"Ini gimana? Bagus nggak?"
Angga menatap sebuah sofa berwarna coklat yang ditunjuk Anggun. "Bagus." jawabnya singkat.
Anggun tersenyum lalu berjalan mendahului Angga, kaki wanita itu bergerak lincah ke sana-ke mari, melihat-lihat pilihan sofa lain yang tersedia. Saking bersemangatnya Anggun, kelihatannya wanita itu bahkan tidak menyadari fakta bahwa Angga sudah ingin segera mengakhiri sesi berbelanja ini. Sekarang hari Minggu, seharusnya ia berbaring nyaman di sofa apartemennya ditemani secangkir kopi dan menonton pertandingan ulang sepak bola yang belum sempat ia tonton sebelumnya. Bukannya di sini, terjebak bersama Anggun yang sudah seperti kaset rusak mengulang-ngulang kalimat yang sama tentang betapa bersemangatnya dia bisa pindah ke kompleks apartemen yang sama dengannya.
"Angga, kalo yang ini?" tanya Anggun sembari menunjuk sofa lain yang lebih simple dari sebelumnya.
Angga menengok lalu kembali merespon dengan jawaban yang sama. "Bagus."
"Bagusan mana sama yang ini?" tunjuk Anggun kali ini pada sofa lain dengan model yang sama hanya warnanya saja yang berbeda.
Angga kembali mengangguk sekedarnya. "Bagus juga."
Anggun menghentikan langkahnya. Kelihatannya dia menyadari sikap ogah-ogahan Angga. Anggun kemudian berbalik dan melemparkan tatapan kesal ke arahnya. Bibir wanita itu mengerucut, bersiap untuk menyemburnya dengan seribu omelan. Beruntungnya, tepat saat Anggun sudah bersiap membuka mulut, sapaan seorang pegawai wanita terdengar jelas dari arah belakang punggung Angga.
"Bapak-Ibu, sedang mencari sofa?" tanya pramuniaga bernama Sinta itu.
Anggun langsung mengangguk dengan semangat sementara Sinta bersikap profesional dengan memberikan senyuman ramah padanya dan juga Anggun. "Suka model yang bagaimana, Bu?"
"Ehm ... saya suka yg simpel tapi elegan," jawab Anggun.
Detik berikutnya Anggun sudah lupa sepenuhnya akan sikap menyebalkan Angga. Wanita itu mulai sibuk mendeskripsikan interior ruangan apartemennya dan model sofa seperti yang diinginkannya. Sinta dengan sabar medengarkan semua penjelasan Anggun sembari sesekali merekomendasikan sofa yang ada di toko. Ketika pilihan sofa tersebut tak cocok dengan selera Anggun, dia akan kembali meminta rekomendasi sofa lainnya pada Sinta dan begitu seterusnya.
Angga membuang wajah sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat untuk menahan kuap yang mulai datang menyerang. Ia melirik jam tangannya, sudah hampir dua jam ia terjebak di sini, menemani Anggun yang tak kunjung selesai memilih. Sekali lagi Angga menahan kuapannya dan tepat saat itu, hapenya terasa bergetar. Dilihatnya nama yang tertera di layar hape. Rian.
"Hal-"
"Itu Sandrina?"
Angga auto celinguk kanan-kiri mencari keberadaan sahabat gembulnya itu.
"Gila, Bro. Oke juga. Tapi mukanya banyak berubah ya?"
"Di mana lo?" tanya Angga.
Ekor matanya menangkap gerakan tangan tak beraturan dari arah sebelah kirinya. Angga menengok dan menemukan Rian yang tengah melambaikan tangan dengan heboh. Berdiri di samping temannya itu ada Nia, istri Rian yang juga tengah melambaikan tangan tak kalah semangat ke arahnya.
"Ngga?" Sebuah panggilan lembut dari arah belakang, membuat Angga mengalihkan pandangannya. Anggun tersenyum kecil menatapnya.
"Kenapa?" tanyanya.
"Kamu suka nggak sama yang ini?" tanya Anggun sambil menyodorkan pamflet berisi gambar jenis-jenis sofa yang ada.
Angga mengerutkan dahi kala mendengar Anggun yang 'Ber aku-kamu' dengannya secara tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Seducing My Boss?
RomanceMeet Sandrina's boss dear readers.. Anggara Asta Maheswara. Manajer yang selalu melihat Sandrina dengan mata nafsu. Yah, tidak berlebihan bila Sandrina mengatakannya demikian. Bagaimana tidak? Setiap ada kesempatan, setiap ada celah pak Angga akan m...