EMPAT BELAS

80.3K 5.5K 115
                                    

Sandrina menatap lurus pria yang tengah duduk angkuh di kursinya itu. "Saya ingat siapa Bapak," kata Sandrina.

Sosok Angga yang dulu dengan sekarang benar-benar jauh berbeda. Wajar, bila ia tidak bisa langsung mengenali pria itu. Dan kalau mau jujur, sebenarnya ia sendiri masih tidak percaya saat mengetahui manajernya di kantor ini ternyata adalah Angga yang sama. Sahabat dari Dimas—kakaknya—sekaligus juga pria yang pernah mencuri first kiss-nya.

Wajah Sandrina memanas saat mengingat kejadian yang sudah lama berlalu itu. Ia masih mengingat jelas bagaimana dulu dirinya begitu marah saat Angga mengecup bibirnya begitu saja tanpa seijinnya. Tetapi melihat Angga dalam versi yang sekarang ... malah membuat jantungnya berdegup kencang.

Sandrina mengerjapkan mata sekali-dua kali saat Angga tak memberikan respon apapun. Khawatir atasannya itu tidak mendengar jelas ucapannya, Sandrina pun melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu, masuk ke dalam ruangan Angga.

"Saya ... tau siapa Bapak," ulangnya.

Dilihatnya sang atasan yang tersenyum miring menatap ke arahnya. "Duduk, San," ucap Angga lalu kembali memusatkan perhatian pada layar komputer.

Apa ini? Kenapa dia tenang-tenang aja? batin Sandrina bingung akan sikap sang atasan yang tampak santai-santai saja. Seolah dia memang sudah menantikan identitasnya terbuka.

"Saya tidak akan menyerang kamu tanpa aba-aba lagi. Jadi jangan takut dan silakan duduk," ucap sang atasan lagi saat dirinya tak kunjung duduk.

Ia tak menyahut apapun dan hanya menarik kursi yang ada di hadapan atasannya itu. Matanya menatap Angga lekat-lekat. Dia jelas ... berubah. Berubah banget! Oplas? Sedot lemak? batinnya yang masih menolak percaya perubahan Angga yang begitu shining, shimmering, splendid.

"Yang lain sudah pada pulang?" tanya Angga memecah keheningan ruangan. Ia mengangguk pelan. "Kenapa kamu tidak pulang?" tanya Angga sambil menatapnya sekilas. 

Sandrina mengerutkan keningnya kala respon Angga tak seperti yang ia harapkan. Dia tetap memasang muka dan ekspresi datar seperti biasanya. Membosankan.

"Saya. Bilang ... Saya. Ingat. Siapa. Bapak," ulangnya penuh penekanan.

"Kamu nunggu kantor sepi cuma buat bilang itu?" tanya Angga. Nada jahil terdengar jelas di sana. Ia sengaja diam tak menjawab.

"Kamu sudah makan malam, San?" tanya Angga lagi.

Sandrina menggeleng. "Belum."

"Good. Let's have a dinner."

Kerutan di dahinya, sepertinya terasa bertambah banyak saat mendengar Angga yang malah mengalihkan pembicaraan. Ia memang merasa lapar, tapi rasa itu berhasil ia kesampingkan. Perasaan gugupnya dalam mengungkap jati diri Angga jauh lebih penting dari rasa laparnya. Namun, semua rasa gugup yang ia rasakan terasa percuma kala mendapati sikap Angga yang biasa saja dalam menimpalinya.

"Bapak denger omongan saya nggak ya? Dari tadi saya bilang saya inget Bapak. Bapak nggak mau nanya soal itu?" tanyanya mulai gemas sendiri.

Suara dengkusan cukup keras terdengar dari arah Angga. Atasannya itu kemudian beralih menatapnya sambil tersenyum miring. "Saya suka melihat kamu mengharapkan sesuatu dari saya."

Ia merasakan panas mulai kembali menyerang wajahnya. Jantungnya berdegup kencang hanya karena satu kalimat itu. Ia benar-benar kalah telak dari atasannya ini.

"Saya kirim email ini dulu. Baru setelahnya kita makan sekalian saya antar kamu pulang," ujar Angga lagi.

"Apa itu perintah? Karna saya tidak mendengar kalimat tanya di sana," sindirnya memberanikan diri menantang Angga.

Am I Seducing My Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang