DUA PULUH

62.6K 4.1K 14
                                    

Tidak perlu ditanya seperti apa ekspresi wajahnya saat ini. Ia merasakan darah di sekujur tubuhnya naik ke wajah, terasa panas dan terbakar. Bos Kampret! Dan segala macam sumpah serapah lainnya keluar dengan sangat lancar dari dalam hatinya sementara matanya menatap kesal ke arah Angga yang tengah berdiri menjulang di sisi mejanya.

"Selamat siang, Sandrina," sapa Angga.

Sandrina meremas ponselnya kuat-kuat. "Masih pagi, Pak Angga," jawabnya tak lupa tetap tersenyum.

"Kamu sudah tahu ada saya di sini, tapi tidak menyapa saya?" tanya Angga sambil tersenyum miring. Senyuman meremehkan yang 'Sangat khas Angga'.

Sandrina tersenyum sinis. "Mana mungkin saya berani melakukan itu. Kalau saya tahu ada Bapak di sini. Saya pasti akan sapa Bapak. Saya pikir tadinya Bapak yang pura-pura tidak melihat saya. Karena seingat saya, bangku di belakang saya ini kosong saat saya datang. Dengan kata lain saya datang lebih dulu dari Bapak dan itu artinya kemungkinan Bapak yang pura-pura tidak mengenali saya lebih besar dari kemungkinan saya mengabaikan Bapak."

Senyum di wajah Sandrina semakin lebar. Ia sangat puas dengan jawabannya apalagi ketambahan dengan Angga yang seketika terdiam karenanya.

Angga mendengkus. "Kamu sedang apa di sini?"

Sandrina mengernyit. "Ngopi. Ngobrol. Menikmati waktu libur saya."

Angga mengangguk. "Ketika pekerjaan kamu belum beres?"

"Pekerjaan saya?"

Angga kembali mengangguk santai sementara Sandrina mencoba mengingat-ingat pekerjaan apa yang belum ia selesaikan. Report quartal satu? batin Sandrina. Laporan Q1 medsos memang sempat Angga singgung Rabu lalu, katanya untuk bahan meeting dengan Bos Besar di hari Selasa minggu depan. Tapi ini masih Sabtu!

"Saya rasa ini hari libur saya, Pak. Kalaupun ada pekerjaan saya yang belum selesai. Saya pastikan untuk mengirimkannya ke Bapak sebelum tenggatnya."

"Dan kamu pikir ini bukan hari libur saya, San?" ucap Angga. "Saya ingat mention report tersebut di hari Rabu. Saya minta paling lambat Jum'at kamu kirim ke saya."

Wajah Sandrina terasa semakin panas. Perasaan malu hadir setelahnya. Ia melirik ke arah Putra. Ia jelas tidak ingin pria itu salah menilainya, sekalipun tak bisa dipungkiri tak ada yang salah dari ucapan Angga, tetapi ia punya alasan mengapa ia tidak bisa mengirimkan reportnya tepat waktu dan Angga tahu pasti apa alasannya.

"Pak Angga tahu persis kenapa saya tidak bisa mengirimkan sesuai tenggat awal yang Bapak minta. Itu kenapa Bapak kemudian meminta saya mengirimkan paling lambat hari ini."

"Dan saya belum menerimanya sampai detik ini," kata Angga tenang sembari memasukkan sebelah tangan ke saku celana.

"Hari ini bahkan baru dimulai, Pak. Saya pasti akan kirim paling lambat nanti malam."

"Jam berapa selesainya kalau kamu masih chit-chat di sini."

Sandrina meremas ponselnya kuat-kuat. Ia tahu Angga tidak sungguh-sungguh. Atasannya ini hanya sedang mengerjainya saja, tetapi lagi-lagi bercandaan Angga kelewatan. Seharusnya Angga tidak mengganggu dan mempermalukannya seperti ini apalagi ketika dirinya sedang tidak sendirian begini.

"Kamu mau saya bergadang menunggu email dari kamu kemudian saya lanjut bekerja lagi hingga hari Minggu besok?"

Sandrina menarik napas panjang dan dalam. "Pak Angga maaf, tapi saya sedang bersama dengan teman saya. Saya pastikan akan mengirimkan ke Bapak sebelum jam delapan malam nanti. Seharusnya, tidak akan mengganggu waktu istirahat weekend Bapak dan juga tidak akan menghambat meeting Bapak yang masih Selasa besok."

Am I Seducing My Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang