8. Terimakasih, Mark Lee

1.9K 342 48
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

  Micha tahu, biar bagaimanapun, Mark tidak bisa mengubah hidupnya secara keseluruhan.

  Sebenarnya, tak ada seorang pun yang bisa mengubah hidup Micha, bahkan dirinya sendiri. Sudah terlalu banyak hal yang Micha lalui, meski di usia semuda itu. Bisa mendapat beasiswa untuk kuliah saja rasanya adalah sebuah kemewahan yang tak pantas didapat.

  Bukannya Micha mengeluh. Tuhan tahu, Micha tak pernah mengeluh. Micha tidak menangis.

  Dia hanya ... lelah.

  Jiwanya lelah. Hilang arah. Terjebak dalam keseharian yang membuatnya harus terus tersenyum. Menyembunyikan fakta bahwa dirinya tak seceria yang orang lihat.

  Micha merasa tersesat. Tempat ini rasanya seperti pulau yang tak berpenghuni dan dia ditinggalkan sendirian. Tak peduli seberapa kuat dia berlari. Micha selalu berakhir di tempat yang sama.

  Dan Micha tahu bahwa angin tak dapat ditangkap. Asap tak dapat digenggam. Akan ada orang yang menyadari bahwa Micha tak bahagia.

  Micha hanya berharap, bahwa orang tersebut adalah Mark Lee.

  Micha akui, Mark memang membawa sedikit perubahan pada hidup Micha. Meski tak banyak. Namun, seharusnya Micha bersyukur, kan? Dengan adanya Mark, setidaknya Micha bisa tersenyum lebih tulus.

  Sayangnya, Micha serakah.

  Ada sesuatu dalam diri Mark. Sesuatu yang menariknya secara sukarela. Micha ingin, Mark membawanya pergi dari pulau tak berpenghuni ini. Membawa Micha keluar dari kekosongan ini.

  Hati Micha hampa. Namun, mengapa rasanya sesak?

  Ah, lihat. Micha mulai mengasihani dirinya sendiri.

  Entah apa rencana Tuhan di atas sana untuk mengirim Mark kepada Micha saat ini.

  Ponselnya berdering. Nama Mark terpampang di layar. Setelah menunggu beberapa detik, Micha memutuskan untuk mengangkatnya.

  "Halo?" kata Micha.

  "H-halo ... "

  Sebuah senyum lemah tersungging di bibir Micha. "Dari suaramu, sepertinya kamu Mark. Benar, tidak?"

  Di seberang sana, Mark tertawa. Micha bisa membayangkan bagaimana kikuknya Mark saat ini. Hal itu membuat senyumnya melebar.

  "I-iya," jawab Mark. "Maaf ya meneleponmu semalam ini."

  "Tidak apa-apa," sahut Micha. "Sepertinya memang kamu ya yang meneleponku kemarin? Nomornya masih sama."

  Micha yakin, Mark semakin kikuk di sana.

  "Kamu cenayang, ya?" tanya Mark, berusaha menutupi rasa malunya.

  Mark ini, mengapa menggemaskan sekali?

  Sebuah kekehan kecil lolos dari bibir Micha. "Mudah kok menebaknya," kata Micha. "Ada apa kamu meneleponku, Mark?"

  "Eh ... aku sebenarnya tidak bisa tidur," jawab Mark. Micha melirik jam dinding. Pukul dua belas malam.

  "Aku juga sama," kata Micha dengan jujur.

  "Mengapa?" tanya Mark.

  Micha terlihat ragu sebentar. Kemudian, gadis itu menjawab, "aku sering terkena insomnia."

  "Oh ... " Mark menggantungkan ucapannya. "Itu tidak baik, kamu tahu?"

  "Aku tahu."

  "Mungkin aku bisa membuatmu tidur," kata Mark. "Aku kan membosankan. Jadi, kamu pasti mengantuk kalau berbicara denganku."

  Entah mengapa, Micha tersenyum. "Harus berapa kali kubilang kalau kamu tidak membosankan? Dan ya, aku nyaman denganmu, Mark. Jadi, jangan berkecil hati seperti itu."

  Di seberang sana, Mark ikut tersenyum. "Baiklah, aku tidak akan mengatakan hal seperti itu lagi."

  "Bagus."

  "Kamu tahu, aku tadi sudah mencoba menghitung domba-domba, seperti yang disarankan di film ketika seseorang tidak bisa tidur," kata Mark. Pembicaraannya acak sekali. Namun, Micha tak protes.

  "Lalu?"

  "Lalu seekor nyamuk hinggap di hidungku," jawab Mark. "Aku jadi tidak fokus dan lupa dengan hitunganku. Aku yang tadinya sudah mengantuk malah terjaga kembali."

  Micha tertawa kecil. Ya Tuhan, betapa lucunya seorang Mark Lee ini.

  "Kamu ada-ada saja, Mark," komentar Micha.

  Di sana, Mark ikut tertawa. "Aku serius, Micha. Sampai sekarang aku masih kesal dengan nyamuk itu."

  "Bagaimana keadaan nyamuknya?" tanya Micha.

  "Sudah tewas, dong," jawab Mark dengan bangga. "Siapa suruh menggangguku dan domba-dombaku."

  Kali itu, Micha tertawa lebih keras. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Di malam-malam terdahulu, Micha hanya akan memandangi langit-langit kamarnya. Tanpa melakukan sesuatu. Dengan hati yang hampa.

  Micha akui, perasaannya menjadi lebih baik.

  Micha tidak tahu saja di seberang sana, ada orang yang jantungan setelah mendengar suara tawanya. Jantung Mark hampir meledak. Suara tawa itu terdengar begitu merdu di malam yang gelap ini.

  "Daripada menghitung domba, lebih baik kamu menghitung bintang saja di atas sana," kata Micha.

  "Tapi kan mereka banyak sekali," sahut Mark.

  "Tapi kamu pasti akan lelah mengitungnya, lalu mengantuk," kata Micha. "Bintang terlihat lebih indah."

  Segera saja, Mark bangkit dan membuka tirai kamarnya. Dari jendela, Mark bisa melihat langit malam. Mark pun berbaring di kasurnya sambil mulai menghitung bintang.

  "Satu, dua, tiga ... "

  Micha mendengarkan Mark yang sedang berhitung itu. Pada hitungan ke empat puluh, Mark berhenti. Lalu, terdengar suara napas yang tenang di seberang sana.

  Micha tersenyum lembut. Mark pasti sudah tertidur.

  "Terimakasih, Mark," bisik Micha. "Selamat tidur, semoga kamu bermimpi indah."

  Micha pun memutus sambungan teleponnya, lalu membaringkan diri di kasur. Menatap langit yang sama di atas sana.

  Untuk Mark Lee yang berada di seberang sana, terimakasih. Semoga kamu selalu berbahagia. Karena kamu sudah membawa kebahagiaan untuk orang lain.

•••

aku gemes sama mark lee :(

The Love We Had ▪ Mark Lee✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang