DUA PULUH LIMA

57.6K 3.9K 49
                                    

"Maafkan perlakuan saya yang kurang sopan. Tapi tolong tunggu di sini sebentar saja."

Gadis itu menatap sekeliling. Dia terlihat tidak nyaman ketika tahu dibawa ke kamar tidur. Tapi mau bagaimana lagi? Angga tidak punya pilihan lain. Hanya ada dua kamar di apartemennya, satu adalah master bedroom dan satu lagi kamar tamu yang ia rubah menjadi closet pakaian.

"Bukannya lebih mudah untuk Bapak mengatakan yang sebenarnya saja daripada harus 'sembunyiin' saya seperti ini."

Suara ketukan kembali terdengar di pintu rumah Angga. Tidak keras, tapi memang cukup mengganggunya.

"Saya tidak sedang menyembunyikan kamu. Saya sedang menunjukkan 'keberadaanmu'," ujarnya sambil tersenyum. Mencoba meyakinkan gadis dihadapannya ini.

Sandrina tersenyuman kecut. "Dengan membawa saya ke kamar Bapak? Definisi 'Menunjukkan' versi Bapak agak lain dengan pemahaman masyarakat umum."

Kali ini tak hanya bel dan pintu apartemen yang terus digedor dan ditekan, Anggun juga mulai menghubunginya via telpon. Angga mendengkus keras. Lama-lama tingkah agresif Anggun membuatnya tidak tahan!

"Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap Bapak. Tapi saat ini, saya merasa seperti seorang selingkuhan yang hampir ketahuan oleh istri sah," kata Sandrina tegas.

Ia tidak memiliki pembelaan apapun. Ia paham betul, di mata gadis ini, apa yang sedang ia perbuat memang tak ubahnya seperti seorang pacar atau suami yang sedang menyembunyikan selingkuhannya. Dan ia merasa sangat buruk karenanya.

"Maafkan saya," ucapnya jujur dan setulus mungkin. "Tapi Anggun could be a Medusa if she wants to. I just want to protect you."

Sandrina memejamkan mata sebentar sambil menarik napas dalam. "Tahu nggak sih, Pak. Medusa itu benernya baik. Dia itu kayak Joker."

Ponselnya masih bergetar sementara bel apartemennya juga masih terus berdering.

"I really sorry, San. Untuk kali ini, tolong turuti permintaan saya."

Satu helaan napas keras terdengar. Angga bisa melihat rasa frustasi yang tergambar jelas di wajah Sandrina.

"Permisi," perintah gadis dihadapannya.

Angga ikut menarik napas. Sungguh, ia tidak bercanda saat mengatakan Anggun bisa berubah menjadi 'Medusa in a bad version'.

"San—," panggilnya lirih mulai putus asa.

"Ngga, tangan gue pegel ngetokin pintu lo. Tega amat lo sama gue."

"San, please," ucapnya sekali lagi sambil menggeser tubuh. Menghalangi Sandrina keluar dari kamarnya.

Gadis itu mendongak, menatapnya sinis. "Saya mau ambil sepatu saya, Pak. Nggak boleh juga," kata Sandrina. Terdengar begitu lelah.

"No. Biarkan saja," jawabnya.

Sandrina kembali menarik dan menghembuskan napasnya keras. "Kalau Bapak tidak ingin Bu Anggun salah paham, paling tidak pastikan Bapak sembunyiin sepatu saya," ucap gadis itu tak acuh.

"Angga ... Gue bisa denger suara lo dari sini. Yuhuu ..."

Sandrina menengok ke arahnya. "Udah kedengeran juga, Pak. Nunjukin muka sekalian, nggak akan ada bedanya. Ntar saya bantu jelasin ke Bu Anggun kenapa saya di sini. Gitu aja ya, Pak."

Angga menarik napas dalam. Mencoba tetap tenang. "Kamu percaya omongan dia?"

Tak ada sahutan.

"Listen, walaupun apart saya bukan apart kelas VIP atau Penthouse, tapi believe me, suara dari dalam tidak akan pernah terdengar ke luar. Kecuali kalau saya menyalakan musik sekencang concert's sound system. Okey."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Am I Seducing My Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang