DUA PULUH DUA

60.8K 4.1K 30
                                    

Tawa kelakar dokter IGD bernama Rahmat sukses membuat suasana tegang yang sempat menyelimuti area rumah sakit hilang seketika. Sandrina tersenyum kecut sambil melangkah mundur kala dokter itu menatapnya dengan mata segaris. Agak creepy. Sementara itu, Angga yang duduk di atas ranjang IGD hanya bisa meringis. Menahan sakit pastinya.

Setelah beberapa saat, Rahmat berdeham pelan, berusaha keras untuk kembali terlihat profesional. Tapi itu hanya bertahan beberapa saat karena tak lama kemudian Dokter tersebut meminta ijin untuk melanjutkan tawanya. Sandrina hanya bisa mengangguk pelan begitupun Angga.

"Ya ampun. Astaga. Maaf, ya Pak-Bu. Saya tidak bermaksud untuk tidak sopan, tapi seharian ini kami cukup sibuk dan baru kali ini saya akhirnya bisa tertawa begitu lepas," ucap Rahmat sambil beberapa kali berdeham singkat.

Sandrina mengerjap mendengar ucapan Rahmat yang menurutnya nyeleneh ini. Bagaimana bisa seorang dokter menganggap lucu pasiennya yang sedang terluka dan menahan sakit? Nggak masuk akal, batin Sandrina tak bisa menyembunyikan ekspresi heran sekaligus kesalnya.

"Ah. Senang bisa membuat Dokter bahagia sedikit hari ini," ujar Angga santai.

Rahmat terkekeh lalu menatapnya bergantian dengan Angga. Tak tahan dengan sikap sang dokter yang tak kunjung mengobati, Sandrina pun mengambil inisiatif dengan menyindir Rahmat.

"Dokter nggak mau coba benerin tangan temen saya, Dok? Khawatirnya kalau cuman diketawain terus, darahnya bisa ngucur lagi."

Angga mendongak, memejamkan mata pelan ke arahnya. Seolah sedang menegurnya. Sandrina tak menggubris dan hanya membuang muka.

"Nah, untungnya darahnya sudah berhenti," sahut Rahmat sama sekali tak menyadari sindirannya.

Sandrina hanya bisa menggeleng takjub. Kelihatannya laki-laki yang peka di dunia ini memang sudah sangat langka.

"Masalahnya apa ini, Pak? Kok sampe ditusuk garpu?" ledek Rahmat sambil melirik ke arahnya.

Sandrina berdeham pelan sembari menghindari kontak mata dengan sang dokter. Dari sudut matanya, ia melihat Rahmat mendekat pada Angga.

"Kalau Bapak mengalami KDRT, saya bisa bantu hubungi polisi sekarang juga," kata Rahmat sembari meliriknya lagi.

Sandrina mendengkus.

"Oh? Hal itu memungkinkan untuk dilakukan ya, Dok? Khawatirnya nggak akan ada yang percaya sama saya," sahut Angga malah meladeni Rahmat.

"Ha.Ha.Ha. Lucu banget, lho," sindirnya sarkas lalu menatap nyalang ke arah atasannya itu.

Angga berdeham pelan. Senyum lebarnya perlahan hilang.

"Wanita itu makhluk lembut. Kalau mereka tiba-tiba jadi macan, itu berarti kita yang salah, Pak," ujar Rahmat sambil menatap Angga.

Udah telat! Terlanjur ilfeel! batinnya sembari melemparkan tatapan kesal pada sang dokter.

"Dan kalaupun kita yang benar, tapi wanita kita masih berubah jadi macan. Itu berarti ... tetap kita yang salah. Bener kan ya, Bu?" tanya Rahmat lalu terkekeh sambil menatapnya.

Sandrina membalas dengan senyum sekedarnya sementara Angga hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Bapak ngapain ngangguk-ngangguk gitu," tegurnya.

"Karena relate sama hubungan kita."

Sandrina diam. Bukan tidak ingin membantah, tapi lebih ke lelah. Mengikuti permainan Angga sangat menguras tenaga, jadi lebih baik ... abaikan saja.

Am I Seducing My Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang