LIMA

117K 7K 107
                                    

"Ayo, silahkan," kata Angga.

Ragu-ragu Sandrina bangkit dari kursinya dan berjalan ke depan. Tak butuh waktu lama bagi Sandrina untuk memunculkan presentasinya di smart tv yang ada di ruang meeting. Setelah yakin ia sudah selesai dengan persiapannya, Sandrina pun putar badan, kembali menghadap rekan kerjanya.

Ditariknya napas panjang dan dalam sebelum kemudian berkata. "Ehm ... oke saya mulai untuk report 3 bulan terakhir untuk lini medsos."

Ia melirik sekilas pada Angga. Atasannya itu menatap lurus ke arah smart tv yang ada di belakangnya.

"Berikut adalah laporan 3 bulan terakhir. Bagian ini adalah untuk facebook, bagian ini untuk instagram. Kalau ditanya kenapa tidak ada lagi twitter di sana. Saya sengaja meniadakan twitter."

Sandrina mengklik tombol enter dan layar menampilkan grafik lain. "Ini adalah alasan saya tidak lagi menggunakan twitter untuk memboosting TG ... Jumlah pengguna twitter menurun, retweet dan like kita juga turun. Kemudian ..." Sandrina kembali mengklik untuk menampilkan slide lain. "Kalau pak Angga liat di sini. Untuk engagement kita di facebook dan instagram justru meningkat. Itu sebabnya saya memaksimalkan budget untuk medsos ke facebook dan instagram."

"Trus twitternya kamu apa kan?"

"Pengennya saya hapus, Pak atau kalau pun mau tetep dipertahankan, yang terpikirkan di saya, twitter bener-bener hanya untuk sumber informasi saja."

Dahi Angga berkerut. "Jadi maksud kamu twitter hanya digunakan seperti papan informasi saja tidak ada kegiatan marketing di sana?" Sandrina mengangguk sementara Angga memperhatikan kembali grafik di belakangnya. "Ehm.. Dicka, lo masih ada report twitter taun lalu."

"Ada. Perlu saya tampilin juga, Bos?"

"Boleh, dong. Harusnya nggak sejelek ini lah angkanya."

Suasana ruang rapat mendadak hening. Mira dan Ellen hanya menunduk memainkan apa pun yang ada di atas meja sedangkan Made memilih untuk memfokuskan perhatiannya ke gadget sembari menunggu Dicka.

Cengor. Tidak tahu harus melihat ke mana lagi. Pandangan Sandrina pun teralih ke arah kursi Angga.

Deg!

Susah payah ia menelan salivanya, atasannya itu tidak sedang fokus menatap grafik angkanya, tetapi dia sedang fokus melihat ke arahnya. Buru-buru ia mengalihkan pandangan, tetapi sepasang mata tajam itu masih juga menatapnya. Bukan tatapan yang menyenangkan sejujurnya, tatapan itu tatapan aneh yang membuatnya sangat tidak nyaman.

5 menit berlalu.

Sandrina mulai merutuki Dicka yang tak juga kembali. Ia melihat keluar ruangan melalui dinding kaca dan menemukan rekan kerjanya itu masih berkutat di depan komputernya.

Lama amat sih mas Dicka!, batin Sandrina. Matanya melirik Angga kembali. Thank God, atasannya itu kini terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Sebuah pop up WA di layar ponsel Sandrina membuat matanya melotot seketika. Ia menatap Angga dan atasannya itu tengah menaikkan alisnya sebelah, memerintahkan Sandrina untuk membuka pesannya.

Pak Angga: I think blue will makes ur skin look
brighter.

Apaan sih! Geje banget! Jabatan sih bos, tapi tingkah laku kok nggak banget gini!, batin Sandrina.

Dengan sengaja ia lalu menaruh kembali ponselnya begitu saja ke atas meja. Suara ponselnya yang beradu dengan kerasnya meja pun terdengar jelas. Ia menatap Angga tajam. Ia harus memastikan atasannya ini paham kalau dirinya tidak suka cara Angga memperlakukannya.

Sayangnya, pria itu malah menatapnya dengan senyum tertahan di ujung bibir. Dan apa itu barusan! Apa dia baru saja mengedipkan mata ke arahnya? Sandrina seketika memandang sekeliling mencoba mencari saksi mata atas tingkah genit sang atasan. Tentu saja, tidak ada satu pun yang melihat. Mereka masih sibuk dengan dunia mereka sendiri.

"Ini filenya," ujar Dicka memecah keheningan.

"Oke. Coba kita lihat perbandingannya," sahut Angga kembali ke 'Mode Bos'- nya.

"Ck. Berapa cewek yang udah kena coba."

"Kamu bilang apa," tanya Angga dengan wajah serius.

"Hah?"

"Iya. Lo tadi ngomong, 'Berapa cewek yang udah kena'," sahut Dicka.

Sandrina mengumpat dalam hati kala menyadari ia baru saja mengatakan isi otaknya ke seisi ruangan. "Aku nggak ngomong apa pun kok. Salah denger mungkin." Mata Sandrina menatap berkeliling, mencoba meyakinkan rekan-rekan kerjanya yang lain. Pandangannya kembali jatuh ke arah Angga yang justru memandangnya dengan senyum nakal.

"Udah jangan digangguin terus. Nangis nanti anak orang," kata Made.

"Oke. Lo coba refresh memori kita dong, Dik," perintah Angga.

"Saya?"

"Kenapa? Masalah?"

"Nggak, Bos."

"Kamu duduk saja dulu," perintah Angga pada Sandrina yang tidak menyahut apa pun dan hanya duduk di kursi, seperti yang diminta. Sementara itu, Dicka mulai menjelaskan kembali laporan quartal terakhir lini medsos sebelum akhirnya diambil alih oleh Sandrina.

Ponsel Sandrina kembali bergetar membuatnya dengan cepat membuka pop up WA nya itu.

Pak Angga: Jangan ngeliatin saya terus begitu. Saya nggak tau kalau message saya bener-bener
bisa nge-distract kamu.

Sandrina: Bapak nggak ada kerjaan ya?

Pak Angga: Tentu saja ada. Apa saya terlihat santai
sekarang?

Sandrina: Bapak bercanda. Kita lagi meeting
sekarang.

Pak Angga: Saya suka membaca kata 'kita' di sana.

Sandrina memilih bersikap waras dengan tidak menanggapi lagi pesan Angga.

Pak Angga: Dan soal yang kamu bilang tadi. Jawabannya, no one. Saya hanya melakukan ini ke kamu saja.

Am I Seducing My Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang