11. Dinyatakan Jatuh Cinta

1.6K 293 21
                                    

  Sekeras apapun Mark mencoba menggunakan akal sehat, pada akhirnya, hatinya akan mengambil alih. Membutakan Mark. Membodohi Mark. Pada dasarnya, pemuda itu tahu.

  Namun, Mark tidak peduli.

  Mark selalu mengedepankan logikanya. Namun entah mengapa, dengan mudahnya Micha menghempas seluruh kewarasannya. Membuat hati Mark mengambil alih. Menyentak Mark dari akal sehatnya sendiri.

  Salahkah jika jantungnya berdebar keras ketika ada Micha? Salahkah jika dia ingin membuat Micha tertawa? Salahkah jika dia menatap Micha dengan binar memuja?

  Salahkah ... jika dia menyukai Micha?

  Selama dua bulan mengenal Micha lebih jauh, Mark mendapati dirinya tenggelam dalam pesona Micha. Hati bodohnya terus saja menginginkan Micha. Mark sampai frustrasi dibuatnya.

  Di sampingnya, Micha berjalan dengan pandangan ke depan. Langit malam memayungi mereka. Hiruk-pikuk malam menemani langkah mereka sepulang dari kerja.

  "Aku tidak tahu ternyata menjadi mahasiswa Pendidikan Biologi selelah ini," celetuk Mark.

  Micha menoleh. "Semua jurusan pun sama lelahnya. Tapi, kita memang ekstra lelah karena harus bekerja."

  "Tapi laporannya banyak sekali!" Mark merengek. Bibirnya mengerucut lucu, tanpa dia sadari.

  Micha tersenyum diam-diam.

  "Alasanmu memilih jurusan Pendidikan Biologi karena apa?" tanya Micha.

  "Aku penasaran dengan seluruh hal di dunia ini," jawab Mark. "Contohnya, apa yang menyebabkan jantungmu berdetak begitu cepat ketika terkejut. Atau ketika kamu bersama dengan orang kamu suka. Lalu, aku juga ingin membagikan ilmu yang kudapat kepada orang lain.

  Kali itu, Micha tersenyum lembut.

  "Kamu penasaran mengapa jantung kita berdetak cepat ketika bersama orang yang kita suka?" ulang Micha. "Berarti, kamu pernah mengalaminya?"

  Mark mulai bertingkah kikuk lagi. Gemas sekali Micha dibuatnya. Telinga pemuda itu akan memerah setiap kali malu.

  "T-tentu saja."

  Micha menghentikan langkahnya. Dia menatap Mark lekat-lekat, membuat Mark tak dapat berkutik. Terkunci di penjara imajiner dalam mata gadis itu.

  "Kapan?"

  Mark mendadak bingung. "Apanya?"

  "Kapan jantungmu berdetak kencang seperti yang kamu bilang sebelumnya?"

  Oh Tuhan, Mark tidak siap dengan pertanyaan ini.

  "K-kapan ... ya?" jawabnya kikuk.

  Jika Micha tidak menjauh sekarang juga, mungkin Mark akan mencium gadis itu dan menyesali keputusan itu.

  Nyatanya, Micha tak bergerak sedikitpun.

  Mark memperhatikan bibir Micha dengam gugup. Ya Tuhan, tolong Mark. Di bawah sinar rembulan, Micha terlihat berkali-kali lipat lebih cantik.

  Lalu, semakin dekat. Hingga Mark lupa cara bernapas.

  "Kapan, Mark?" tanya Micha lagi. Matanya mencoba menelisik jauh ke dalam hati Mark. Melalui mata pemuda itu, Micha ingin mengetahuinya.

  "S-sekarang ... " jawab Mark tanpa sadar.

  Lalu, menjauh.

  Mark tak tahu apakah dia harus kecewa atau bersyukur ketika Micha melangkah mundur. Mark merutuki kebodohannya yang baru saja keceplosan. Dia kira, Micha akan pergi menjauhinya karena menganggap Mark aneh. Namun, Micha malah tersenyum.

  "Aku juga," kata Micha.

  "Hah?"

  Ketika Micha tertawa, rasanya seluruh dunia mengabur. Hanya menyisakan sosok Micha yang berdiri di depannya. Micha menertawakannya. Namun entah mengapa, Mark tidak merasa marah.

  "Lupakan," kata Micha sambil mengerling jahil. Kemudian, gadis itu malah melenggang pergi.

  "Michaaaaa!" rengek Mark. Pemuda itu berlari kecil untuk menyusul Micha. Mark cemberut, berusaha membujuk Micha untuk mengulangi perkataannya.

  "Kamu tadi bilang apaaaa?"

  Micha malah tertawa sambil menggeleng-geleng. "Tidak ada."

  "Michaaaaaaa ... "

  "Tidaaaaaak ... "

  Dan Micha pun berlari sambil tertawa. Mark segera mengejarnya. Setibanya mereka di taman, Mark dapat menangkap tubuh Micha. Gadis itu memekik, kemudian tertawa lagi. Tanpa sadar, Mark memeluk gadis itu agar tidak ke mana-mana.

  "Lepaskan!"

  "Tidak akan," kata Mark. "Ayo ulangi, kamu tadi bilang apa?"

  Micha menatap Mark dengan binar polos. Pura-pura polos, lebih tepatnya. Micha menelengkan kepalanya seperti anak kecil. "Aku tadi bilang apa?"

  Ya Tuhan, Micha bisa membuat Mark gila jika begini.

  Mark memonyongkan bibirnya dengan lucu tanpa sadar. "Yang tadi itu, loh! Katamu tadi, kamu juga. Artinya apa?"

  "Menurutmu artinya apa?" Micha bertanya balik.

  "Aku kan tidak tahu, makanya bertanya," kata Mark.

  Sekali lagi, Micha tertawa. Mark bersumpah, tawa Micha adalah hal favoritnya di dunia ini.

  "Artinya, tadi juga jantungku berdebar-debar," jawab Micha pada akhirnya. "Sama seperti sekarang."

  Barulah Mark menyadari bahwa posisinya sekarang sedang memeluk Micha. Mark terlihat linglung. Dia kemudian melepaskan pelukannya.

  "Astaga, maafkan aku," kata Mark dengan panik. "Maaf karena lancang memelukmu."

  Micha tersenyum kecil, kecewa karena Mark melepaskan pelukannya. "Tidak apa-apa."

  Mark pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Mengapa kamu berlari ke taman?" tanya Mark.

  "Aku belum ingin pulang," jawab Micha.

  "Tidak lelah?"

  Micha sedang bersama Mark, mengapa dia harus merasa lelah?

  "Tidak, Mark," jawab Micha lagi. "Tapi kalau kamu ingin pulang lebih dahulu, tidak apa-apa."

  Mark menggeleng. "Mana bisa aku meninggalkanmu sendirian di sini, Micha. Tidak, aku akan pulang kalau kamu pulang."

  Hati Micha menghangat setelah mendengarnya. Mark terlihat lelah, namun dia rela menemani Micha di sini.

  Mark duduk di atas rerumputan. Dia kemudian menarik tangan Micha dengan lembut agar gadis itu duduk di sampingnya. Mark menoleh ke samping dan menatap gadis itu.

  "Ternyata menyegarkan juga duduk di taman malam-malam seperti ini," kata Mark. "Apalagi kalau bersama seseorang."

  Angin malam membelai lembut wajah Micha. Beberapa helai rambut Micha berterbangan. Tanpa sadar, tangan Mark bergerak untuk merapikannya.

  Micha nyata menoleh.

  Sebuah senyum manis terulas di bibir Micha. "Kamu pemuda yang lembut, Mark."

  Tangan Mark bertengger di pundak Micha. Namun, gadis itu tak keberatan. Apalagi Mark masih menatapnya. Bintang-bintang berkelap-kelip di atas sana. Rembulan menyaksikan kedua insan itu dengan penuh minat.

  "Dan kamu sangat cantik, Micha."

  Di hari Sabtu itu, pada pukul sebelas malam, di bawah langit kelabu dan disaksikan oleh bintang-bintang, Mark dinyatakan jatuh cinta.

•••

gatau lagi, entah ini bagus atau nggak

The Love We Had ▪ Mark Lee✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang