"Pagi" senyum merekah dengan indahnya menyambut pagi yang cerah dengan cuitan burung tetangga.
"Mas Gandy astaga" aku terkejut pasalnya ia masuk lewat jendela kamar padahal kamarku ada di lantai dua, aku yang masih berada dalam balutan selimut lantas langsung berdiri terkejut.
Aku melangkah pelan menuju pintu kamar dan menguncinya agar tak panjang urusan jika mengetahui ada seorang cowok di kamarku, entah aku harus apa perasaanku campur aduk tak karuan.
"Cepetan keluar, Lestari bisa kena marah sama orang rumah" desisku greget dengannya.
"Whatsapp gak dibales, telfon juga gak dijawab. Hpnya yang mati apa orangnya yang mati" gerutunya.
Aku semakin gemas dan hampir saja aku menjerit karena kesal, ku lempar sendal kamar mengenai bagian tubuhnya.
"Ada apa berisik-berisik dek?" Suara kak Nanda terdengar dari depan pintu.
"Emm ini mas, Lestari lagi telfonan sama Ilham" ucapku gugup.
"Oh kirain apa. Tapi kok tumben bangun sendiri tanpa dibangunin mas"
"Tadi perut aku mules pengen ke kamar mandi jadi kebangun hehe" aku menepuk jidatku pelan, alasan apa ini huh.
Suara derap langkah semakin menjauh dari kamarku yang artinya sekarang aku bisa bernapas lega, perasaan was-was karena menyembunyikan Gandy dari kak Nanda membuatku lupa bahwa sebentar lagi sudah jam setengah tujuh. Tak kuhiraukan Gandy lagi, aku masuk ke kamar mandi dan mandi dengan cepat asal segar dan terkena air. Alasanku mandi dengan cepat juga tak kehilangan banyak waktu untuk menjaga Gandy agar tak keluar dari kamar.
Aku lebih banyak kecewa setelah memilikinya, harusnya dari awal aku mendengarkan ucapan kak Nanda untuk tidak berpacaran dengan Gandy. Tapi apalah daya masalah hati yang sudah berpengaruh dengan cinta monyet alay bocah SMP, yang awalnya kumemujanya sebagai duniaku kini porosnya seperti berpindah tempat sedikit demi sedikit dan tak lagi berputar mengelilingiku sepenuhnya mungkin agak serong atau perlahan mulai menjauh. Aku juga telah kehilangan harapan dengan Ilham karena Anya meminta membatasi kedekatan kami berdua layaknya dulu, ah entahlah aku tak ingin menjadi pusat perputaran perasaan lagi.
Aku keluar dari kamar mandi dengan menggunakan seragam lengkap, kulihat Gandy masih berada di kursi belajarku dan memandangiku penuh misteri.
"Ada yang salah?"
"Enggak. Dan gak salah juga aku milih kamu dek, you are perfect"
Astaga itu pujian atau rayuan atau gombalan, aku tak tau pasti yang ku tahu waktu terus berjalan dan waktunya pergi ke sekolah.
"Dek udah mas pesenin ojek online, mas hari ini piket jadi buru-buru dahhhh" suara kak Nanda yang teriak dari lantai bawah.
"Iya mas!" balasku teriak.
Manik Gandy masih tak bisa lepas dariku, aku merasa risih dipandanginya seperti itu.
"Mas Gandy gak sekolah? Aku mau berangkat nih"
"Ini masih pagi dan gak akan telat juga kok, nanti kamu berangkat bareng aku aja sayang"
Setelah ada kejelasan antara hubunganku dengan Gandy sekitar 6 bulan lalu, Gandy seperti seenaknya mengatur kehidupanku. Tak lama setelah Ilham membuatku patah hati, aku jadian dengan mas Gandy dan melupakan rasa sakit hatiku yang tak terlalu dalam. Saat itu aku merasa bahwa aku adalah cewek paling bahagia di dunia karena dia terlalu sempurna bagiku, tapi semakin lama aku menjalin hubungan dengannya sifat aslinya juga terlihat. Bergejolak dan penuh nafsu, genit dan bringas.
"Percuma! Kalo kamu masih gak mau cerita tentang Lia. Aku gak mau maafin kamu mas" ucapku.
"Terus apa kamu bisa jelasin siapa itu Ilham?"
"Maaf mas ojeknya udah di depan, aku berangkat dulu"
Gandy tak bisa menahan kepergianku jadi aku berlari keluar rumah dan membiarkan Gandy tetap di kamarku, pikirku Gandy akan keluar dan akan pergi ke sekolah. Masih pagi tapi mood sudah hancur karenanya, untung aku sampai di sekolah 5 menit sebelum bel berbunyi kalu tidak pasti pagar sudah terkunci dan aku tidak bisa masuk.
Itung-itung pemanasan karena jam pelajaran pertama adalah olahraga, aku berlari ke kelas agar cepat sampai. Tak ada sapaan hangat di pagi hari dari siapapun, akhirnya bel pun berbunyi dan kami segera berjalan ke lapangan. Tak apalah aku hanya sarapan segelas susu hangat, tapi aku percaya aku bisa mengikuti olahraga lari hari ini.
Seseorang berjalan di sampingku dan menggenggam hangat telapak tanganku, membuatku tercengang dan menghentikan sejenak langkah kaki ku. "Ham" wajahku tetap datar meski jantung seperti ingin copot dan meloncat keluar.
"Ada yang salah ya?" Dengan rasa tidak bersalahnya Ilham menolak melepas genggamannya. "Gue cuma mau bilang maaf ya gue gak bisa nemenin lo ikut lomba porseka minggu depan karena gue gak lolos seleksi, tinggi badan gue kurang"
"Oh soal itu, aku udah tau kalo kamu gak bakal lolos karna kamu pendek"
"Emm Ta lo tau nggak?"
"Hmm?" Aku mengernyit heran, menaikkan salah satu alisku.
"Gue suka---"
"Suka sama Anya kan? Udahlah aku tuh udah tau. Gak perlu ada perasaan gak enak sama aku karna kamu harus jauh dari aku" ucapku mencoba tegar.
"Oh iya dan mulai sekarang lo harus terbiasa untuk gak nelfon gue tiap malem" sambungku.
Aku meneruskan langkah kakiku meninggalkan Ilham yang masih membungkam, tak lama kemudian derap langkah itu dipercepat untuk menyusulku.
"Oh gue tau pasti lo udah punya cowok kan?" Ilham mencoba menebak.
"Oke lo diam aja artinya iya" sambung Ilham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Please [Revisi]
Teen Fiction[Revisi Ulang sudah sampai part 13] Perasaan seseorang itu RANDOM. Tidak menentu, tergantung sang pencipta. Seperti dalam ayat suci bahwa Allah berkuasa membolak balikkan hati makhluknya. Meskipun saat ini kau sangat memujanya, suatu saat perasaan...