bab 11

89 14 0
                                    

Namaku Maria, setidaknya itulah nama yang diberikan bapa untukku. Bapa telah menjadi pelindung ku, malaikat ku selama bertahun-tahun. Ia berjanji akan terus menjagaku, memastikan aku baik-baik saja dan bahagia.

Kini aku ragu, nama yang telah di sematkan padaku terasa asing. Bapa yang dulu selalu membelai rambutku dan tersenyum hangat padaku mulai rancu. Aku jengah dengan hidupku saat ini. Aku harap ini hanya efek samping gejolak hormon di saat aku pubertas. Tapi, tak lagi. Ini bukan sebuah fase tapi sebuah perubahan total.

Kini, aku tak percaya lagi pada bapa. Dan satu keputusan ini membawaku pada jalan penuh rintangan. Setidaknya seperti yang di tulis michael pada buku diarinya tuhan tetap bersamaku, iya,kan?

***

Aku membuka lembaran kedua di buka michael. Sebelum aku sempat membacanya terdengar lagi ketukan di pintu kamarku. "Maria, bapa bawakan buburnya. " ucap seseorang dari balik pintu. Uratku kembali menegang, aku menatap pintu itu selama beberapa detik. Suara ketukan pun masih terdengar.

"Taruh saja di depan pintu, Maria lagi pake baju. " ucapku memberi alasan, untuk beberapa saat tidak ada jawaban dari seberang pintu. "Ya udah, bapa tinggalin depan pintu ya. Jangan lupa dimakan. " ucap bapa hangat. Lalu aku mendengar langkah kaki yang terdengar menjauh dari pintu dan lama kelamaan hilang bersama angin sore.

Di kamar yang mulai gelap seiring matahari yang lelah kembali ke peristirahatannya aku terdiam. Buku diari michael masih kupegang di tangan kananku. Beribu pertanyaan membanjiri otakku menuntut sebuah jawaban. Aku melirik ke buku biru lusuh itu, lalu menatap jendela yang menontonkan semburat cahaya kemerahan yang memenuhi dinding kamarku.

Aku bangkit, berjalan kearah pintu dengan jantung yang berdegup, memberi isyarat padaku untuk menenangkan diri. Dengan perlahan ku buka kancing pintu dan membukanya. Bungkusan yang kuyakini sebagai bubur tergantung di kenop pintu. Tak ku pedulikan. Aku terus berjalan ke arah kamar mandi.

Wajahku yang penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab terbasuh oleh air dingin yang sengaja aku siramkan. Setelah mengambil air wudhu aku kembali ke kamar. Ku kunci pintu itu lalu mengambil sajadah dan mukena di lemari. Sajadah sudah ku bentangkan ke arah matahari terbenam, mukena sudah terpasang rapi di tubuhku. Setelah beberapa minggu ini akhirnya aku bersujud kepada Allah SWT.

Setelah solat, aku mengankat tangan ku untuk berdoa. Tak lama terdengar suara dari balik pintu. Seperti suara kuku tajam yang menggaruki pintu itu. Keringat dingin mulai bercucuran.

Doa-doa semakin keras ku rapalkan, berlomba dengan suara melengking yang mencoba meruntuhkan pintu kamarku. Tempat tidur, meja dan segala perabotan yang berada di kamarku bergetar hebat, seakan ada gempa besar yang tak bisa aku rasakan. Mukena yang kupakai terasa semakin ketat, aku tercekik.

Dengan keyakinan dalam hati aku meronta mencoba melepaskan mukena yang semakin mengikatku. Urat-urat leherku menegang saat merasakan cekikan dingin dari suatu hal. Suatu hal yang jahat. Tubuhku mulai melemah karena oksigen yang seharusnya masuk harus terhenti karena cekikan itu. Perlawanan yang aku berikan tidak cukup kuat.. Apa.. Apa aku akan mati saat ini?

"Uhuk.. Hoekk.. " darah segar keluar dari rongga mulutku, menodai warna putih mukena yang kupakai. Semuanya telah berhenti. Kamarku menjadi berantakan, buku dan baju terlempar kemana-mana. Aku melihat sekeliling dengan tatapan tak percaya. Kini aku yakin. Bagaimanapun caranya aku harus bisa keluar dari sini.

Aku membuka mukena yang kukenakan lalu menaruhnya sembarangan. Aku memunguti baju-baju dan memasukkannya ke dalam tas yang diberikan bapa. Semua barang-barang yang disembunyikan michael untukku, aku letakkan kedalam tas. Dengan perlahan, kubuka pintu kamar berdoa agar engsel tua yang menahannya tidak berbunyi keras-keras.

Setelah kurasa aman, aku berjalan menuju pintu belakang yang langsung terhubung dengan hutan. Ya. Hutan yang hampir membunuhku 2 kali. Tapi, itulah jalan satu-satunya dan harapan terakhir yang aku punya.

Rembulan muncul dengan setengah hati karena itulah ia hanya menampakkan sebagian dirinya. Setidaknya cahaya yang ia berikan cukup terang walaupun jika ingin berjalan harus menajamkan penglihatan agar tidak terjatuh dan terluka. Aku masih berjalan dengan gerakan kaki yang lumayan cepat.Terkadang aku menengok kebelakang, jaga-jaga bila ada yang mengikutiku.

Aku sampai di pohon besar tempat michael meninggalkanku. Suara air menggema di seluruh pelosok hutan, tandanya aku hampir sampai di sungai yang di percaya banyak orang desa terkutuk. Masa bodoh. Desa inilah yang terkutuk.

Aku mengambil sebotol air lalu meminumnya, memberikan kesegaran di tenggorokanku yang mengering. Saat aku meletakkan botol air kembali ke tas, aku melihat buku diari michael yang belum sempat aku baca. Ini bukanlah waktu yang tepat, tapi rasa penasaran menggoda akal sehatku untuk membuka buku di tengah pelarianku.

Dan akalku dikalahkan oleh egoku. Aku mengambil buku itu setelah mengecek tidak ada siapa-siapa lagi selain aku. Kali ini aku langsung membuka halaman terakhir. Waktuku tidak banyak dan membaca satu buku bukanlah hal yang wajar saat ini. Sekali lagi disana hanya tertulis satu kalimat. Michael tampaknya tahu aku akan membaca halaman terakhir miliknya saat ini.

"Satu-satunya jalan keluar dari ilusi yang diciptakan iblis,adalah mengingat jati dirimu yang sebenarnya."

"Aku menemukanmu,.." suara mengerikan itu memaksaku menurunkan buku dari depan wajahku. Ia berdiri disana, di bawah sinar rembulan yang malu-malu menerobos lebatnya hutan. Tangannya memegang karung dan tali,matanya hitam legam dan nafasnya yang dingin menghantam wajahku. Michael ! Dia Michael!

BAPHOMET : "devil inside me" (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang