SEMBILAN BELAS

67.1K 4.2K 35
                                    

Sandrina berdiri sembari memasang senyum seramah mungkin pada Putra yang berjalan mendekat. Pria itu berpenampilan menarik, kemeja polos warna biru muda, lengan digulung hingga siku dipadu dengan celana denim berwarna khaki. Lumayan, itu adalah kesan pertama Sandrina saat melihat Putra. Memang tidak setampan Radit ataupun bos nyebelin di belakangnya ini, tetapi seperti kata Diandra, Putra memberi kesan 'anak baik-baik' yang tidak terbantahkan.

Putra menyunggingkan senyum saat mata mereka beradu. "Hallo. Sandrina ya?" tanya pria itu saat di hadapannya.

Ia mengangguk singkat sambil mengulurkan tangan. Putra menyambut masih dengan senyuman ramahnya. "Belum ganti nama jadi Dewi sejauh ini."

Putra tertawa sebentar mendengar ocehan gajenya. "Sori, gue kejebak macet tadi. Lo udah lama?"

"Nggak juga."

Hening sesaat. Tak ada di antara ia dan Putra yang berbicara, hanya saling senyum dengan posisi berdiri yang benar-benar canggung luar biasa.

"Awkward ya," komentar Putra pelan sambil menggosok-gosokkan kedua tangan.

Ganti Sandrina yang tertawa mendengar celetukan jujur pria ini. "Banget," sahutnya kemudian.

"Aturannya gue yang beliin minuman lo. Sori ya, gue telat," ucap Putra sambil menatap gelas kopi di mejanya.

"Nggak papa kok. Tadi haus banget, makanya pesen duluan. Nggak usah ngerasa nggak enak. Santai aja," sahutnya sungkan.

Putra tersenyum manis. "Kalo gitu, biarin gue beliin makanannya. Lo mau apa?"

"Nggak usah repot-repot. Lagian aku nggak kenyang kalo makan kue gitu," jawabnya sambil memberi kode. Berharap Putra mengajaknya untuk pindah tempat sekarang juga.

Suara dengkusan keras diiringi tawa yang ditahan terdengar dari arah belakangnya. Sandrina mengumpat di dalam hati. Benar dugaannya, Angga memang sengaja pindah duduk di belakang hanya untuk menguping semua pembicaraannya dengan Putra. Kalau seperti ini, mana bisa nyaman pedekatenya? Dasar Bos kepet!

"Sama. Gue juga nggak bakal kenyang," sahut Putra lalu tertawa.

"Bener kan. Mana kenyang makan roti kecil gitu," sahutnya lagi. Masih berusaha mengkode Putra.

"Oke, ntar kita cari tempat makan lain ya. Yang lebih pas buat perut kita berdua."

Sandrina berteriak senang di dalam hati. Nilai tambah lain dari Putra, pria ini jelas peka terhadap dunia perkodean wanita.

"Gampang kok nyenengin perut aku. Makanannya yang enak, porsi yang layak sama terakhir, masih aman buat kantong," sahutnya sambil tersenyum sementara Putra kembali tertawa riang.

"Awalan yang bagus. Kita sepaham soal itu," ujar Putra. "Gue pesen minum dulu. Kita ngobrol di sini, sekalian lo habisin kopi lo."

Hah! Sandrina menggerakkan kedua tangannya panik. "Eh, nggak perlu. Kita pindah sekarang aja."

Sekali lagi terdengar suara dengkusan keras di belakang. Masya Allah, Gusti! Paringi sabar!

"Nggak papa. Santai aja. Gue nggak buru-buru. Lo buru-buru?" tanya Putra.

"Enggak juga sih," jawabnya sambil mengerjapkan mata, bingung harus merespon bagaimana.

Putra tersenyum. "Duduk deh. Biar nggak capek. Gue pesen minum dulu, ya."

Ia menuruti ucapan Putra, duduk kembali di kursinya sembari melemparkan senyuman kecil pada pria yang tengah melangkah menjauh, menuju meja barista itu. Kelewat peka apa ya? batinnya pelan menilai sikap penuh pengertian Putra. Bagus sih, nggak ada yang salah juga, cuman masalahnya ... Untuk saat ini ia benar-benar ingin segera pindah dari cafe ini. Ia tidak peduli isi gelas kopinya masih penuh atau tidak. Yang ia inginkan hanyalah menjauh sejauh-jauhnya dari Angga. Ditariknya napas dalam, mencoba tetap tenang. Tepat saat itu, ia mendengar suara lirih atasannya dari belakang.

Am I Seducing My Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang