"Siapa?" tanya Sandrina tanpa menengok ke arah Angga yang tengah fokus di balik kemudi.
"Hm? Apanya yang siapa?" tanya Angga balik sembari menengok Sandrina sekilas.
"Siapa yang kasih tau Pak Angga soal hubungan saya dengan Mas Radit. Mas Dimas?" tanya Sandrina lebih detail.
Angga menarik napas pelan sembari menahan senyumnya. "Tolong foto itu," pintanya tepat ketika lampu lalu lintas berganti warna merah.
Sandrina mengikuti arah telunjuknya dan memfoto salah satu neon box yang ada di depan mereka.
"Coba lihat."
Sandrina menyerahkan ponsel padanya begitu saja. Angga berdeham pelan. Gadis ini tidak pernah tahu, bagaimana simple things like this bisa membuatnya sangat bahagia.
"Agak tertutup," komentar Angga kemudian.
"Tapi kalau lagi lampu merah cukup terlihat. Seperti sekarang," sanggah Sandrina sembari menerima ponselnya kembali.
"Kirim ke saya ya. Kasih keterangan juga ambilnya di mana."
Sandrina tak menjawab. Dia hanya mengangguk saja. "Jadi, Bapak tau dari mana?" tanya gadis itu lagi.
"Apa itu penting buat kamu?"
"Iya," jawab Sandrina cepat.
Angga menengok sekilas. Raut wajah tidak suka terlihat jelas di wajah manis itu. Apa Sandrina malu karena dirinya tahu tentang kisah cintanya? Atau gadis ini sudah terlalu membenci Radit hingga apapun yang berkaitan dengan sahabatnya itu bisa membuat dia marah seperti saat ini?
Sebenarnya sekalipun Angga sudah tahu keseluruhan ceritanya dari Rian. Ia tetap ingin tahu detail kisah mereka berdua dari bibir Sandrina langsung. Ia ingin tahu apa yang membuat Sandrina bisa begitu mencintai Radit—selain wajah tampan sahabatnya itu, yang harus ia akui juga kebenarannya—hingga sampai terluka sebegini dalamnya?
Namun, melihat ekspresi Sandrina yang sekarang. Kelihatannya ia harus menahan diri untuk tidak mengorek luka itu sekarang.
"Saya rasa tidak penting dari mana saya tahu masalah itu, karena saya pribadi juga tidak ingin terlibat di masa lalu kamu."
Sandrina menatapnya tanpa berkomentar apapun.
"Radit teman saya. Kamu adalah wanita yang saat ini selalu ada di pikiran saya. Saya memang mendengar masalah kalian, saya tahu masalah kalian. Dan kalau yang saya dengar itu sepenuhnya benar. Sekalipun saya ingin sekali memberikan pelajaran pada Radit. Saya akan menahan diri saya. Karna saya tidak dalam posisi bisa menghakimi siapapun di sini. Anggap saja saya hanya pendengar yang tidak mendengarkan cerita dari dua orang yang terlibat secara langsung. Kamu dan Radit."
"Tadi Bapak bilang, Bapak bisa saja memukul sahabat Bapak sendiri. Trus Bapak bilang, Bapak nggak mau ngehakimin. Apa itu berarti hanya lip service?"
Sudut bibirnya terangkat sedikit kala mendengar kata terakhir Sandrina. Ia lalu menghadapkan badan sedikit ke arah Sandrina yang menatapnya lurus-lurus.
"Lip service? I can make a good one if you want to," godanya dengan sengaja.
Mata gadis itu melotot. "Bapak tahu persis bukan itu yang lagi saya omongin. Nggak malu sama almamaternya, Pak?" sindir Sandrina sarkas yang sukses membuatnya tertawa lepas.
"So glad to meet you again, San," ujar Angga sembari mengacak-acak rambut gadis di sampingnya ini.
Sandrina tak menjawab, dia hanya menatapnya bingung.
"Jangan terlalu serius. Relax. What's in the past stays in the past," ucapnya.
Lampu lalu lintas berubah hijau, Angga menarik handremnya alus dan melajukan mobilnya kembali. Diliriknya sekilas Sandrina yang memilih menatap ke luar jendela. Membuatnya ingin tahu apa yang sedang gadis itu pikirkan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Seducing My Boss?
Storie d'amoreMeet Sandrina's boss dear readers.. Anggara Asta Maheswara. Manajer yang selalu melihat Sandrina dengan mata nafsu. Yah, tidak berlebihan bila Sandrina mengatakannya demikian. Bagaimana tidak? Setiap ada kesempatan, setiap ada celah pak Angga akan m...