•••
Ramai suara musik terdengar, mengalun indah untuk mengisi malam. Di sebuah restoran yang bernama La Bosseade, di sanalah Mark bekerja untuk memenuhi kehidupannya. Sebenarnya, hanya sebuah keberuntungan Mark bisa diterima bekerja paruh waktu di sana. Menjadi pelayan pun tak masalah.
Jung Jaehyun, nama pemilik restoran tersebut. Seorang duda berusia 37 tahun dan mempunyai tiga anak kembar. Bosnya itu ramah kepada para pekerjanya, namun siap untuk bertindak tegas apabila diperlukan. Berpakaian mahal dari atas sampai bawah. Hidupnya bersahaja seperti itu.
Mark ingin sekali menjadi seperti Jung Jaehyun.
Sedari tadi Jung Jaehyun memperhatikan suasana restoran. Mark berusaha memasang topeng semangat. Mengambil pesanan, tersenyum, lalu mengantar pesanannya.
Padahal, Mark sebenarnya lelah.
Jika orang-orang mengira pekerjaan paruh waktu semudah yang ada di drama, Mark akan menertawakannya. Lucu sekali. Tidak bisakah orang-orang melihat bahwa Mark ingin pulang?
Sebenarnya, alasan terbesar Mark ingin pulang adalah, dia ingin menelepon Micha.
Sederhana, namun sulit dilakukan. Setiap kali mendengar suara Micha, darah Mark berdesir. Ingin mendengarnya lagi dan lagi.
Candu.
Ah, Mark Lee. Fokuslah sedikit. Lihat, dia hampir saja melupakan pesanan seseorang. Semua ini berkat Micha. Memikirkan Micha sering kali membuat Mark lupa diri.
Dasar tidak tahu diri, dewa bati Mark berkata.
Tetapi, Mark hanya manusia biasa.
Jadi tak salah kan,
jika dia menyukai seseorang?
Meskipun dia tak tahu, apakah perasaannya tersampaikan atau tidak.
Oh, sepertinya Mark mulai mengkhayal lagi. Pemuda manis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir wajah Micha yang tersenyum padanya. Kamu sudah gila sepertinya, Mark Lee.
Detik demi detik berlalu. Mark mendapati dirinya kelelahan setengah mati pada penghujung waktu kerjanya. Namun, siapa bilang dia tidak semangat untuk pulang? Mark paling semangat di waktu pulang.
Langkahnya ringan, berjalan menyusuri trotoar. Tak peduli suara kendaraan saling bersahut-sahutan. Hiruk-pikuk di malam hari dia abaikan sepenuhnya. Semuanya, sekali lagi, adalah karena Micha.
Terlalu cepatkah perasaannya?
Mark rasa tidak. Lagipula, dia hanya ingin menunjukkan apa yang dia rasa. Meletakkan hati di atas telapak tangannya. Menunggu Micha untuk mengambilnya. Menukarnya dengan hati Micha. Sesederhana itu inginnya.
Langit malam terlihat cantik hari ini. Mengingatkan Mark pada manik mata Micha. Memuat seluruh galaksi di dalamnya. Membuat Mark melayang di antara bintang-bintang.
Tanpa terasa, Mark tiba di flatnya. Tidak besar, namun nyaman. Dan Mark tak perlu tempat yang terlalu besar.
Mendudukkan diri di kasur, Mark langsung meraih ponselnya. Menyusuri deretan nama di kontaknya, mencari nama Micha di sana.
"Oke, Mark, kamu bisa melakukannya," katanya menyemangati diri sendiri.
Butuh paksaan yang sangat kuat agar Mark bisa menekan tombol telepon. Namun, sedari tadi jarinya tak bisa bergerak. Kaku. Napasnya tertahan. Astaga, sesulit itu.
Mark mengerang frustrasi. "Tidak, aku tidak bisa!"
Jangan hiraukan Mark Lee. Dia sudah gila.
"Oke, ayo coba lagi."
Sekali lagi, dan gagal. Mark benar-benar terlihat bodoh. Dia berteriak frustrasi, lalu berguling di kasurnya. Memaki diri sendiri.
Mungkin tak ada orang yang sebodoh Mark Lee.
"Ya Tuhan, memalukan sekali," gumamnya dengan nanar. Miris dengan diri sendiri. Menatap layar ponsel dengan wajah cemberutnya.
Mark kemudian bangkit dan melakukan pemanasan. Meregangkan otot-otot tangannya.
"Aku bisa, aku bisa ... "
Sebelum Mark bisa menyadarinya, dia sudah menekan tombol telepon itu.
"ASTAGA AKU MELAKUKANNYA!"
Tak ada jalan kembali lagi. Mark sudah melakukannya. Dia sudah menelepon Micha.
Di dering ke tiga, Micha mengangkat teleponnya.
"Halo?" tanyanya. "Ini siapa?"
Mark, kenapa kamu malah gemetaran? Mark Lee, pengecut sekali. Mark mendapati lidahnya kelu. Matanya terpaku pada layar ponselnya.
"Halo?" Suara Micha terdengar lagi. "Kenapa diam saja? Ini siapa?"
Ayolah, Mark. Beranilah sedikit. Mark ini, bodoh atau bagaimana?
"Halo?" tanya Micha sekali lagi. "Kalau tidak bicara, akan kututup ya."
"T--"
Namun terlambat, Micha sudah mematikan teleponnya.
Mark ingin menangis rasanya.
"TIDAAAK!"
Mark kembali berguling-guling di kasur, menyesali kebodohannya yang tak menyahut suara Micha. Bodoh, bodoh, bodoh. Mungkin dia harus mengganti namanya menjadi Mark Lee Bodoh.
Tanpa sepengetahuan Mark, di seberang sana, Micha berdebar-debar.
Dia hanya berpura-pura tak kenal dengan nomor itu. Padahal, jelas sekali nama Mark terpampang di layarnya. Jantung Micha hampir meledak karenanya.
Di mana Micha mendapatkan nomor telepon Mark? Tentu saja dari Lucas. Micha harus menelan dalam-dalam rasa malunya ketika meminta nomor telepon Mark.
Ah, lucu sekali Mark dan Micha ini.
•••
kasih review dikit dong hehe, makasih❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love We Had ▪ Mark Lee✔
FanfictionTeruntuk kamu, Seseorang yang pernah melengkapi hidupku. Seseorang yang menerbangkanku setinggi angkasa, kemudian menjatuhkanku hingga remuk redam. Seseorang yang kukira sungguh, namun ternyata hanya singgah. Jika kutahu kita akan berakhir, seharusn...