Memori dua dekade yang lalu.
"Dimas," sapa sebuah suara.
Angga remaja mendongak dan menatap sosok anak lelaki seusianya yang tengah berdiri dengan tangan terulur ke arahnya.
Malu-malu ia menjabat tangan itu. "Angga," sapanya kikuk.
Dimas tak tersenyum, wajahnya datar tanpa ekspresi membuat Angga bingung sendiri bagaimana harus bersikap saat itu.
"Kita sebangku," ujar Dimas kemudian.
Angga kembali tersenyum sekedarnya. "Oh," sahutnya masih kikuk.
Ekor mata Angga mengikuti segala pergerakan Dimas. Saat teman sebangkunya itu sudah duduk di kursinya, Angga kembali menatap kosong papan tulis yang ada di depan. Masih jelas diingatan Angga kala itu, bagaimana suasana di kelas pertamanya saat di SMP. Benar-benar terasa begitu lama, efek dari dirinya yang sangat kesulitan membuka obrolan dengan Dimas.
Namun, kekakuan di antara keduanya tak berlangsung lama. Di awal mungkin Dimas terlihat sulit untuk didekati, tetapi lambat laun keduanya pun mulai saling mengenal dan berteman.
Singkat cerita. Dari Dimas, Angga akhirnya mendapatkan dua orang teman baru yang kemudian ketiganya ia sebut sebagai sahabat. Mereka adalah Dimas, Rian dan Radit. Di antara ketiga sahabat Angga ini, Radit lah yang paling tampan. Berkat wajahnya itu, tidak butuh waktu lama bagi Radit untuk menjadi salah satu cowok populer di SMP. Dimas dan Rian, mereka memiliki wajah yang cukup menarik juga, ketambahan keduanya aktif di OSIS. Dimas bahkan pernah menjadi ketua OSIS.
Sementara Angga sendiri?
Tidak, Angga tidak terlalu menyukai hal-hal yang terlalu aktif seperti itu. Maklum, saat Angga SMP, ia sangat gemuk. Bobotnya saat itu mencapai 98 kg dengan tinggi badan masih 148cm. Bisa kalian bayangkan bukan? Seberat apa Angga harus membawa tubuhnya sendiri kala itu.
Tak ubahnya lagu Tulus yang berjudul 'Gajah', Angga pun juga tak lepas dari segala macam bentuk body shamming. Apalagi kalau ia sedang jalan dengan ketiga temannya itu. Mesin ledekan pun seketika aktif. Dimulai dari teman-teman yang melihatnya dan juga orang sekitar mereka. Beruntungnya, sahabat-sahabat Angga tidak pernah melihatnya seperti itu, mereka tetap mau berteman dengannya. Mereka bahkan sesekali maju ke depan untuk membelanya dan Angga sangat menghargai itu semua ... hingga detik ini.
Seperti geng-geng kebanyakan yang selalu punya basecamp. Angga dan teman-temannya pun memiliki basecamp, rumah Dimas. Rumah itu sangat nyaman, ibu Dimas—Ratna—jago masak dan selalu mengsuply mereka dengan semua makanan enak dan cemilan yang banyak. Perut Angga dan teman-temannya selalu terjamin bila di rumah Dimas.
Biasanya, Angga dan teman-temannya akan menghabiskan waktu di kamar Dimas hingga sore hari. Dan ketika teman-teman Angga satu per satu memutuskan untuk pulang, Angga biasanya akan memilih untuk tetap tinggal di rumah Dimas sampai kedua orangtuanya datang menjemput sepulang dari kantor. Kebetulan, rumah Angga dan Dimas berada di kompleks perumahan yang sama dan kedua orangtua mereka pun saling mengenal karenanya.
Dulu Angga pernah ditanya oleh ibunya tentang apa yang membuatnya begitu betah berlama-lama di rumah Dimas. Jawaban Angga kala itu simpel saja karena masakan ibu Dimas enak.
Namun, itu bukan alasan yang sebenarnya. Mungkin benar bila Angga mengatakan masakan Ratna enak, karena tiap kali makan di rumah Dimas, Angga selalu mampu menghabiskan dua piring nasi sendirian. Namun selain itu, ada alasan lain yang membuat Angga betah di rumah Dimas. Siapa lagi kalau bukan Sandrina. Gadis kecil, mungil dan ceria itu selalu saja memberikan hiburan sendiri bagi Angga yang merupakan anak tunggal.
Ia selalu merasa kesepian bila sudah berada di rumahnya sendiri sementara di rumah Dimas, ia selalu menemukan kehangatan. Rumah Dimas selalu ramai oleh suara Ratna, Dimas dan juga Sandrina kecil yang saling bersautan. Sangat berbeda dengan suasana rumahnya yang selalu terasa sepi dan kosong. Sandrina kecil selalu berlarian ke sana-ke mari. Dimas juga sering sekali mengganggu adiknya itu hingga membuat Sandrina berteriak kencang atau bahkan sampai menangis keras. Dari situ Angga selalu menjadi tempat mengadu Sandrina tiap kali dia dikerjai oleh Dimas—kakaknya—dan Angga menyukai itu. Ia merasa seperti memiliki adik untuk dijaga.
Angga bahkan sempat marah dan menangis kecewa pada kedua orangtuanya saat mereka memutuskan untuk pindah rumah. Karena itu artinya, ia tidak bisa lagi bermain bebas di rumah Dimas sepulang sekolah. Ia tidak suka ketika ia tidak lagi bisa makan makanan enak yang disajikan oleh Ratna. Angga juga tidak suka ketika ia tidak bisa lagi bertemu dan bermain dengan Sandrina kecil.
Untungnya sekalipun Angga pindah rumah, pertemanannya dengan Dimas, Radit dan Rian masih terjalin dan bertahan lama. Mereka masih berteman akrab bahkan ketika keempatnya sudah berpisah SMP dan sudah mulai jarang berkumpul.
Terkait dengan Sandrina sendiri. Jujur saja. Saat itu, tak pernah terbesit sedikit pun di pikiran Angga tentang Sandrina. Ia bahkan tidak pernah melihat adik sahabatnya itu sebagai seorang perempuan. Sandrina sudah seperti adiknya sendiri. Bahkan ketika ia kembali bertemu dengan Sandrina untuk pertama kalinya sejak hampir lima tahun tidak berkunjung ke rumah Dimas Angga. Pandangan Angga tentang Sandrina masih tetap sama. Hanya sebatas adik temannya saja.
Angga tidak ingat mulanya kapan. Ia juga tidak yakin dari mana perasaan itu muncul atau bagaimana perasaan itu kemudian berkembang. Ia benar-benar tidak bisa mengingatnya. Yang jelas Angga ingat, ia sempat menolak mengakui perasaannya terhadap Sandrina saat itu. Karena bagaimana ya? Saat itu Sandrina masih SMP, jadi otaknya jelas menyangkal terang-terangan hatinya yang tertarik pada Sandrina.
Hingga kemudian, sebuah peristiwa hebat terjadi dan meluluhlantakkan dunia Angga. Peristiwa nahas yang membuatnya mendadak menjadi anak yatim-piatu. Kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil beruntun di sebuah jalan toll dan menyisakan dirinya seorang yang selamat. Di tengah rasa syok tersebut, Om dan Tantenya menawarkan diri untuk membawanya dan merawatnya di Singapura. Saat itu, tidak ada pilihan lain baginya selain ikut pindah ke Singapura bersama dengan Liam dan Reyna. Mereka adalah satu-satunya keluarga dekat yang dianggap mampu merawat dan membesarkannya.
Mungkin saat itukah? Saat ketika otaknya tersadar bahwa ia tidak akan pernah bisa bertemu dengan teman-temannya lagi dan juga Sandrina. Ya, mungkin saat itulah, untuk pertama kalinya Angga akhirnya berani mengakui perasaannya yang sebenarnya. Bahwa ia tertarik dan menyukai adik sahabatnya sendiri.
Dan gadis itu, saat ini tengah berdiri menatapnya di ujung pintu ruang kantornya. Ya, dia lah cinta pertamanya. Gadis pertama yang pernah ia cium setelah ibunya.
Angga tersenyum kecil menatap Sandrina. "Ada yang bisa saya bantu, San?" tanyanya tenang.
Sandrina menarik napas pelan. "Saya ingat siapa Bapak."
Angga tersenyum sambil menelengkan kepalanya sementara Sandrina melangkah masuk ke ruangannya.
"Saya ingat siapa Bapak," ujar Sandrina lagi.
Yang mau baca cepet di KK udah sampe bab 18 ya
1x up di KK langsung 3 bab soalnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Seducing My Boss?
RomanceMeet Sandrina's boss dear readers.. Anggara Asta Maheswara. Manajer yang selalu melihat Sandrina dengan mata nafsu. Yah, tidak berlebihan bila Sandrina mengatakannya demikian. Bagaimana tidak? Setiap ada kesempatan, setiap ada celah pak Angga akan m...