Bagian 8

100 33 4
                                    

Aku mengaduk-aduk es teh yang baru ku pesan dan memikirkan sesuatu.

"Mau diaduk terus sampe jadi dalgona ya Ta?" Ucap Ilham.

"Ehm gak" ketusku.

"Ta. Lo setuju gak kalo gue sama Anya?"

Rasa sakit itu kembali datang, hanya senyum paksa yang bisa kuberikan untuknya. Entah aku sekedar suka atau berharap kepada Ilham, sejam seminggu yang lalu Anya telah berubah. Tak lagi menjadi teman yang benar-benar tulus bukan sekedar memanfaatkan, aku juga berpikir mungkin berteman denganku tak semenyenangkan berteman dengan yang lainnya.

"Ta, malah ngelamun" ucapnya sambil menyenggol bahuku.

"Eh iya setuju kok Ham"

•••

Aku berjalan kaki dari sekolah dengan mulut yang terus mengumpat karena kak Nanda yang lagi-lagi tidak bisa menjemputku. Dan sialnya aku juga kehabisan uang untuk ongkos pulang.

Terpaksa, siang hari yang terik aku harus berjalan kaki. Untungnya jarak dari rumah kesekolah tidak begitu jauh.

Dari kejauhan, samar-samar aku melihat sosok Gandy sedang menarik tangan seorang cewek berseragam SMP. Yang ku tahu adiknya Gandy itu laki-laki dan tidak mungkin itu teman sekelasnya karena Gandy memakai seragam putih abu-abu.

Inginku melabraknya, tapi ku pikir-pikir lagi untuk apa dan bukannya tidak boleh berprasangka buruk dulu. Aku mengurungkan niatku dan berjalan melanjutkan langkahku yang terhenti sejenak karena Gandy.

Langkah demi langkah kusisiri jalanan ditemani matahari yang sedang terik. Tenggorokanku terasa haus dan kulanjutkan jalanku, entah jarak rumah terasa jauh sekali atau memang karena aku yang lelah dan haus.

Andai ada pangeran berkuda yang menolongku dan mengantarkan pulang. Ah itu hanya ada di cerita dongeng saja, mana mungkin di jaman modern ada pangeran berkuda.

Aku sampai didepan rumah dan langsung mendorong pintu lalu masuk kedalam. Entah seperti apa rupaku sekarang. Mungkin dekil karena kepanasan ditambah lagi dengan keringat yang pasti bau.

Aku tidak memikirkan hal itu. Aku masuk ke dapur dan kubuka pintu kulkas dan mengambil satu botol air dingin. Ku teguk dengan cepat seperti orang yang baru kepanasan di padang pasir.

Aku menaiki anak tangga menuju kamar setelah menghilangkan rasa hausku. Ku lepas sepatu dan mengganti pakaian.

Ting tong!

Bel rumah berbunyi, dengan terpaksa aku turun dan membukakan pintu. Mulutku tak berhenti mengumpat setelah membuka pintu dan melihat mas Nanda yang berdiri diluar membawa sebuah kardus berwarna coklat.

"Mas Nanda jahat, emang ada urusan apasih sampe gak bisa jemput. Akutuh uda capek sekolah terus pulangnya jalan kaki dan gak ada ongkos lagi buat naik ojek" ucapku.

"Mas ada urusan dek, minggir mas mau kekamar atau mau ditabrak nih" ucapnya.

Aku berdecak sebal dan langsung memberikan celah untuk kak Nanda lewati. "Oh iya dek di motor mas ada es krim buat kamu" ucapnya.

"Serius?" Ucapku bersemangat.

"Iya ambil sono keburu mencair"

________________

Aku membolak balikkan buku. Aku sedang tidak fokus belajar karena ucapan Ilham di sekolah.

Aku memutuskan membuka jendela kamar dan menyaksikan orang berlalu lalang di jalanan depan rumah. Sepi karena sudah jam 9 malam.

Pukk!

Kak Nanda menepuk punggungku.

"Ngapain dek gak belajar?" Ucap kak Nanda.

"Iya mas bentar. Eh besok besok bawain es krim lagi ya" ucapku terkekeh pelan.

Kak Nanda meniup poni rambutku dan terkekeh. "Enak aja, bayar dulu" ucapnya sambil menengadahkan tangannya.

"Emm mas, mas Gandy tuh kayak apa sih orangnya?" Tanyaku.

"Ya kayak orang lah masa kaya monyet" ucapnya dengan tertawa kecil. "Lagian kamu tuh masih kecil dek. Tau apa sih tentang cinta, sekolah aja belum kelar" sambung kak Nanda.

"Mas juga masih kecil masih sekolah tapi uda pacaran aja sama kak Nabila" bantahku.

"Beda dek, kita tidak bisa menyamakan diri kita satu sama lain. Setiap orang punya persepsi hidup yang berbeda, tentang topi itu punya Ilham kan? Kamu mau ngasih harapan ke dia tapi mau sama Gandy juga?" ucap kak Nanda.

"Kok mas tau tentang topi itu?"

"Ilham itu temen mainnya mas, dia kan anak motor" ucapnya.

"Ilham anak motor? Sejak kapan emang? Dia kan baik juga pinter ngaji"

"Dek, siapa bilang anak motor selalu brandal. Buktinya mas juga anak baik"

"Eh bentar maksud mas tuh Muhammad Ilham kan?"

"Bukannya Ilham Adi ya?" Kak Nanda mengernyit heran.

Aku mengambil ponsel dan membuka galeri untuk memperjelas Ilham yang kumaksud, dan tentang dari mana kudapat foto Ilham itu adalah hasil dari kejahilan Ilham. Ilham waktu itu mengambil paksa  ponselku dan memotret dirinya yang sedang berkacamata hitam agar aku mengingat jikalau nanti aku merusak kaca mata yang dipakainya. Tanganku memperlihatkannya pada kak Nanda.

"Oh yang Ilham anaknya pak Soghir"

Aku menatap kak Nanda kembali, tatapan menyidik. Seenaknya saja dari tadi bicara tanpa tanya kepadaku lebih dulu.

"Muhammad Ilham anaknya pak Ridwan, gimana sih mas Nanda ngawur mulu"

Jangan lupa Vote Comment ya

Salam sayang,

Rk')

Silent Please [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang