10. Berkamuflase

1.5K 293 18
                                    

  Mark Lee yang sudah gila itu sepertinya akan bertambah gila.

  Sebenarnya, sedari tadi awan-awan di atas Mark sedang menertawakan tingkah pemuda itu. Manis, namun bodoh.

  Hei, tetapi siapa juga yang tidak akan gugup jika akan bertemu dengan gadis cantik? Di rumahnya, pula. Lengkap sudah alasan Mark untuk bertambah gila.

  Karena itulah, sedari tadi Mark berdiri mematung di depan gedung flat milik Micha. Hanya berdiri sambil menatap gedung tersebut. Benar-benar terlihat bodoh.

  Mark Lee ini, kapan cerdasnya?

  Mark menghirup napas dalam-dalam. Oke, dia bisa melakukan ini. Dia hanya perlu masuk, lalu naik menuju kamar Micha.

  Baru satu langkah, Mark sudah ingin berbalik.

  Mark berdiri mematung. Bukan, dia bukannya melihat penampakan. Eh, dia memang melihat penampakan, sih.

  Penampakan gadis cantik, maksud Mark.

  Senyum gadis itu merekah. Mark serasa sehabis diguyur air es di hari yang panas. Segar sekali senyum Micha. Membuat Mark berdebar tak karuan.

  Dan tentu saja, Mark bertingkah kikuk lagi.

  Senyum tersebut berubah menjadi kekehan ketika Micha melihat Mark menggaruk tengkuknya dan hampir tersandung.

  "Hati-hati, Mark," kata Micha, dengan senyum yang tak pudar. "Kalau kamu terjatuh di sini, sangat memalukan, lho."

  "Sepertinya akan selamanya aku bertingkah memalukan," sahut Mark.

  Kali itu, Micha tersenyum lembut. "Lucu," katanya.

  Duh, hati Mark jadi tak karuan.

  "Mengapa kamu dari tadi hanya berdiri di situ?" tanya Micha. "Tidak mau masuk?"

  "Eh ... aku lupa nomor kamarmu."

  Kebohongan yang bagus, Mark. Sekarang kamu malah terlihat lebih bodoh.

  "Oh, harusnya kamu bilang," kata Micha. "Sebentar, aku ingin membuang sampah dulu."

  Mark memerhatikan Micha berjalan menuju bak sampah besar. Lalu, Micha kembali menghampiri Mark.

  "Ayo," kata Micha.

  Micha dan Mark pun berjalan beriringan, sama tak karuan hati mereka. Jangan kira Micha tidak gugup. Dia sangat amat gugup. Bahkan, jantungnya terasa ingin meledak. Namun, Micha berlagak seolah tak apa-apa.

  Micha memang hebat dalam berpura-pura.

  Semakin dekat dengan kamar Micha, semakin guguplah mereka. Detak jantung saling bersahut-sahutan, teredam oleh derap kaki yang sengaja dikeraskan agar tidak saling mendengar sekacau apa detak jantung masing-masing. Sudah dibilang kan, Mark dan Micha ini lucu.

  Di depan pintu bernomor 200, Micha berhenti. "Eh ... aku akan mengambil barang yang diperlukan untuk mengerjakan tugas," kata Micha. "Kita kerjakan di rooftop saja, ya?"

  Mark tidak tahu apakah dia harus bersyukur atau kecewa.

  Perlahan, Mark mengangguk. "Baiklah."

  Namun, Micha tetap mempersilakan Mark untuk masuk sebentar. Kamar Micha tidak terlalu luas. Semua barang tertata rapi. Dekorasi kamar yang sederhana namun cantik, dengan cat dinding berwarna biru muda. Kamarnya terlihat ceria.

  Mark tidak tahu saja bahwa Micha mati-matian merapikan kamarnya supaya tidak terlihat memalukan.

  "Kamarmu cantik," celetuk Mark tanpa berpikir, membuat Micha menoleh.

  "Terimakasih."

  "Kamu suka warna biru muda, ya?" tanya Mark.

  "Tidak, aku suka warna biru tua," jawab Micha.

  "Kenapa kamarmu dicat warna biru muda?"

  "Supaya dia terlihat ceria." Tidak seperti pemiliknya.

  Mark tidak melihat saja bahwa sebenarnya ada retakan kecil di sudut ruangan, menunjukkan bahwa warna kamar itu sebenarnya adalah biru tua yang kelam.

  Dia hanya berkamuflase.

  "Ayo kita ke rooftop," ajak Micha. Mereka berdua keluar dari kamar Micha, lalu berjalan bersama menuju rooftop.

  Angin sore menyambut mereka setibanya di rooftop. Pemandangan dari atas sana terlihat lebih indah. Mark bisa melihat seisi kota dari sudut pandang yang berbeda.

  Pada akhirnya, Micha dan Mark duduk di sebuah meja kayu yang rendah dan besar. Mark menyandarkan punggungnya di tembok pembatas rooftop. Menutup kedua matanya, menikmati angin yang bertiup lembut di wajahnya.

  "Kamu sering ke atas sini?" tanya Mark.

  "Jika aku sedang sedih, aku akan ke sini," jawab Micha. "Kamu lihat taman kecil di bawah itu?"

  Micha menunjuk sebuah taman kecil di depan flatnya. Mark mengikuti arah pandangan Micha.

  "Aku paling suka memandang ke arah sana," kata Micha. "Cantik, kan?"

  Jelas lebih cantik kamu, batin Mark. Namun, dia tak berani mengatakannya keras-keras.

  Jadi, Mark hanya mengangguk.

  "Sembari menunggu Aera dan Yohan, bagaimana kalau kamu bercerita?" usul Mark.

  "Bercerita apa?"

  "Tentangmu." Mark tersenyum kikuk. "Aku ... ingin tahu lebih banyak tentangmu."

  Ada sesuatu dalam mata Mark yang membuat Micha takkan bisa menolak permintaannya. Sesuatu yang menarik Micha semakin dekat. Semakin dalam. Sampai Micha tenggelam.

  "Aku suka menggambar," kata Micha.

  Mata Mark berbinar-binar mendengarnya. "Benarkah? Aku ingin melihat hasil karyamu."

  "Nanti akan kutunjukkan," kata Micha.

  "Kamu bisa menggambar manusia?" tanya Mark.

  "Bisa."

  "Kamu bisa menggambar diriku?"

  Micha terdiam mendengarnya. Sementara Mark menatap Micha dengan penuh harap. Hingga tanpa sadar, Micha mengangguk.

  Senyum Mark merekah, seperti bunga-bunga di musim semi. Wajah itu terlihat berseri-seri. Mark terlihat senang.

  "Kamu luar biasa, Micha," puji Mark dengan tulus.

  Rona merah tercetak jelas di pipi Micha, membuat gadis itu menundukkan kepalanya. Dan Mark terkekeh kecil.

  Diraihnya dagu Micha, membuat gadis itu menatap Mark. Ketika pemuda itu tersenyum, Micha menahan napasnya.

  "Kamu keberatan jika aku ingin mengenalmu jauh lebih dalam?"

  Seharusnya Micha berlari menjauh. Seharusnya Micha pergi dari sana. Seharusnya Micha kabur saja. Namun, Mark tidak hanya sedang menatap mata Micha. Mark menatap jiwa Micha. Berusaha masuk ke sana.

  Dan terlambat. Micha tak dapat berpaling.

  "Aku ... tidak keberatan."

  Selangkah lebih dekat, Mark bisa merasakannya. Tinggal sedikit lagi, dia akan membuat Micha menjadi miliknya.

  Dan Mark pun tersenyum. "Terimakasih, Micha."

  Micha takkan menyesali keputusannya, kan?

  Selang beberapa saat kemudian, Micha menerima telepon dari Aera.

  "Maaf ya, Micha. Hari ini aku dan Yohan tidak bisa datang. Besok saja, oke? Nikmati waktumu dengan Mark!"

  Micha pun sadar, Aera sengaja melakukan ini agar Micha bisa menghabiskan waktu dengan Mark berduaan saja.

  Dasar Aera! Habis dia di tangan Micha besok hari.

The Love We Had ▪ Mark Lee✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang