia tadinya ngeledekkin aku. Tapi aku bilang serius. Dari saat itu, aku tau apa yang dimaksud orang soal sayang sama seseorang."

"Rasanya aku ikut sedih waktu kamu ngeluh, rasanya dadaku makin sakit kalau aku nggak denger suara kamu, aku nggak bisa tidur kalau satu hari nggak liat kamu. Semuanya aku rasain, Sya."

Aku lagi-lagi dibuat bungkam. Perutku geli seperti ada yang menggelitik. Detak jantungku pun ikut berdegup lebih cepat dari biasanya.

Ini terlalu mendadak.

"Aku takut bayangin kamu sama orang lain, Sya dan ngambil perhatian kamu dari aku. Jadi, aku mau tanya, kamu mau jadi pacar aku?"

Ini ... gila. Super gila. Aku tidak pernah berpikir membuat seseorang menyatakan cintanya padaku dan memintaku menjadi kekasihnya. Aku selalu menghindari kejadian itu terjadi, mengingat ikatanku dengan Iwan. Tapi kali ini aku kecolongan. Waktu tidak bisa diputar balik.

"Kenapa bisa?" Aku menghela napas saat dirasa suaraku terlalu pelan untuk didengar Regal.

"Kenapa bisa kamu rasain itu? Kita cuma teman."

Regal menggeleng. "Kata Andri, sayang nggak perlu alasan. Aku juga nggak tahu sejak kapan aku kayak gini. Yang aku tahu, aku cuma mau di deket kamu."

"Gal, mungkin kamu salah. Perasaan kamu mungkin sayang sebagai teman, aku nggak mungkin sespesial itu."

Aku mencoba cari celah. Tidak mungkin aku menerima Regal, walau ada sakit ketika aku mesti menolak cowok ini.

"Awalnya aku mikir kayak gitu." Regal mengernyit seolah ada sesuatu yang salah. "Tapi apa yang aku rasain sama temen sekelas terus sama kamu itu, rasanya berbeda."

Aku terdiam lagi, tidak punya kalimat sanggahan. Aku tahu jelas dan mengerti sekali perasaan Regal. Hanya saja, kenapa harus secepat ini? Maksudku, meski sudah berbulan-bulan kenal, apa mesti perasaan seperti itu yang muncul? Atau karena kebersamaan ini perasaan itu serta-merta datang?

"Tapi ... ini salah, Gal." Aku berpaling ke beberapa arah. Jujur itu seperti obat. Walau sepahit apapun, harus bisa menelannya. Demi kebaikan di masa depan.

"Aku ... punya orang yang udah aku sayang, Gal."

Regal tidak bersuara, aku pun belum berani mendongak untuk melihat respons cowok itu.

"Mungkin aku salah, mungkin juga takdir yang salah mempertemukan aku sama kamu."

Aku menghela napas. Aku menunduk sembari meremas jemariku. Jantungku benar-benar berpacu dengan cepat. Rasanya berat sekali memberikan kalimat penolakan, dadaku rasanya jelas sekali sakitnya. Tapi akalku mengatakan kalau ini jalan yang terbaik.

"Aku hargai perasaan kamu. Aku seneng bisa denger itu, tapi maaf, aku nggak bisa bales perasaan kamu. Ada hati yang harus aku jaga."

Perlahan, aku mendongak. Entah sejak kapan, ada luncuran air mata yang meluncur di pipi kananku. Regal menatapku, ada sorot kecewa dan sakit hati yang membuat perasaanku meringis. Kenapa aku tiba-tiba merasa menyesal?

"Aku pergi dulu."

Refleks aku mengambil tas selempang di kursi kananku dan berdiri lalu berjalan cepat meninggalkan restoran. Bahkan, kami belum memesan makanan apapun. Makan malam yang direncakan ketiga temanku sepertinya gagal.

Tapi lebih dari itu, kenapa aku menangis?

**

Tbc tralala~

Reply Me! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang